Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
APRESIASIKABAR

Warna-Warni Budaya Indonesia di Mahakarya 2014

November 14, 2014
©istimewa

©istimewa

Alunan suara gamelan mengiringi naiknya dalang menuju panggung. Sang dalang tampak gagah mengenakan beskap. Ia memainkan wayang gunungan, Semar, dan Gareng secara bergantian, sambil memperkenalkan Sanggar Ulee Balang. ”Gunungan menggambarkan alam semesta, sedangkan Semar dan Gareng menggambarkan manusia,” jelas Ahmad Mahbub, konseptor dari Sanggar Ulee Balang.

Setelah dalang meninggalkan panggung, masuklah empat orang bermuka pucat yang mengenakan baju hitam kusam. Mereka berjalan terseok-seok. Tangan keempat orang itu diikat dengan tali tambang kasar oleh empat prajurit mengenakan surjan sambil membawa tombak di tangan. Tali kemudian dilepas, keempat orang berbaju hitam didorong hingga terjatuh oleh keempat prajurit. Salah satu orang berbaju hitam itu bangun lalu mendeklamasi sebuah puisi tentang bencana tsunami di Aceh, diiringi musik yang menyayat hati. “Suara sumbang itu, berdengung, membisikkan umpatan … sumpah serapah 
” “Dosa? Dosa?! Dosa?!” sahut ketiga orang berbaju hitam, seolah menyatakan bahwa tsunami di Aceh merupakan akibat dosa penduduknya. Terdengar erangan dan tangisan dari ketiga orang tersebut di tengah suasana panggung yang mencekam.

Setelah puisi dideklamasikan, kedelapan orang itu meninggalkan panggung secara perlahan dan digantikan oleh dua belas penari Saman. Tari Saman menjadi penutup dari penampilan Sanggar Ulee Balang. Penampilan Sanggar Ulee Balang merupakan bagian dari acara Mahakarya 2014 yang mengangkat tema “Warna Budaya Indonesia di Yogyakarta Istimewa”. Mahakarya 2014 adalah acara penutup rangkaian Pelatihan Pembelajaraan Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB) Departemen Bahasa, Seni, dan Manajemen Budaya (DBSMB) 2014 Sekolah Vokasi UGM. Selain Ulee Balang, ada sembilan sanggar lainnya yang tampil yaitu Nggembe, Kancrik, Ewer, Cele, Tilangga, Sangkarut, Kustin, Karembong, dan Bili’u. Nama kesepuluh sanggar itu diambil dari pakaian adat daerah-daerah di Indonesia. “Indonesia memiliki beraneka ragam budaya. Dalam Mahakarya ini, kebudayaan dari berbagai daerah di Indonesia tampil tetap istimewa walau tidak di tempat asalnya,” tutur ketua panitia Mahakarya 2014, Sika Hairunnisa. Tidak hanya penampilan dari sepuluh sanggar DBSMB, musikalisasi puisi, Sasandoensi dari FIB UGM, dan Guest Star Batiga Band pun memeriahkan Mahakarya 2014.

Penonton pun disuguhi dengan penampilan yang tidak kalah menarik dari Sanggar Kustin. Kustin adalah nama pakaian adat Kalimantan Timur yang dikenakan oleh suku Kutai dari golongan menengah ke atas pada upacara pernikahan. Penampilan mereka dimulai dari masuknya lima orang dengan membawa dan memainkan bambu panjang. Disusul dengan masuknya seorang wanita yang mengenakan gaun batik panjang dengan sayap kupu-kupu berwarna abu-abu. Menurut Agus Ferryansyah, salah satu anggota Sanggar Kustin, wanita tersebut merupakan maskot dari Sanggar Kustin sebagai penarik minat penonton. Wanita itu berjalan dari satu sudut ke sudut lain di panggung, sesekali ia memutar badannya dan memamerkan sayap kupu-kupu pada kostumnya. Setelah itu, sang maskot dan lima orang pemain bambu turun dari panggung dan digantikan oleh enam penari yang mengenakan pakaian adat Kalimantan Timur. Setelah tari kipas selesai ditampilkan, masuklah tim paduan suara yang mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam, menyanyikan lagu “Indung-indung” dengan iringan gitar. Penampilan mereka diakhiri dengan dibentangkannya kain putih menutupi panggung, lalu tampillah seorang sinden bernyanyi “Rama Obong” sambil berjalan menuju ke depan panggung ditemani oleh si wanita kupu-kupu. Kelima pemain bambu yang tampil di awal pertunjukan pun menyusul naik ke atas panggung, memainkan kembali bambu mereka dengan indah.

Sanggar Bili’u pun tampil menghadirkan pertunjukan terakhir. Dua orang laki-laki masuk mengenakan kaos, celana pendek, dan peci sambil membawa senter. Mereka terlihat sedang tersesat di sebuah museum. Tiba-tiba, mereka melihat empat patung laki-laki dan empat patung perempuan. Mereka terkejut karena ternyata kedelapan patung itu bisa bergerak. Akhirnya kedua orang laki-laki itu turun dari panggung dan kedelapan patung itu menarikan tarian tradisional Gorontalo secara berpasangan. Setelah itu, dua orang laki-laki tadi kembali lagi dan memperkenalkan sanggar mereka, Sanggar Bili’u. Lalu masuklah tim paduan suara ke atas panggung dan penari di depan panggung. Mereka menyanyikan lagu daerah Gorontalo “Binde Bilu Huta” dan lagu “Suwe Ora Jamu” sebagai penutup penampilan mereka.

Di penghujung acara Mahakarya 2014, diumumkanlah pemenang tiga nominasi yang dibuat oleh panitia. Nominasi Sanggar teraktif diraih oleh Ulee Balang, nominasi Sanggar Terkreatif diraih oleh Kustin, dan nominasi Sanggar Terajin diraih oleh Sanggar Bili’u. “Acara Mahakarya 2014 seru dan menghibur. Kita jadi bisa mengetahui tarian dan pakaian adat dari daerah-daerah di Indonesia,” kata Zahratun Mufika, salah satu penonton.[Amalia Ayu Hapsari, Dian Ayu Septiani Wiwitan, Fitria Eka Putri]

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Awab Ajar Awam, Gunakan Daya dari Surya

Resistensi atas Trauma Korban Kekerasan ‘65

Belasut Puja-Puji Palsu Tubuh Perempuan dalam Kanvas

Pusparagam Perjuangan dalam Temukan Ruang Aman

Jalin Merapi Tak Pernah Ingkar Janji

Sastra untuk Semua lewat Sastra Suara

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM