Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
APRESIASIKABAR

Narasi Pulang di Malam Seni Seudati

Juni 8, 2013
dokumentasi panitia/ Nasril.

dokumentasi panitia/ Nasril.

Dalam keremangan cahaya, seorang pria berkaus putih naik ke panggung. Ia membawa plastik, sapu lidi, daun pisang, serta berbagai alat di tangannya. Selama beberapa saat ia menata peralatan yang itu. Suaranya lalu melengking tinggi. Ia memulai dongengnya tentang sepasang gadis dan pemuda dari  Aceh.

Alkisah, gadis Aceh yang bernama Inong itu hendak kuliah di Yogyakarta. Kekasihnya yang bekerja sebagai PNS pun bersedih. Di bawah pohon kelapa, Inong dan si pemuda mengikat janji untuk tetap setia. Namun, Inong seakan lupa dengan janjinya. Hanya berselang seminggu setelah kedatangannya di Yogyakarta, Inong mulai melirik laki-laki lain. Seorang pemuda asal Papua yang juga teman kuliahnya, kini menjadi kekasih Inong. Sementara itu, kekasih Inong di Aceh mulai putus asa. Sudah lama ia tak mendapat kabar dari sang pujaan hati. Telepon dan pesan yang dikirim pun tak pernah berbalas. Si pemuda lalu mendapat ide gila. “Apa sebaiknya aku menggantung diri saja?”

Ia mencoba menggantung diri di pohon pisang. Gagal. Pilihannya pindah ke pohon kelapa. Namun setelah dua hari berada di atas pohon itu, si pemuda tetap tak berani melaksanakan niatnya. Genap seminggu ia berada di sana, beberapa orang mulai membujuk. “Ayo turun!” kata mereka. Sebuah stasiun televisi pun ikut meliput aksi nekatnya.

Sabtu (1/6) malam lalu, Agus PM Toh, si pria berkaus putih itu sengaja didapuk menjadi bintang tamu. Kehadirannya meramaikan acara Seudati, Seni Budaya Aceh untuk Indonesiayang digelar  mahasiswa Aceh dari berbagai universitas di Yogyakarta. Lewat narasinya, penutur hikayat asal Aceh ini memukau penonton di Balairung Hall, University Club, UGM.

Seniman yang sejak 1990 berguru pada penutur hikayat senior, Adnan PM Toh, menyampaikan kisahnya lewat barang-barang sederhana. Bermodalkan perkakas dapur, Agus PM Toh memperkuat penggambaran narasinya. Dengan plastik merah, Agus PM Toh berganti rupa menjadi seorang wanita. Ia juga menggambarkan matahari yang bersinar cerah dengan tutup tempat sampah dari plastik berwarna merah.

967115_10200865448412625_1140631207_o_512x768

dokumentasi panitia

Bagi Agus PM Toh, kesederhanaan berbagai benda itu yang justru mampu membuatnya menggambarkan banyak hal. Ia banyak belajar dan meniru dari anak-anak yang bisa bermain dengan benda-benda sederhana ini. “Dengan benda yang sudah jadi, hal itu justru tak menimbulkan imajinasi,” akunya.

Melalui pementasan perdana ini, para mahasiswa Aceh berusaha bersilaturahmi sekaligus mengangkat harkat-martabat Aceh lewat seni. Hal itu diungkapkan Kasyful Humam selaku ketua panitia. Berbagai penampilan seni yang ditampilkan di sini antara lain tari tradisional Aceh oleh berbagai komunitas seni. Selain itu, terdapat juga pembacaan syair dari penyair Aceh ternama, Vikar W.Eda.

Melalui medium seni ini pula, mereka mencoba menepis berbagai isu negatif tentang Aceh. Agus PM Toh menyebutkan salah satu isu tentang bendera bintang  bulan yang sempat berkibar di Gayo dalam narasinya. “Daripada ribut, biarkan saja dua bendera ini berkibar bersama,” katanya memberikan solusi. Ucapannya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Mereka seakan setuju bahwa ribut-ribut seputar suatu isu tak akan memberikan solusi.

Sementara itu, Agus PM Toh membawa misi tersendiri dalam dongeng yang dibawakannya. Ia berusaha menyelipkan pesan dan harapannya di akhir narasi. Mahasiswa kembali ke kampung, itulah mimpinya saat ini. Ia mengamati, selama ini 70-80 persen mahasiswa Aceh yang kuliah di luar kota justru tak kembali ke kampungnya. “Mau bagaimana lagi, saat Aceh sedang mengalami konflik lama seperti ini, tentu lebih menguntungkan bagi mereka tinggal di perantauan daripada di kampung asal,” komentarnya. Meski begitu, Agus PM Toh tetap berharap, kelak para mahasiswa itu kembali.

Mimpi itu diperlihatkan Agus PM Toh di akhir kisahnya. Inong yang tak sengaja melihat liputan tentang kekasihnya di televisi, lalu memutuskan hubungan dengan  si pemuda Papua. Tanpa ragu gadis itu kembali ke Aceh, tanah kelahirannya.

Di Aceh, Inong bertemu dengan kekasih lamanya. Mereka hidup bahagia. Dengan ilmu yang dipunya, Inong dan si pemuda Aceh membangun kampungnya. Oleh karena kampungnya masih sering mengalami mati listrik, mereka pun memproduksi listrik dengan mengandalkan tenaga surya. Saat melihat banyak tanah di Aceh hingga Sumatra Utara yang tak terpelihara, mereka juga mulai menanam kelapa. Di tangan mereka, masa depan kampung menjadi lebih tertata. [Inez Christyastuti Hapsari]

balairungmahasiswapersPM TohSeni Budaya Aceh untuk IndonesiaSeudatiugm
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Pusparagam Perjuangan dalam Temukan Ruang Aman

Jalin Merapi Tak Pernah Ingkar Janji

Sastra untuk Semua lewat Sastra Suara

Awab Ajar Awam, Gunakan Daya dari Surya

Resistensi atas Trauma Korban Kekerasan ‘65

Belasut Puja-Puji Palsu Tubuh Perempuan dalam Kanvas

Pusparagam Perjuangan dalam Temukan Ruang Aman

Jalin Merapi Tak Pernah Ingkar Janji

Sastra untuk Semua lewat Sastra Suara

Awab Ajar Awam, Gunakan Daya dari Surya

Resistensi atas Trauma Korban Kekerasan ‘65

Belasut Puja-Puji Palsu Tubuh Perempuan dalam Kanvas

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025
  • Kapan KKN Harus Dihapus?

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM