Pendampingan korban kekerasan seksual menjadi upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Para pembela HAM berada di sisi korban, menemani setiap proses dan pemulihannya. Namun, hal ini menjadi ruang rentan bagi para pembela HAM, kriminalisasi oleh aparat mereka turut dapatkan. Hal ini menunjukkan adanya kegagalan sistem di pemerintah guna memberikan perlindungan dan keadilan hukum bagi para pembela HAM yang sudah dicantumkan dalam UU TPKS. Pasal 29 UU PKS menyebutkan hal ini dengan jelas, tetapi realitanya mereka tidak menerapkan pasal tersebut.
Untuk menggali isu tersebut, BALAIRUNG memutuskan mewawancarai Meila Nurul Fajriah sebagai pembela HAM dari LBH Yogyakarta yang sempat dikriminalisasi pada Juni 2024, ketika mendampingi korban kekerasan seksual pada tahun 2020 silam. Menurutnya, kerentanan pembela HAM sebagai pendamping korban kekerasan seksual berasal dari ketidakpatuhan aparat penegak hukum terhadap peraturan yang berlaku. Berikut wawancara lengkapnya.
Menurut Anda, apa yang disebut sebagai pembela HAM?
Di Standar Nasional Prosedur milik Komnas HAM mengatur soal pembela HAM dan tidak ada definisi baku soal siapa pembela HAM, tapi kalau misalnya ditanya siapa yang bisa jadi pembela HAM? Siapa pun bisa. Namun, ada syarat atau unsur-unsur yang harus dipenuhi. ‘Kan kalau yang disebut dengan pembelaan terhadap HAM itu tidak hanya soal mendampingi orang, tapi juga pemajuan, penelitian, atau pendampingan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan syarat, harus konsisten dalam pembelaan hak asasi manusia, menerima, dan mengakui prinsip universalitas HAM, serta melakukan pendampingan, pembelaan, dan aktivitasnya itu dengan cara damai atau nirkekerasan.
Dalam konteks pembela HAM kekerasan seksual, adakah label-label tersendiri dari masyarakat?
Kalau konteksnya terjadi di teman-teman yang memiliki pendidikan lebih tinggi, stigmanya nggak terlalu berat, tapi kalau misalnya berada dalam lingkup orang yang belum punya pengetahuan lebih soal kekerasan seksual itu terjadi, itu akan parah. Misalnya, kamu membela teman kamu yang diperkosa oleh orang, maka orang akan bilang bahwa kamu adalah membela orang yang sudah berzina, begitu lah.
Atau misalnya, stigma bahwa pembela korban itu adalah bagian dari korban. Stigma membawa agama, moral-sosial, itu selalu ada. Kayak kalau kamu mendampingi kasus LGBT, berarti kamu LGBT, begitu loh. Hal-hal itu selalu ada di lingkungan kita dan terus menerus dirawat. Untungnya kita masuk pada masa orang-orang udah mulai paham bahwa kekerasan seksual itu nggak boleh, sudah punya payung hukumnya, itu kan agak memudahkan, ya. Jadi, pengetahuan orang soal ini tuh lebih banyak lagi, stigma kayak begitu tuh berkurang.
Selain ada label dari masyarakat, adakah tantangan lain ketika membela korban kekerasan seksual dalam mendampingi mereka?
Mayoritas teman-teman korban kasus kekerasan seksual itu berada pada posisi rendah, dalam tanda kutip, daya tawar lemah dibandingkan pelaku kekerasan seksual. Tantangannya lebih ke bagaimana kami [pembela HAM-red] bisa membuat korban berdaya karena saat mereka menjadi korban itu mereka sudah jatuh. Kemudian, saat orang itu sudah nggak percaya sama mereka, mereka jatuh yang kedua kalinya. Ketidakpercayaan itu kan hadir dari siapapun, ya. Misalnya mereka mau mengadu ke kampus terus kampus nggak percaya atau mereka mengadu ke polisi, polisi nggak percaya, malah menyudutkan. Jadi, kalau dalam konteks penanganan kasus itu, mendengarkan cerita korban dan membuat mereka merasa bahwa mereka punya teman, membuat mereka pulih, adalah tantangan terbesar. Itu kalau dari segi internal, ya.
Kalau dari segi eksternal itu tekanan sih. Sekali lagi, kebanyakan pelaku punya posisi tawar yang lebih tinggi. Jadi tekanan ke kita dan ke korban akan sangat besar sekali apalagi kalau pelaku punya posisi sosial yang besar. Misalnya, dia pejabat di pemerintahan atau pejabat di kampus, maka dia punya kewenangan yang lebih untuk menekan korban atau pendamping. Kalau pendamping mungkin nggak terlalu, tapi penekanan ke korban itu banyak. Misalnya kalau korbannya mahasiswa, itu bisa di-dropout; atau kalau korbannya pegawai negeri, dia bisa dimutasi.
Bagaimana cara pihak Lembaga Bantuan Hukum dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut?
Kalau hambatan yang paling besar bagi lembaga bantuan hukum, yang pastinya hukum itu sendiri. Makanya, kalau jaringan masyarakat sipil yang ada di Indonesia banyak sekali yang mengadvokasi adanya UU TPKS, itu adalah salah satu step mitigasi atau respons terhadap beberapa tantangan yang ada. Walaupun secara praktiknya, mungkin nggak terlalu oke karena memang kita punya sejarah yang panjang dalam konteks patriarki dan itu yang pelan-pelan harus mulai dihilangkan. Jadi, emang kita nggak bisa tiba-tiba ada peraturan terus budaya itu tiba-tiba hilang.
Apakah pembela HAM dalam menangani kasus kekerasan seksual rentan terhadap risiko akibat adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban?
Bisa, itu yang pertama. Kedua, kalau dalam konteks pembela HAM, dia bisa aja mendapatkan banyak sekali intimidasi, kekerasan kalau di kasus saya, mungkin dikriminalisasi karena tujuan utama pelaku adalah membuat korban tidak melanjutkan proses advokasi yang berjalan. Jadi ya kalau dia bisanya intimidasi, teror lewat banyak hal. Bisa lewat keluarga, langsung ke orangnya, atau ke organisasi tempat dia bekerja. Atau sekarang ada doxxing, penyebaran informasi pribadi di internet, itu juga bisa dilakukan. Banyak hal yang bisa mereka lakukan dan itu adalah hal yang harus diantisipasi oleh teman-teman pembela HAM.
Bagaimana cara pihak pembela HAM mengantisipasi hal tersebut?
Kita membaginya dalam dua proses ya, mitigasi pencegahannya dan bagaimana kita merespons jika ada ancaman. Kalau konteks mitigasi itu memperbanyak ekosistem perlindungan menjadi salah satu hal yang kami utamakan. Ekosistem perlindungan itu apa sih? Misalnya dari segi lingkungannya, sosialnya, teman-teman terdekat, keluarga, dan segi kebijakannya. Misalnya, ada nggak sih kebijakan yang bisa melindungi kita? Oh ada, sekarang ada UU TPKS, ada undang-undang advokat kalau kami advokat, teman-teman mahasiswa bisa merujuk pada kebijakan yang ada di kampus. Kalau teman-teman pembela HAM, ya itu bisa merujuk pada kebijakan yang terkait. Jadi memang untuk mitigasinya tuh, kalau bisa ekosistemnya dirawat.
Kalau untuk responsnya sendiri, ini juga sesuai konteks. Ketika sudah mendapatkan ancaman, mendapatkan intimidasi, dan lain-lain, mau tidak mau harus ada skema pembela HAM terhadap kita yang itu sudah dirancang. Jadi standarnya di YLBHI atau di LBH, misal kamu diancam, kita akan melihat sejauh mana sih risiko pengancaman itu akan terjadi. Misal kamu atau keluargamu itu diteror di WhatsApp, media sosial kamu diretas, di-tag aneh-aneh, tiba-tiba doxxing, dan lain-lain; maka yang bisa dilakukan adalah detox media sosial. Jadi, memang pembacaannya sangat spesifik, ancamannya itu apa, kemudian analisis seberapa jauh kemungkinan itu terjadi, dan apa yang bisa kita lakukan.
Lalu, bagaimana peran media dalam membentuk narasi terkait pembela HAM?
Dalam konteks kasus yang saya dan teman-teman LBH Yogyakarta alami gitu kan kenapa kemudian itu menjadi rame? Pertama, itu korban kekerasan seksual. Kedua, pembela korban kekerasan seksual itu banyak yang mendapatkan kekerasan, tapi yang dikriminalisasi kayaknya baru saya. Kemudian banyak orang yang publikasi soal itu. Kalau misalnya ditanya siapa yang mengatur agar pemberitaan ini ada di media, itu pastinya dari YLBHI sendiri. Itu kan salah satu bentuk pembelaan dan mencari solidaritas orang lebih banyak sehingga kemudian orang akan banyak serta terus menerus mendukung perjuangan ini.
Nah, kemudian kenapa media itu menjadi penting? Pertama, media bisa mengambil alih informasi berdasarkan apa yang menjadi pengalaman para korban. Kedua, dia harus punya perspektif yang baik. Nah, perspektif yang baik itu tidak semua media dan jurnalis tuh punya karena industri media kan dimiliki satu dua orang kecuali kalau kamu mau bikin media sifatnya itu komunitas atau media yang independen atau jurnalis yang independen.
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk melindungi pembela HAM korban kekerasan seksual?
Asal mereka [pemerintah-red] mengikuti peraturan yang ada itu sudah oke. Misalnya, kalau di UU TPKS itu jelas, aku lupa pasalnya berapa, pendamping tidak bisa mendapatkan kekerasan, salah satunya tidak bisa dikriminalisasi karena dia punya akses full terhadap pendampingan atas korban. Asal aparat penegak hukumnya punya sensitivitas dan keberpihakan yang jelas kepada korban sebenarnya itu udah cukup. Jadi, kalau ditanya apa yang seharusnya negara lakukan? Mau tidak mau, semua aparat penegak hukum mengikuti aturan yang berlaku, punya sensitivitas terhadap korban, punya keberpihakan terhadap korban, sebenarnya itu sudah cukup untuk melindungi para pembela HAM.
Apakah keberpihakan aparat penegak hukum memiliki pengaruh terhadap kerentanan pembela HAM?
Kalau misalnya kerja pembela HAM itu tidak dihormati dengan baik, tidak didukung dengan baik, maka akses pemenuhan atas HAM akan turun. Maka, yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah menjamin kerja-kerja pembela HAM sesuai dengan koridor sih. Maksudnya, dia menghormati apa yang dilakukan, tidak mempersulit, dan tidak melakukan intimidasi serta kekerasan terhadap pembela HAM itu udah cukup.
Jadi, sensitivitasnya itu diletakkan pada dasar bahwa semua orang mendapatkan perlindungan. Kalau misalnya aparat penegak hukum tidak melakukan perlindungan itu, untuk apa dia ada? Pembela HAM atau pendamping kekerasan hanya mencoba agar korban mendapatkan perlindungan karena mereka agak sulit untuk langsung meminta perlindungan kepada aparat penegak hukum. Ada gap yang sangat besar di situ [korban dengan aparat-red].
Lantas, apa harapan Anda soal kondisi pembela HAM di Indonesia?
Teman-teman pembela HAM itu untuk isu apapun dia seharusnya mendapat perlindungan karena dia adalah orang-orang yang menjadi garda terdepan dalam konteks perlindungan dan pemenuhan HAM. Bagi kami, aktivitas yang dilakukan oleh pembela HAM akan semakin sulit karena melihat pola pemerintah rezim saat ini yang melihat pembela HAM itu sebagai musuh. Jadi, kalau misalnya kerja pembela HAM itu tidak dihormati dengan baik, tidak didukung dengan baik, maka mau tidak mau akses pemenuhan atas HAM akan jadi turun. Dalam konteks besarnya, negara yang demokratis adalah negara yang mendukung hak asasi manusia.
Penulis: Rajwa Aqilah
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Ilustrator: Ester Veny