Deru ombak menabrak cadas lengkap dengan hamparan bukit karst menghiasi lanskap Gunungkidul. Keindahan ini tak semata terberi, melainkan terbentuk oleh kepentingan industri dan manipulasi. Berderet penderitaan dan nasib getir terjadi sebab perampasan ruang hidup atas nama pariwisata.
Pariwisata menjadi salah satu pembangunan prioritas Indonesia dalam tajuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pemerintah pusat menargetkan peningkatan jumlah wisatawan yang sempat turun lima sampai sepuluh tahun terakhir dengan membangun sepuluh Bali Baru. Salah satu dari sepuluh Bali Baru tersebut ialah KSPN Borobudur. Proyek KSPN menghendaki pembentukan pariwisata terpadu sehingga daerah sekitarnya turut mengalami ekspansi pembangunan pariwisata. Di antara daerah terdampak ekspansi ini adalah Gunungkidul. Kabupaten ini berada di posisi aksesibel lantaran didukung oleh dua infrastruktur penghubung pariwisata yang berguna untuk mempercepat pertumbuhan pariwisata, yakni Yogyakarta International Airport dan Jalur Jalan Lintas Selatan. Selain itu, keindahan alam Gunungkidul menyajikan pantai yang indah dengan pegunungan karst yang membentang sepanjang topografi wilayah ini.
Pemerintah Indonesia berdalih pembangunan KSPN ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan, mendorong pemerataan serta merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, pembangunan KSPN justru melahirkan perampasan ruang dari masyarakat setempat (Wardana 2022). Kontestasi ruang di Gunungkidul menciptakan perebutan penguasaan lahan oleh segelintir wong gede yang merujuk pada hubungan patrimonial antara para birokrat dengan investor di Gunungkidul (Ristiawan, Huijbens, dan Peters 2023). Masuknya industri pariwisata mengakibatkan penguasaan lahan semakin masif di Gunungkidul. Wong gede berperan dalam penguasaan lahan yang ada di sepanjang pesisir selatan Gunungkidul. Sekitar 10.000 hektare dari 35.000 hektare lahan sudah dikuasai oleh investor. Tak hanya investor, birokrat juga saling sikut kepentingan untuk menguasai industri pariwisata Gunungkidul. Tumpang tindih yang terjadi di lingkungan birokrasi mengakibatkan perampasan ruang hidup semakin tidak terkendali.
Masifnya pembangunan dari proyek investor maupun pemerintah menyebabkan penguasaan lahan tak terelakkan. Penguasaan lahan di Gunungkidul berlangsung dalam tiga cara. Pertama, penguasaan lahan yang dilakukan dengan memanfaatkan hubungan patrimonial antara wong gede dengan masyarakat untuk proyek destinasi pariwisata. Kedua, penguasaan lahan yang dilakukan dengan membujuk masyarakat agar melepaskan tanahnya dengan menggembar-gemborkan embel-embel kesejahteraan pariwisata yang mengalihkan mata pencaharian masyarakat menuju sektor pariwisata. Ketiga, wong gede bersitegang dengan masyarakat yang tetap mempertahankan lahannya (Ristiawan, Huijbens, dan Peters 2023).
Wong gede diberikan kewenangan penuh untuk pengembangan pariwisata Gunungkidul melalui lisensi serat kekancingan (Muhsin, Nafisah, dan Siswanti 2019). Izin pemanfaatan Sultan ground menjadi dasar legitimasi investor untuk menggusur masyarakat yang telah lama bertempat tinggal disana (Irfan 2017). Masyarakat yang terpinggirkan tak hanya berada di tanah Sultan Ground, melainkan juga tanah milik masyarakat sendiri turut dirampas di bawah proyek KSPN (Edy dan Baiquni 2019). Masyarakat yang menolak harus melawan negara. Ketidakberdayaan melawan negara memaksa masyarakat untuk menerima kompensasi ganti rugi gara-gara pembangunan KSPN.
Akibat alih fungsi lahan, mengakibatkan perubahan mata pencaharian masyarakat yang sebelumnya bergerak di sektor pertanian berangsur berubah menjadi sektor pariwisata. Selain itu, kerusakan ekologi membayang-bayangi pelaksanaan pembangunan industri pariwisata. Di balik keindahan destinasi wisata yang ditawarkan, terdapat peran industri yang menyembunyikan borok-borok penderitaan.
Politik Pembangunan Pariwisata Gunungkidul
Proyek sepuluh Bali Baru yang dicanangkan sejak 2020 bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pariwisata Indonesia terhadap Bali sekaligus mendiversifikasi destinasi wisata alternatif bagi para wisatawan. Wacana proyek sepuluh Bali Baru sebenarnya berangkat dari alasan pembangunan berlebih yang sudah dijalankan sedari setengah abad silam, tepatnya di tahun 1970-an. Hal ini mengakibatkan pelbagai krisis sosio-ekologis di Bali (Wardana 2022). Krisis secara sosial meliputi polarisasi yang ditimbulkan oleh kolapsnya pariwisata Bali, seperti pembatasan akses terhadap masyarakat lokal, tingginya pemutusan hubungan kerja di sektor pariwisata, dan meningkatnya kriminalitas. Sedangkan dampak ekologis merujuk pada krisis air dan pencemaran lingkungan berkat masifnya pembangunan pariwisata (Wardana 2019). Permasalahan ini menjadikan industri pariwisata Bali mengalami penyempitan ruang. Jika Bali sudah mengalami penyempitan ruang akibat dari pembangunan berlebih, maka peluang suntikan investasi di ranah pariwisata kian tersendat.
Agar industri pariwisata tidak bergantung di satu tempat, maka diperlukan ruang-ruang pariwisata baru untuk memperluas bidang investasi dengan menjalankan perbaikan spasio-temporal (Harvey 2003). Mengalirkan modal ke destinasi pariwisata baru dapat dilaksanakan melalui dua cara, yakni memindahkan modal yang telah terpusat secara perlahan melalui proyek-proyek jangka panjang dan/atau menciptakan pasar baru di tempat lain guna menyerap modal serta tenaga kerja. Ironisnya, perbaikan spasio-temporal ini berjalan bak rantai setan karena ketika terjadi ekspansi ruang, maka lambat laun akan terjadi surplus berlebih yang menghendaki perbaikan spasio-temporal lagi. Letak permasalahannya terdapat pada pelaksanaan perbaikan spasio-temporal lokasi produksi mengarah pada penjarahan lahan dan ruang hidup tak dapat dihindarkan.
Praktik Pembangunan pariwisata di Indonesia yang menghendaki masuknya peran swasta menyebabkan gesekan-gesekan konflik dengan masyarakat. Pasalnya corak pembangunannya dilakukan dengan mengambil alih aset-aset kepemilikan yang dimiliki oleh masyarakat. Perampasan ini disebut sebagai model perampasan accumulation by dispossession (ABD) yang dikembangkan dari perspektif akumulasi primitif milik Marx (Harvey 2003). Letak perbedaannya adalah akumulasi primitif terjadi pada masa transisi dari sistem ekonomi prakapitalis menuju kapitalis, sedangkan ABD terjadi saat sistem kapitalisme sudah berjalan mapan. Cengkraman ABD ini juga lebih luas dan halus, seperti taktik keuangan spekulatif, ekstraksi sumber daya alam, komodifikasi budaya, lisensi internasional dari WTO, hingga privatisasi penguasaan pengetahuan. Dalam konteks pariwisata, ABD dijalankan dengan komodifikasi dan privatisasi tanah. Dengan begitu, perbaikan spasio-temporal tadi memiliki ruang untuk menjalankan sirkuit kapital yang baru.
Penjalanan spasio-temporal dan ABD ini merupakan proses lanjutan kapitalisme dalam kerangka kebijakan neoliberalisme yang berbentuk konsentrasi modal pada beberapa pihak dan didistribusi ke dalam investasi-investasi baru. Hal ini tak dapat dipisahkan dari peran negara sebagai pembuat hukum yang justru melancarkan aksi perluasan ruang untuk sirkuit kapital baru tadi. Dalam konteks pembangunan global, banyak negara menggunakan formula Structural Adjustment Programs (SAPs) yang merupakan serangkaian reformasi birokrasi ekonomi yang harus dipatuhi negara-negara untuk mendapatkan pinjaman dari IMF atau Bank Dunia. Reformasi ini merupakan upaya vital dalam agenda neoliberalisasi dengan mendorong adanya deregulasi dan privatisasi (Fletcher 2023). Masifnya SAPs dikarenakan adanya krisis yang disebabkan oleh surplus kapital pada 1970 (Arrighi 1994). Tentunya hal ini mendorong kelebihan surplus tadi untuk mencari ruang dan pasar baru untuk diinvestasikan. SAPs menyasar negara-negara berkembang yang telah terbelenggu krisis ekonomi pada 1980-an dengan melakukan privatisasi di sektor pariwisata. Sektor ini penting untuk memenuhi pendapatan negara lewat masuknya devisa dari pelancong asing maupun dalam negeri. Namun, investasi yang didapatkan secara mudah ini abai terhadap permasalahan lingkungan. (Mchallo 2018)
Pemerintah pusat memprioritaskan penggunaan lahan untuk mendukung pembangunan infrastruktur pariwisata, seperti sanggraloka, hotel, dan banyak investasi pariwisata lainnya (Ristiawan, Huijbens, dan Peters 2023). Akibatnya, industri pariwisata domestik yang baru berkembang dikendalikan oleh modal-modal asing (Mowforth dan Munt 2003). Selain itu, SAPs yang dianggap sebagai reformasi pasar bebas juga berdampak pada pendekatan konservasi alam berbasis pasar. Konsekuensinya, konservasi alam yang berkelindan dengan privatisasi dan komodifikasi banyak menyingkirkan mata pencaharian lokal, sedangkan keuntungan terbesar bermuara hanya pada kantong para pemilik modal.
Gunungkidul yang dianggap potensial dan strategis untuk proyek pembangunan ini, pada akhirnya, terus terdampak ekspansi bisnis dan neoliberalisasi pariwisata. Dalam penjalanannya, Gunungkidul masuk dalam bingkai tata kelola Global Geoparks yang diusulkan UNESCO. Alhasil, terbukalah keran investasi institusi global, tak terkecuali dari World Bank. Seperti yang disebutkan dalam karakteristik neoliberal di atas, upaya ini bertujuan untuk memonetisasi potensi konservasi untuk promosi diversifikasi ekonomi melalui geowisata (Newsome dan Dowling 2010). Praktik tersebut tentunya menimbulkan pertentangan politik dan perebutan hak kelola antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku pembuat legalitas bisnis pariwisata tersebut.
Pada awalnya, pengelolaan pariwisata terdesentralisasi ke pemerintah masing-masing daerah. Akan tetapi, sistem ini menyebabkan ketidaksetaraan antar wilayah. Hal ini membawa tiap-tiap pemerintah daerah untuk mencari sumber pendanaan alternatif untuk membiayai proyek pembangunan mereka. Negara pada akhirnya menganggap bahwa strategi desentralisasi ini berlapis-lapis dan mengakibatkankan munculnya “kerajaan-kerajaan kecil”, persaingan, dan korupsi (Ristiawan, Huijbens, dan Peters 2023).
Pemerintah pusat menjadikan momentum tersebut untuk meresentralisasi kebijakan dengan argumen untuk memperbaiki sistem tata kelola pariwisata. Hal ini diwujudkan dengan dibuatnya UU Cipta Kerja yang meresentralisasi penilaian dampak lingkungan (AMDAL) yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Aspek lain yang terkait dengan adanya UU Cipta Kerja ini adalah dibentuknya Komite Geopark Nasional pada tahun 2016 di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kemaritiman, dan Investasi. Komite Geopark Nasional kemudian membentuk Forum Investasi Geopark yang bertujuan untuk menciptakan platform bagi penanaman modal asing. Menurut pemerintah pusat, liberalisasi pasar investasi di bawah naungan negara akan menghasilkan iklim investasi yang lebih sehat.
Kebijakan reresentralisasi menimbulkan pertentangan dengan pemerintah daerah. Menurut aliansi pemerintah daerah dan pemilik bisnis lokal, upaya pemerintah Pusat untuk menasionalisasi izin mendirikan bangunan sebagai omong kosong. Asumsi ini didasarkan pada ketidakmampuan pemerintah pusat untuk memahami konteks lokal secara komprehensif. Dalam konteks politik lokal, Sultan Yogyakarta menggunakan status “Istimewa” Yogyakarta untuk memperoleh tanah di daerah kekuasaannya dengan embel-embel “sultan ground”. Gabungan upaya ini berhasil memaksa pemerintah nasional untuk mengeluarkan undang-undang nasional, memberikan hak istimewa kepada wilayah Yogyakarta dan otonomi kepada Kesultanan Yogyakarta dalam memerintah daerah. Pada akhirnya, Gunungkidul hanya menjadi komoditas yang diperebutkan aktor-aktor pemerintahan, baik lokal maupun nasional, untuk memperlicin aliran modal ke daerah ini (Ristiawan, Huijbens, dan Peters 2023).
Cengkram Wisata Internasional
Pariwisata dengan suguhan keindahan alam mengharuskan pengelolaan berbasis konservasi. Konservasi dalam bingkai geowisata karst di Gunungkidul disebutkan pada Rencana Induk dan Detail KSPN Karst Gunungkidul 2016 adalah bentuk pengelolaan ekosistem geopark Gunungsewu. Objek wisata alam tersebut meliputi goa, pantai, telaga, dan sungai. Tujuan wisata tersebut untuk menunjang kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan objek wisata alam. Namun, pempromosian konservasi bentang alam sebagai sebuah komoditas pariwisata adalah dua kepentingan yang saling berseberangan. Pasalnya, sering kali upaya ini lebih banyak mengutamakan kepentingan modal, alih-alih kelestarian alam (McAfee 1999).
Alih-alih berfokus pada konservasi, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah justru membuka keran investasi sebesar-besarnya demi mewujudkan wisata geologi berstandar internasional. Investasi di sektor pariwisata yang terus melesak hanya menguntungkan keuntungan segelintir orang dengan pengorbanan rusaknya karst. Terdapat tiga sanggraloka utama yang diduga bertanggung jawab atas rusaknya karst di Gunungkidul, yaitu Drini Park, Stone Valley by HEHA, dan Beach Club Bekizart. Namun, Beach Club Bekizart milik Raffi Ahmad dibatalkan akibat petisi penolakan yang dibuat oleh publik karena terbukti merusak kawasan karst.
Pembangunan sanggraloka membutuhkan lahan luas yang mengharuskan untuk membeli petak-petak sawah milik masyarakat. Privatisasi pembangunan sanggraloka yang diklaim mampu menyejahterahkan masyarakat sekitar ini menimbulkan gaung-gaung ilusi kesejahteraan. Masyarakat yang paling terdampak dari pembangunan sanggraloka adalah petani Gunungkidul yang tidak memiliki kapasitas atau modal untuk bersaing dalam industri pariwisata. Petani jenis ini pada akhirnya harus bersitegang dalam konflik memperebutkan ruang penghidupan mereka (Ristiawan, Huijbens, dan Peters 2023).
Pelaksanaan proyek KSPN membentangkan karpet merah bagi para investor untuk menguasai ruang-ruang di Gunungkidul dan menyulapnya menjadi destinasi wisata serupa Bali. Bukan tidak mungkin, upaya mem-Bali–kan Gunungkidul tak ubahnya seperti menyebarkan epidemi krisis akibat pariwisata ke berbagai wilayah. Masyarakat Gunungkidul dilanda konflik perebutan ruang melawan wong gede–baik dari ranah internasional, nasional, dan lokal–yang telah siap sedia untuk mengeksploitasi bentang alam demi mengundang pundi-pundi uang. Sontak, masyarakat dibuat tak berdaya; diperintahkan untuk menepi dari pertarungan investasi; dipaksa menjadi turis di tanah sendiri.
Penulis: Ayu Farryla Wira Susanto dan Dhony Alfian
Editor: Nafiis Anshaari
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi
Daftar Pustaka
Arrighi, Giovanni. 1994. The Long Twentieth Century : Money, Power, and the Origins of Our Times. London: Verso.
Asnawi, A. 2024. “Raffi Ahmad Mundur Dari Proyek Beach Club Di Karst Gunungkidul.” Mongabay.co.id. June 15, 2024. https://www.mongabay.co.id/2024/06/15/raffi-ahmad-mundur-dari-proyek-beach-club-di-karst-gunungkidul/.
Bhawono, Aryo. 2024. “Tiga Resort Di Gunung Kidul Diduga Langgar Kawasan Karst.” Betahita.id. 2024. https://betahita.id/news/detail/9776/tiga-resor-di-gunung-kidul-diduga-langgar-kawasan-karst.html?v=1723128338.
Edy, Hendry, dan M. Baiquni. 2019. “DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALUR JALAN LINTAS SELATAN (JJLS) DI YOGYAKARTA TERHADAP PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN,” January.
Erlin, Erfan 2023. “Pariwisata Gunungkidul Jadi Magnet Investor, Alih Fungsi Lahan Capai 10.000 Hektare.” Https://Www.idxchannel.com/. www.idxchannel.com. November 22, 2023. https://www.idxchannel.com/economics/pariwisata-gunungkidul-jadi-magnet-investor-alih-fungsi-lahan-capai-10000-hektare.
Fletcher, Robert. 2023. “Tourism and Neoliberalism.” Tourism Geographies, October, 1–10. https://doi.org/10.1080/14616688.2023.2269882.
gunungkidul.sorot.co. 2023. November 22, 2023. https://gunungkidul.sorot.co/berita-108189-bupati-himbau-warga-tak-tergiur-jual-lahan-ke-investor.html.
Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
I A. J. Mchallo. 2018. “The Impact of Structural Adjustment Programmes on the Natural Resource Base: The Case of Tourism Development” 1 (2): 88–111.
IRFAN, DEWA. 2017. “POLITIK AGRARIA DI DAERAH ISTIMEWA : KONFLIK HAK KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL (STUDI KASUS SULTAN GROUND DI PESISIR PANTAI KABUPATEN GUNUNGKIDUL).” Umy.ac.id. http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/11861.
McAfee, Kathleen. 1999. “Selling Nature to Save It? Biodiversity and Green Developmentalism.” Environment and Planning D: Society and Space 17 (2): 133–54. https://doi.org/10.1068/d170133.
Mowforth, Martin, dan Ian Munt. 2003. Tourism and Sustainability : Development and New Tourism in the Third World. London: Routledge.
Muhsin, Ahmad , Laila Nafisah, dan Yuni Siswanti. 2019. Surat Kekancingan Tanah Sultan Ground. PENERBIT DEEPUBLISH.
Newsome, David, dan Ross Dowling. 2010. “Setting an Agenda for Geotourism.” Goodfellow Publishers EBooks, April. https://doi.org/10.23912/978-1-906884-09-3-1056.
“PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2020.” n.d. Diakses 2 November2024. https://peraturan.bpk.go.id/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020.
“PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2024.” n.d. Diakses 2 November , 2024. https://peraturan.bpk.go.id/Details/297024/perpres-no-88-tahun-2024.
“RENCANA INDUK DAN DETAIL KSPN KARST GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA 2016.” n.d. Accessed November 2, 2024. https://visitingjogja.jogjaprov.go.id/webdinas/download/executive-summary-rencana-induk-dan-detail-kspn-karst-gunungkidul-dskt/.
Rucitarahma Ristiawan, Edward H Huijbens, dan Karin Peters. 2023. “Projecting Development through Tourism: Patrimonial Governance in Indonesian Geoparks” 12 (1): 223–23. https://doi.org/10.3390/land12010223.
Rucitarahma Ristiawan, Edward H Huijbens, dan Karin Peters. 2023. “Apprehending Land Value through Tourism in Indonesia: Commodification of Rural Landscapes through Geoparks.” Tijdschrift Voor Economische En Sociale Geografie, October. https://doi.org/10.1111/tesg.12597.
SINERGI BULETIN BPIW Edisi 20. 2017, August 2017. https://bpiw.pu.go.id/publication/book/pdf/FA%20Sinergi%20edisi%2020%20final.pdf.
Sulistya, Ananda Ridho. 2022. “Pengembangan Pariwisata Jogja Abaikan Kepentingan Rakyat | Balairungpress.” Balairungpress. August 27, 2022. https://www.balairungpress.com/2022/08/pengembangan-pariwisata-jogja-abaikan-kepentingan-rakyat/.
travel.tempo.co. 2020. “Triliunan Untuk Bangun 10 Bali Baru, Ini Yang Didapat Pemerintah.” Tempo. TEMPO.CO. February 26, 2020. https://travel.tempo.co/read/1312474/triliunan-untuk-bangun-10-bali-baru-ini-yang-didapat-pemerintah.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2012. n.d. Diakses 2 November 2024. https://peraturan.bpk.go.id/Details/39064.
Wardana, Agung. 2019. Contemporary Bali : Contested Space and Governance. Singapore: Palgrave Macmillan.
Wardana, Agung. 2022. “Geografi Hukum Proyek Strategis Nasional: Studi Kasus Bendungan Bener Di Purworejo, Jawa Tengah.” Undang 5 (1): 1–41. https://doi.org/10.22437/ujh.5.1.1-41.
wisata.gunungkidulkab.go.id. 2023. Wisata.gunungkidulkab.go.id. January 5, 2023. https://wisata.gunungkidulkab.go.id/sejarah-geopark-global-unesco-gunung-sewu/.
1 komentar
Sebetulnya mayoritas lahan bukan ‘hanya’ di Kabupaten Gunung Kidul melainkan di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta secara ‘fakta mata’ lebih di dominasi oleh kepemilikan keluarga besar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, merasa jika ‘Istimewanya’ Yogya ya ‘tanahnya’. Hanya sebatas itu, kata salah seorang yang waktu itu ditanya menyoal status tanah untuk tol joglosemar yang akan dibeli pemerintah. (Ini banyak kisi-kisinya, karena menakutkan jika ditanya KTP mana).