Kamis (25-08), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyelenggarakan peluncuran dan diskusi film dokumenter bertajuk Sisi Lain Pariwisata Jogja. Diskusi yang diselenggarakan di Pendopo NdeLuweh ini dipantik oleh Supriyati, pedagang kaki lima (PKL) Malioboro; Elanto Wijoyono, pegiat sosial; dan Era Hareva, perwakilan LBH Yogyakarta. Dimoderatori oleh Rakha Ramadhan dari LBH, acara ini diawali dengan menonton film bersama, lalu dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab. Peluncuran film dan diskusi disambut antusias oleh peserta dari berbagai elemen masyarakat.
Rakha membuka sesi diskusi dengan memberikan pernyataan bahwa film Sisi Lain Pariwisata Jogja merupakan antitesis dari ungkapan “Yogyakarta terbuat dari rindu, kenangan, dan angkringan”. Menanggapi pernyataan tersebut, Era mengungkapkan bahwa sebenarnya Yogyakarta memiliki berbagai kasus perampasan hak rakyat yang berkaitan dengan sektor pariwisata. Bagi Era, fakta tersebut tidak bisa lepas dari regulasi Peraturan Daerah Istimewa (PERDAIS) khususnya tentang kebudayaan dan pertanahan. Ia mengambil contoh daerah pantai di Gunungkidul dan Kulonprogo yang terkena imbas dari PERDAIS Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan. “Beberapa pantai di Gunungkidul mendapat serat kekancingan (surat keputusan tentang penggunaan sultan ground) dari Keraton Yogyakarta untuk menjadi legitimasi investor dalam melakukan pengembangan pariwisata,” ujar Era.
Era juga menerangkan bahwa pengembangan pariwisata baru-baru ini berdampak pada pedagang kaki lima (PKL) Malioboro yang harus direlokasi. Selain masalah relokasi PKL Malioboro, Era menyebut bahwa dampak dari pengembangan pariwisata tersebut kini menyasar pendorong gerobak dan usaha rental skuter listrik. Mereka dilarang beroperasi di kawasan pedestrian Malioboro. Dasar dari pelarangan tersebut, terang Era, adalah Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3/SE/I/2022 tentang Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Jalan Marga Mulya.
Turut menanggapi dampak relokasi PKL Malioboro, Supriyati menyoroti kondisi PKL Malioboro yang kian memprihatinkan. Menurut Supriyati, pemindahan PKL ke Teras Malioboro 2 menyebabkan pendapatan kian menurun drastis, bahkan bisa dibilang terjun bebas. Supriyati juga menyayangkan tidak terlaksananya janji pemerintah terkait promosi Teras Malioboro 2. “Di Teras Malioboro ini rutin disuguhkan atraksi budaya, tetapi strategi ekonominya untuk menunjang pedagang sangat kurang,” keluh Supriyati.
Senada dengan para pembicara sebelumnya, Elanto mengungkapkan bahwa permasalahan di atas tidak lepas dari ambisi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) untuk menyabet gelar Warisan Dunia dari UNESCO. Elanto juga menggarisbawahi proses panjang yang harus ditempuh oleh nominator Warisan Dunia. Ia berkaca pada tempat-tempat lain di Indonesia yang bahkan sejak tahun 2009 tak kunjung mendapat gelar Warisan Dunia. “Hal tersebut bisa menjadi justifikasi Pemda DIY untuk terus menggenjot proyek-proyek agar gelar Warisan Dunia segera tercapai,” jelas Elanto.
Elanto juga menyebutkan bahwa dinamika yang terjadi di Malioboro hampir sama dengan Candi Borobudur tahun 1980 hingga 1990-an. Saat itu, kawasan Candi Borobudur mengalami penggusuran lahan, pemindahan pasar, dan juga relokasi tempat tinggal warga demi mendapat status sebagai Warisan Dunia UNESCO. “Borobudur perlu sepuluh tahun untuk mendapat status Warisan Dunia dan kita bisa analogikan itu untuk kasus Malioboro,” jelas Elanto.
Lebih lanjut, Elanto menarik kasus ini ke ranah industri global. Menurutnya, Indonesia adalah sasaran proyek bagi para pelaku industri wisata global. Biasanya, lanjut Elanto, mereka adalah pemodal yang memiliki surplus hasil usaha di negaranya dan ingin memutar roda ekonominya ke negara bagian ketiga, termasuk Indonesia. “Kita hidup di dalam sistem ketika Indonesia dipaksa menjadi pasar untuk pariwisata,” tegas Elanto.
Sebagai penutup, Adi, salah satu peserta diskusi mengatakan bahwa pariwisata di Yogyakarta adalah bisnis yang rapuh karena menggunakan logika kapitalistik. Selain itu, menurutnya, pariwisata di Yogyakarta rakus energi. Energi tersebut tidak lain adalah dengan berdirinya hotel, bandara, dan juga akomodasi bagi wisatawan. “Saya menyayangkan ketiadaan akses interupsi warga sipil Yogyakarta terkait kebijakan pariwisata yang merugikan,” pungkas Adi.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya
Penyunting: Yeni Yuliati
Fotografer: Ananda Ridho Sulistya