“Ambisi pembangunan dan pengembangan industri pariwisata memiliki daya rusak bagi kehidupan rakyat,” tutur Dhanil Al Ghifary, Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dalam konferensi pers pada Selasa (06-08). Konferensi yang dilakukan di Kantor LBH Yogyakarta ini mengangkat tajuk “Negara Menelantarkan PKL Borobudur: Ratusan Pedagang Tergusur Atas Nama Proyek Strategis Nasional”. Konferensi ini dilaksanakan sebagai bentuk desakan Pedagang Kaki Lima (PKL) Borobudur atas relokasi yang nirpartisipatif.
Semenjak Borobudur dijadikan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko ditunjuk sebagai pihak yang mengatur pengembangan dan pembangunan di sekitar Borobudur. Royan Juliazka, perwakilan LBH, menjelaskan bahwa salah satu pengembangan ini dilakukan dengan cara membagi wilayah Borobudur menjadi lima lokasi, dua di antaranya adalah Zona I dan Zona II. Zona I sebagai wilayah otonomi Balai Konservasi Borobudur, sedangkan Zona II sebagai wilayah otonomi PT TWC Borobudur.
Royan menjelaskan bahwa adanya pembagian wilayah ini memaksa PKL Borobudur untuk tidak lagi berjualan di zona konservasi Borobudur. Namun, PKL Borobudur tidak diberikan kepastian akan tempat relokasi. Royan menyebutkan bahwa PKL hanya diminta keluar dari tempat berjualannya tanpa diajak berdiskusi untuk menemukan tempat berjualan baru. “Pedagang tidak tahu sama sekali mau dipindahkan kemana,” ungkap Royan.
Dhanil sendiri menilai bahwa seluruh proses pembangunan ini tidak terencana dengan baik. Pemerintah tidak membuka ruang partisipasi bagi para PKL Borobudur untuk melihat dampak dari KPSN terhadap masyarakat di sekitar proyek. “Arahan Presiden [Jokowi-red] agar seluruh proyek diselesaikan dengan cepat, akhirnya semua dikebut,” ungkap Dhanil.
Dwias selaku Sekretaris Paguyuban Sentra Kerajinan Makanan Borobudur (SKMB) memvalidasi pernyataan Dhanil. Ia mengungkapkan bahwa sudah dua bulan lebih ia dan beberapa PKL Borobudur lainnya memilih mengasong, berjualan di trotoar, dan berhenti berjualan. Namun, pihak TWC sendiri juga hanya bisa menjanjikan lapak sementara dan lapak di pasar Seni Kujan yang sampai sekarang belum ditempati sepenuhnya oleh para PKL. “Ini sangat berdampak bagi kami [PKL Borobudur-red], kemarin Corona, tiba-tiba relokasi, gimana cara kami menyambung hidup kalau lapak sementara dan lapak Kujan belum kita tempati,” keluhnya.
Royan menerangkan bahwa beberapa PKL memang sudah menempati lapak sementara dan lapak di Pasar Seni Kujan. Namun, ia menegaskan bahwa hal ini belum cukup mengingat jumlah PKL yang tidak memiliki lapak masih sangat besar. “Beberapa pedagang yang mengkritisi ini [dampak KPSN-red] diancam enggak dapat lapak,” ucapnya.
Royan juga menyayangkan perihal TWC yang ikut serta dalam pengambilan keputusan paguyuban dan kelompok pedagang di sekitar Borobudur. Ia menjelaskan bahwa hubungan yang dimiliki oleh TWC dengan para PKL hanya bersifat sewa-menyewa perorangan. Oleh karena itu, TWC seharusnya tidak memiliki hak untuk masuk dan memfasilitasi pemecahan suara sesama pedagang. “Itu yang kita kritisi juga,” tegas Royan.
Dhanil juga menuturkan bahwa adanya KSPN yang mengharuskan relokasi PKL Borobudur memiliki potensi kesemrawutan pengolahan seperti relokasi PKL Malioboro. Tak hanya itu, KSPN Borobudur juga memberikan dampak besar bagi lingkungan. Dhanil menjelaskan bahwa KSPN Borobudur memiliki turunan proyek, termasuk kawasan sekitar pantai selatan Yogyakarta. “Kalau ini [KSPN daerah pantai selatan-red] dilanjut, berpotensi mengganggu fungsi karst Gunung Sewu,” imbuhnya. Ia menyebutkan bahwa proyek KSPN akhirnya hanya menyisakan perebutan hak atas ekonomi rakyat, hak atas tempat tinggal yang aman dan layak, serta memicu kerusakan lingkungan.
Pada akhir diskusi, Dwias membacakan tujuh tuntutan yang mereka taruh dalam siaran konferensi pers kali ini. Poin tuntutan ini menekankan agar hak-hak PKL dapat dikembalikan dan dipenuhi. Royan, menyebutkan bahwa tuntutan ini juga akan mereka bawakan ke dalam aksi yang akan dilaksanakan di kantor TWC Borobudur pada Rabu (07-08). “Karena sampai hari ini, pihak TWC tidak komunikatif. Beberapa kali pedagang membangun komunikasi, mereka tidak mendapat kesan yang baik,” ucapnya.
Penulis: Ester Veny
Penyunting: Dias Nashrul Fatha
Fotografer: Ester Veny