Social Movement Institute (SMI) menampilkan Teater Suluh berjudul “Kongres Para Setan” yang dipentaskan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada Jumat (16-08). Teater ini ditampilkan untuk menunjukkan betapa ironisnya kondisi demokrasi yang ada di Indonesia. Lakon “setan” dalam teater ini memiliki peranannya masing-masing, yaitu merepresentasikan suara rakyat kecil, aparat yang represif, pejabat yang mencari kambing hitam, hingga mahasiswa yang menjadi korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, teater ini juga mengajak penonton untuk melihat cara UU dibuat tanpa transparansi sehingga berujung pada kemerosotan kehidupan demokrasi maupun keadilan di Indonesia.
Teater dibuka dengan pembacaan puisi Wiji Thukul berjudul “Kenangan Anak-Anak Seragam” dan penampilan balet. Lalu dilanjutkan dengan pengenalan latar horor dan para setan sebagai tokoh utama dan simbol suasana mencekam untuk menggambarkan ketidakadilan di Indonesia. Selain itu, dikenalkan pula para aktor “Kongres Para Setan” yang melibatkan anak muda dari berbagai latar belakang. Melalui teater ini, diharapkan mereka terbiasa untuk memberontak dan memihak ketika terdapat peraturan yang mengkriminalisasi rakyat Indonesia.
Babak pertama teater menampilkan sikap represif pejabat melalui preman terhadap wong cilik yang direpresentasikan oleh petani. Pada babak kedua, kuliah umum berkumandang dari seorang rektor yang melarang mahasiswa melakukan demo dan menyebut setan sebagai musuh asli mahasiswa. Adegan ini dilanjutkan dengan demonstrasi dan kerusuhan serta penangkapan aktivis mahasiswa sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat. Selanjutnya, lampu dimatikan dan babak ketiga dimulai, yakni “Kongres Para Setan.”
Berlatar di kuburan, tokoh pocong, suster ngesot, tuyul, dan genderuwo muncul mengadakan kongres. Dipimpin oleh genderuwo, pocong menguliti masalah-masalah yang ada di dunia manusia, seperti kenaikan uang kuliah tunggal yang tidak masuk akal dan problematika UU ITE. Selanjutnya, suster ngesot menguliti dosa-dosa pejabat, seperti korupsi dan perselingkuhan, serta mengkritik manusia yang selalu menyalahkan bisikan setan atas perbuatan mereka. Tuyul pun mengungkapkan bahwa manusia seringkali mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya sendiri dan seringnya manusia berlindung pada topeng spiritual agama. Kongres para setan diakhiri dengan manifesto politik dan usulan tuyul untuk menuntut para manusia atas pencemaran nama baik setan ke pos polisi.
Masuk pada babak keempat, polisi menyeret mahasiswa yang melakukan demo ke balik jeruji besi. Di dalam penjara tersebut sudah terisi dua orang tahanan, yaitu seorang mahasiswa yang dilaporkan dosennya dan terjerat UU ITE karena keluh-kesahnya di media sosial serta seorang koruptor berompi oranye. Pada babak ini, dipertontonkan perilaku polisi sebagai aparat penegak hukum dengan mudahnya disuap oleh koruptor untuk membebaskannya. Selain itu, para setan yang telah mengadakan kongres juga turut serta dalam babak ini guna mempertontonkan sikap polisi yang mengabaikan berbagai kasus dengan berbagai alasan.
Dalam penutup pementasan teater, Eko Prasetyo selaku penulis naskah “Kongres Para Setan” menyebut teater ini sebagai gambaran pemerintahan yang semakin otoriter. Hal ini direpresentasikan oleh lakon setan yang mendiskusikan kebobrokan negara dalam pementasan. “Teater ini juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kemerosotan tersebut,” lanjutnya.
Haris Azhar, seorang aktivis HAM yang sempat dikriminalisasi menggunakan UU ITE, juga turut hadir di tengah-tengah penonton. Menurutnya, teater tersebut memiliki gaya realis dan mudah untuk dipahami publik. “Dari sisi teknis garapannya memudahkan orang untuk memahami praktik kejahatan negara dalam bentuk teater,” pungkasnya ketika diwawancarai oleh BALAIRUNG seusai acara.
Penulis: Enjeli Wahyul Ma’wa Septia dan Kaia Salma Luna Ayutie
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Fotografer: Natasya Mutia Dewi