
©Enggar/Bal
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berkolaborasi dengan Nalar TV dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggelar diskusi secara daring bertajuk “Jilid Baru Otoritarianisme: Kriminalisasi Haris+Fatia” pada Selasa (18-01). Diskusi tersebut merupakan bentuk tanggapan atas pemeriksaan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti oleh polisi terkait laporan pencemaran nama baik. Diskusi dihadiri empat narasumber yakni Arif Maulana, Peneliti dan Pengacara Publik LBH Jakarta; Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); Robertus Robert, akademisi UNJ; dan Herlambang P. Wiratraman, akademisi UGM. Dhia Al Uyun, perwakilan dari KIKA sekaligus akademisi UB, turut hadir sebagai moderator.
Arif Maulana membuka diskusi dengan menceritakan kasus yang menimpa dua aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas laporan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Laporan tersebut berkaitan dengan podcast Haris Azhar mengenai hasil riset kasus tambang Intan Jaya di Papua. “Mereka dibawa secara paksa ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan dalam proses penyidikan,” jelas Arif. Arif menyebutkan, ada beberapa pasal yang dikenakan kepada keduanya, di antaranya adalah Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang ITE, Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, serta Pasal 310-311 KUHP.
Menurut Arif, aktivis yang dikriminalisasi karena menyampaikan kritik, seperti yang dialami Haris dan Fatia, bukan satu-satunya di Indonesia. Terdapat banyak kasus serupa ketika hak memberikan kritik kepada pemerintah dianggap sebagai fitnah dan ancaman. “Kalau kemudian seperti ini yang terjadi, tidak ada nanti warga negara yang berani untuk berkata benar,” tegas Arif.
Robert menilai letak masalah dari pemeriksaan terhadap kritik Haris dan Fatia yaitu penggunaan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan individu. Menurut Robert, hal ini terjadi karena kritik mereka direspons sebagai penyerangan terhadap kehormatan kalangan elite, lalu dihadapkan dengan pendekatan hukum. “Kasus ini membuktikan adanya kemunduran dan ancaman bagi demokrasi kita,” terang Robert. Ia menekankan bahwa kerusakan demokrasi Indonesia terjadi bukan karena rakyatnya yang tidak siap, melainkan kalangan elitenya yang tidak kuat.
Sejalan dengan itu, menurut Herlambang, kasus Haris dan Fatia seharusnya dijamin dalam hal kebebasan berekspresi sesuai Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Ia melanjutkan, dalam sistem negara hukum yang menjamin HAM, perbuatan kritik bukan termasuk tindak pidana karena merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang memiliki legitimasi. “Hal tersebut menyebabkan ruang-ruang kebebasan sipil melemah”, tegas Herlambang. Ia juga berpandangan bahwa kasus ini merupakan bagian dari masalah jaminan perlindungan kebebasan akademik karena berbasis riset yang sudah dipublikasi.
Sandrayati memaparkan beberapa tindakan Komnas HAM dalam menyikapi kasus Haris dan Fatia. Pertama, Komnas HAM merekomendasikan upaya mediasi dengan mediator yang dipercaya atau difasilitasi oleh lembaga ini dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM dalam penyelesaian kasus. Kedua, Komnas HAM mengirimkan surat resmi pada tanggal 26 Oktober 2021 yang ditujukan kepada tiga pihak, yakni Luhut Binsar Panjaitan selaku pelapor, Listyo Sigit Prabowo selaku penerima pengaduan, dan kuasa hukum dari Haris dan Fatia. Surat tersebut berisi tentang perlindungan ekspresi masyarakat sipil untuk mengontrol jalannya pemerintahan dan toleransi pejabat publik guna menciptakan kehidupan demokrasi dalam tatanan masyarakat. Ketiga, Komnas HAM belum menerima balasan terhadap surat tersebut sampai saat ini, baik dari Menteri maupun Kapolri. “Kami menyikapi situasi ini tidak kondusif bagi kemajuan dan penegakan HAM di Indonesia,” pungkas Sandrayati.
Di akhir diskusi, Dhia selaku moderator mengutarakan bahwa pejabat tidak boleh bertindak sewenang-wenang menggunakan upaya represif untuk membungkam aktivis yang mengartikulasikan kritikannya kepada pemerintah. Dhia menyoroti UU No.30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintah, maka sudah menjadi tanggung jawab pejabat publik untuk melakukan asas-asas hukum pemerintahan yang baik. “Semoga ini tidak memperlemah gerakan, panjang umur untuk gerakan masyarakat sipil,” tegas Dhia.
Penulis: Eleonora Astrid Floretta Jama, Elvira Sundari, dan Estha Gusmalia Kustika
Penyunting: Kartika Situmorang
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati