Pada Rabu (24-07), Pedagang Kaki Lima (PKL) Paguyuban Tridharma bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia Yogyakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Sumbu Filosofis untuk Siapa? Merebut Kedaulatan di Tengah Arus Pembangunan dan Penataan Kawasan Malioboro”. Diskusi yang bertempat di Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY ini menghadirkan Upik Supriyati, salah satu pengurus Paguyuban Tridharma, beserta Rakha Ramadhan, kuasa hukum PKL Malioboro dari LBH Yogyakarta. Diskusi dilaksanakan sebagai tindak lanjut atas tuntutan PKL yang menginginkan kejelasan mengenai relokasi kedua.
Mengawali diskusi, Dhillan Bagaskara selaku moderator menyampaikan bahwa sebelumnya PKL sempat mendatangi kantor DPRD Yogyakarta pada Jumat (05-07) untuk melakukan audiensi. Namun, Upik mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta tidak kunjung melaksanakan kesepakatan yang dibuat saat audiensi sampai tenggat waktu selesai. Alhasil, sebagai bentuk protes, PKL menggelar dagangan mereka di selasar Malioboro pada Jumat (12-07). “Itu kan bukan karena faktor ekonomi, tapi cuma mengekspresikan kekecewaan,” ujar Upik.
Lebih lanjut, Upik menceritakan bahwa kericuhan terjadi saat PKL berusaha berunjuk rasa serupa pada Sabtu (13-07). Upik menjelaskan bahwa pintu akses masuk dan keluar ditutup oleh Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Hal tersebut menyebabkan para pedagang tidak bisa keluar untuk sholat atau pulang, sementara pengunjung tidak dapat masuk untuk berbelanja. Upik menambahkan bahwa kekacauan diperparah oleh tindakan represif dari aparat. “Beberapa anggota [PKL-red] ada yang kena pukul dan mereka [UPT-red] juga mengklaim ada pukulan,” ungkap Upik saat diwawancara BALAIRUNG selepas diskusi.
Perihal tuntutan untuk melibatkan PKL, Upik menceritakan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta memang sempat melakukan sosialisasi. Namun, sosialisasi itu hanya melibatkan segelintir pedagang. “Tidak melibatkan kami paguyuban, tapi dicomoti satu-satu,” ujarnya. Ia mengatakan undangan itu diberikan kepada anggota yang ditaksir tak pernah megikuti demo.
Tak kunjung didengarkan oleh pemerintah, Upik kembali mengingatkan nestapa yang dialami PKL setelah berpindah ke Teras Malioboro 2, mulai dari pendapatan yang menurun drastis hingga ancaman UPT yang menyisakan intimidasi. Ia juga menjelaskan bahwa PKL Malioboro hanya berharap pemerintah dapat menengok situasi mereka yang kian memprihatinkan pascarelokasi. “Mungkin ini bisa jadi perhatian dari pemerintah supaya bisa buka mata, syukur-syukur buka hati buat PKL,” ungkap Upik.
Senada dengan Upik, Rakha menyayangkan kegagalan pemerintah untuk membangun kebijakan yang berkeadilan dalam permasalahan ini. Ia memaparkan bahwa para pedagang dianggap sebagai sebuah objek yang tidak diberi peran, tetapi dipaksa melaksanakan regulasi yang malah merugikan. “Kalau mereka sendiri tidak dilibatkan dalam prosesnya, lantas kebijakan ini sebenarnya buat siapa?” sindir Rakha. Menurutnya, polemik PKL Malioboro bisa diselesaikan dengan membuka lebar ruang dialog sesuai tuntutan, bukan malah menutup rapat pintu TM 2 seperti malam itu.
Mengecam represi dari aparat ketika demonstrasi kemarin, Rakha memaparkan bahwa PKL Malioboro ditemani LBH Yogyakarta telah melakukan konferensi pers pada Rabu (17-07). Dalam konferensi pers tersebut, ia menyebutkan bahwa PKL bersama LBH menuntut Pemda untuk segera membuka ruang dialog dengan para PKL. Rakha juga mengungkapkan desakan untuk menindak tegas aparat yang melakukan represi terhadap para PKL. “Ketika dalam seminggu tidak ada ruang dialog yang terbuka maka kita yang akan menjemput ruang dialog itu,” tegas Rakha.
Dalam wawancara bersama BALAIRUNG selepas diskusi, Rakha mengungkapkan bahwa PKL bersama LBH akan mengirimkan surat tertulis untuk kemudian kembali melaksanakan aksi di depan Pemda Yogyakarta minggu depan. Rakha menekankan bahwa perjuangan PKL Malioboro akan semakin masif apabila diskusi terbuka tidak segera disediakan. “Malioboro itu punya siapa? Punya kita semua!” seru para peserta memenuhi ruang diskusi.
Penulis: Leoni Nevia dan Laura Anisa Lindra Fairuzzi
Penyunting: Catharina Maida
Fotografer: Aiken Gimnastiar