Pada 5 Oktober 2020, DPR RI mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja atau dikenal sebagai Omnibus Law. Meskipun menuai banyak kontroversi dalam perumusannya, namun pemerintah tetap kukuh menetapkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Melalui UU tersebut, pemerintah berharap perekonomian Indonesia dapat menuju ke arah yang lebih baik di awal tahun 2021.
Berangkat dari peristiwa tersebut, Jumat (06-11) BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Dr. Rangga Almahendra, S.T., M.M., dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Ia menyampaikan pandangannya mengenai implikasi UU Cipta Kerja terhadap perekonomian di Indonesia.
Apakah perubahan UU ini turut membawa perubahan bagi sistem ekonomi di Indonesia?
Ini belum bisa kita evaluasi sekarang, tapi yang jelas Omnibus Law sudah cukup menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Kegaduhan ini disebabkan oleh dua masalah. Masalah yang pertama adalah masalah prosedural dan yang kedua adalah masalah substansial. Kalau bicara mengenai masalah prosedural, ada banyak sekali prosedur hukum yang dilangkahi seperti proses yang sangat cepat dan misterius, jumlah halaman yang berubah-ubah, isi yang berbeda antara yang diputuskan DPR dengan yang ditandatangani pemerintah, banyak sekali typo, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekonomi, sektor ekonomi sangat menghindari adanya segala bentuk kegaduhan karena itu suatu hal yang buruk untuk bisnis. Di Indonesia sendiri, prosedur yang tidak dilakukan dengan baik akan menjadi suatu masalah. Untuk permasalahan terkait dengan substansi dan apakah ini akan berdampak terhadap sistem ekonomi, jelas sekali ada.
Bicara mengenai sistem ekonomi, Indonesia sendiri menganut Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” Apakah Anda melihat adanya asas kekeluargaan dalam undang-undang ini?
Saya rasa tidak. Pasal 33 sendiri menyebutkan bumi, air, kekayaan negara harus digunakan sepenuh-penuhnya untuk kemakmuran rakyat. Ini yang saya rasa belum terwakili dalam Omnibus Law. Contohnya, dalam UU tersebut banyak sekali pembahasan terkait dengan pengaturan terhadap UMR, outsourcing, dan lain sebagainya. Akan tetapi, selama ini yang diatur hanya pada batas bawahnya saja, sementara batas atasnya tidak diatur, sehingga memunculkan gap. Ke depannya, saya mengkhawatirkan beberapa dampak dari UU ini. Pertama, bisa saja terjadi inequality atau kesenjangan yang akan semakin parah di Indonesia. Bukan hanya kesenjangan antara pengusaha dengan pekerja, tetapi juga adanya kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kedua, Omnibus Law ini banyak sekali memotong peran gubernur karena adanya resentralisasi. Hal yang seperti ini tidak sesuai dengan semangat ekonomi Pancasila yang berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong ketika semuanya terpusat.
Apakah narasi pemerintah yang menyatakan bahwa masalah perizinan yang dikatakan hyper regulation sebagai latar belakang UU Cipta Kerja ini benar terjadi dan menjadi keluhan bagi pelaku usaha di Indonesia?
Landasan pijakan dari Omnibus Law ini masih belum jelas. Kalau dikatakan UU ini menghapus hambatan investasi, kenyataannya yang menghambat investasi itu bukan masalah pekerja, tapi jelas-jelas korupsi yang sering terjadi dalam institusi itu sendiri. Hal tersebut juga disampaikan oleh akademisi di FEB UGM, bahwa urgensi sesungguhnya adalah isu kelembagaan. Lucunya, justru KPK yang malah dilemahkan. Kalau memang judulnya untuk menghapus hambatan investasi, sebetulnya Foreign Direct Investment (FDI) kita tidak terlalu mengecewakan. Investasi yang masuk ke Indonesia itu sebenarnya banyak sekali. Sayangnya, hal itu tidak tercermin dalam output produksi.
Adakah implikasi langsung yang dirasakan oleh masyarakat pelaku ekonomi dari perubahan UU tersebut?
Masih dini untuk dievaluasi, tapi banyak yang menyayangkan bahwa Omnibus Law ini disahkan pada waktu yang tidak tepat. Jika Omnibus law disahkan ketika ekonomi kita sedang baik-baik saja, mungkin akan berdampak bagus untuk memacu perekonomian. Tapi di kala pandemi, hal ini dapat dijadikan alasan bagi perusahaan untuk mem-PHK karyawannya. Kalau di UU No.13 Tahun 2003, aturan mengenai PHK sudah diatur dengan ketat, tapi di UU Omnibus Law ini alasan PHK menjadi diperluas. Ini yang kemudian akan dikhawatirkan dalam jangka pendek karena akan membuka gelombang PHK, apalagi pemerintah sudah mengumumkan bahwa Indonesia sedang mengalami resesi.
Apakah Anda setuju dengan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja ini akan meningkatkan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja?
Kalau saya tidak. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu akan membuka jendela bagi pengusaha untuk lebih tidak memperhatikan pekerja. Kalau memang niatnya untuk meningkatkan investasi, seharusnya kita lebih serius lagi untuk memperhatikan kesejahteraan pekerja dan kualitas mereka, agar skill pekerja meningkat. Kalau skill pekerja meningkat, pasti investasi akan datang dengan sendirinya. Saya lebih menyetujui jika pasal-pasal yang mendorong pengusaha untuk meningkatkan keterampilan pekerja itu seharusnya dimasukkan, agar investasi yang masuk ke Indonesia bukan sekadar low quality investment tapi juga high quality investment. Kunci untuk meningkatkan investasi sebetulnya adalah kompetensi pekerja yang harus ditingkatkan. Sayangnya itu tidak cukup terbaca dalam Omnibus Law ini.
Seberapa pentingkah aspek lingkungan bagi investor asing mengingat adanya surat terbuka yang disampaikan oleh 35 investor global karena UU ini dianggap berpotensi merugikan lingkungan?
Beberapa yang menjadi perhatian utama adalah undang-undang ini dianggap merugikan aspek lingkungan. Kalau kita bicara mengenai keberlanjutan jangka panjang, kita harus bicara triple bottom line. Bottom line sekarang bukan hanya profit, tapi juga planet dan masyarakat sendiri. Omnibus Law itu mungkin bagus untuk profit, tapi ada banyak sekali elemen dari planet dan masyarakat yang dikhawatirkan akan menjadi terganggu.
Apa pengaruh UU Cipta Kerja ini terhadap regulasi pajak di Indonesia?
Tax ratio kita sebetulnya tidak begitu menggembirakan dari waktu ke waktu. Bahkan, ada hipotesis bahwa kalangan konglomerat merupakan pengemplang pajak yang memanipulasi data pajaknya agar dapat terhindar dari pungutan negara. Ini bisa dijadikan bahan kajian bersama, apakah betul UU ini akan meningkatkan tax ratio kita. Namun, permasalahan tax ratio ini tidak bisa serta merta kita kaitkan dengan Omnibus Law saja. Masih banyak hal lain yang harus kita perbaiki terkait dengan sistem perpajakan kita, seperti mekanisme yang belum transparan, dan sebagainya.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konsep desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan pemerintah yang semula bersifat sentralistis menjadi desentralistis. Namun pada Omnibus Law ini kebijakan tersebut kembali bersifat sentralistis, apa dampak yang akan ditimbulkan dengan kebijakan tersebut pada bidang perekonomian?
Sentralisasi akan mengakibatkan ketimpangan antara pusat dan daerah. Kalau semuanya terpusat, otoritas pemerintah pusat menjadi sangat besar. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki sebuah institusi, maka semakin besar potensi kecurangan yang akan terjadi. Semangat desentralisasi fiskal yang sebetulnya sudah baik untuk meratakan pembangunan dan membuat daerah bisa mengejar ketertinggalan, justru semakin dilemahkan.
Apakah Anda yakin UU Cipta Kerja ini nantinya akan berdampak pada peningkatan investasi di Indonesia?
Iya, tetapi saya tidak yakin dengan peningkatan produktivitas. Saya menduga apa yang dilakukan presiden sebelumnya lebih baik dalam meningkatkan investasi. Kenapa tidak kita lanjutkan saja secara gradual dan kita evaluasi, bukan dengan membuat sesuatu yang baru dan menciptakan kegaduhan. Ini yang sebenarnya paling saya takutkan, bukan masalah substansinya, melainkan kegaduhan yang muncul karena aspek prosedural ini, dan yang namanya kegaduhan menjadi musuh semua investasi. Tidak ada yang mau berinvestasi di suatu negara yang politiknya selalu berkecamuk. Selain prioritas peningkatan investasi, harmoni dalam berinvestasi tetaplah harus dijaga.
Penulis: Avicenna Shahnaz Nuraini, Gracia Christabella, Jovita Agnes Glorya (Magang)
Penyunting: Naufal Ridhwan Aly
Ilustrator: Zufar Marsa Elmy (Magang)