Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) dan ribuan elemen masyarakat sipil, melakukan aksi Jogja Memanggil pada Kamis (08-10). Aksi tersebut dimulai dengan aksi longmars yang diikuti oleh berbagai mahasiswa dan organisasi lain yang tergabung dalam ARB. Ribuan massa aksi melakukan longmars dari Bundaran UGM menuju gedung DPRD DI Yogyakarta. Pada waktu yang bersamaan, ratusan massa aksi lain yang berasal dari serikat buruh telah berkumpul di depan gedung DPRD DIY. Serikat buruh yang bergabung antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (AGN), Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, Pimpinan Serikat Pekerja, dan organisasi lainnya.
Dalam konferensi pers, Revo dan Lusi (nama samaran) selaku Humas ARB, menyampaikan bahwa aksi hari itu merupakan akumulasi kemarahan dan kekecewaan masyarakat. Hal tersebut didasari atas sikap sewenang-wenang pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja. Menurut mereka, dalam perumusannya hingga pengesahannya, pemerintah tidak memperhatikan asas partisipasi publik. “Pemerintah menghiraukan gelombang penolakan serta masukan dari berbagai elemen masyarakat,” terang Lusi. Oleh karena itu, massa aksi menuntut pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja, termasuk membatalkan seluruh undang-undang yang terkandung dalam omnibus law.
Sebelum bergabung dengan massa aksi longmars, serikat buruh telah melakukan orasi di gerbang masuk Gedung DPRD DIY. Maskot berbentuk babi berwarna merah bertuliskan “Dewan Pengkhianat Rakyat” digotong oleh massa aksi. Satu per satu orang menaiki mobil komando secara bergantian untuk menyampaikan orasinya. “Kami bukan mau menularkan Covid, kami mau menyehatkan negara,” ucap salah satu orator.
Sesaat kemudian, Koordinator Lapangan (Korlap) memimpin massa aksi untuk menyanyikan lagu “Darah Juang” sembari mulai memasuki halaman gedung DPRD DIY. Dalam kesempatan tersebut, beberapa perwakilan anggota DPRD DIY dari fraksi Demokrat dan PKS menemui massa aksi dan menyatakan dukungannya pada aksi hari itu. “Cabut Omnibus Sekarang!” teriakan salah satu anggota DPRD DIY di atas mobil komando. Dukungan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk penandatanganan surat pernyataan oleh salah satu anggota DPRD DIY. Setelah itu, massa aksi meninggalkan halaman gedung DPRD DIY.Â
Massa aksi yang melakukan longmars dari Bunderan UGM tiba di depan gedung DPRD DIY pada pukul 12.30 WIB dan bergabung dengan massa aksi yang lain. Massa aksi kemudian memosisikan diri duduk di depan gedung DPRD sembari mendengarkan orasi dari mobil komando. “Kita tidak akan mundur sampai Omnibus Law dicabutkan,” ujar orator dari atas panggung mobil bak. Poster bertuliskan “Omnibus adalah virus” turut mengiringi orasi massa aksi.
Tidak lama setelah itu, mobil komando ARB memasuki kawasan gedung DPRD DIY diikuti massa aksi lainnya. “Jogja bersatu, tak bisa dikalahkan!” teriak massa aksi bersahut-sahutan. Terlihat massa aksi sempat melemparkan beberapa botol minuman ke arah gedung DPRD DIY yang dijaga aparat kepolisian. Sembari menyampaikan orasinya, Korlap meminta massa aksi untuk tetap tenang. “Tenang-tenang! Kita satu komando! Harap tenang, dengarkan komando,” perintah Korlap.
Pada pukul 13.24 WIB, enam aparat kepolisian menuju tembok bagian kanan gerbang gedung DPRD DIY untuk memukul mundur massa aksi yang berusaha memanjat. Hal itu kemudian memperkeruh keadaan. Terdengar suara pecahan kaca dari bangunan masjid yang berada di halaman gedung DPRD DIY. Dengan perlengkapan penjagaan lengkap, polisi mengambil posisi mundur. Tepat pada pukul 13.25 WIB, tembakan gas air mata pertama diluncurkan. Tembakan tersebut membumbung tinggi ke arah massa aksi. Setelahnya, berturut-turut massa aksi dan polisi saling balas serangan. Massa aksi dipersenjatakan botol, batu, dan petasan, sementara polisi dengan gas air mata, tongkat pemukul, dan water cannon.
Kepulan asap tebal dari gas air mata memenuhi pelataran gedung DPRD DIY dan Jalan Malioboro. Terlihat banyak massa aksi yang mengalami mata merah, terluka, hingga pingsan akibat dari tembakan gas air mata. Massa aksi mulai mundur ke arah selatan, namun tembakan gas air mata masih terus dikirimkan dari arah gedung DPRD DIY. Rahmad Saga Putra, massa aksi dari UGM, mengaku mendapatkan sebuah tembakan pada kaki kirinya ketika hendak mundur dari gedung DPRD DIY. Ia menduga tembakan tersebut adalah tembakan peluru karet, bukan gas air mata. “Setelah dicek, ternyata ada luka memar yang buat sulit berjalan,” terang Saga. Ia kemudian dibawa ke lokasi paramedis di Hotel Grand Inna Malioboro. Hingga pukul 15.18 WIB, suara berdentum terdengar mengiringi nyanyian lagu “Padamu Negeri” dan teriakan “Revolusi” oleh massa aksi.Â
Selang beberapa saat kemudian, tepatnya pada pukul 15.28 WIB, rumah makan Legian Garden yang berada di selatan gedung DPRD DIY terbakar. Salah seorang saksi, Yudho, mengatakan kebakaran diakibatkan oleh lontaran gas air mata yang salah arah. Menurut satpam salah satu toko di Jalan Malioboro itu, tembakan gas air mata meleset masuk ke restoran dan menghantam kayu yang mudah terbakar. Yudho kemudian menyayangkan sikap anggota kepolisian yang menembakkan gas air mata secara berlebihan. “Gas air mata ini nggak perlu, malah berdampak ke yang lain,” katanya.
Tidak hanya rumah makan, lapak jualan pedagang kaki lima yang berada di depan rumah makan ikut habis dilahap api. Menurut pernyataan Yudho, pedagang di sepanjang Jalan Malioboro tidak diberikan informasi terkait aksi yang akan dilakukan hari itu. Oleh karenanya, pedagang baru membereskan barang dagangannya ketika aksi mulai ricuh. Atas kericuhan tersebut, banyak pedagang kaki lima yang panik dan menangis, kemudian diselamatkan oleh massa aksi menuju tempat yang lebih aman. “Banyak masyarakat sipil yang tidak tahu menahu jadi kena,” imbuhnya.
Dalam rilis pers ARB, saat mereka melakukan pembacaan sikap aksi pada pukul 16.20 WIB, tembakan gas air mata masih terus dilontarkan ke arah massa aksi. Berdasarkan Laporan Tim Medis ARB, sebanyak tiga puluh massa aksi mendapatkan perawatan dan diantaranya mengalami kondisi yang kritis. Termuat dalam rilis pers tersebut juga, sebanyak dua puluh massa aksi ditahan dengan dua diantaranya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Reporter: Jessica Syafaq M, Isabella, Megantara Massie, Muh. Fadhilah, Haris Setyawan, Muhammad Hasbul Wafi, Veronica Ayu Pangestika
Penulis: Anis Nurul
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih
Fotografer: Anas Fitra