KKN daring merupakan alternatif mahasiswa untuk melakukan pengabdian di tengah pandemi. Namun bagi mahasiswa serta masyarakat, KKN daring menuai berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya. Hal ini menyebabkan KKN daring dipertanyakan kembali efektivitasnya.
Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM mengeluarkan SK Nomor 481/UNI/DPM/KKN/KKN/PM2020 tentang Pemberitahuan Pelaksanaan KKN-PPM UGM Tahun 2020 pada 2 April lalu. SK tersebut menerangkan bahwa program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode 2 tahun 2020 yang berada dalam rentang bulan Juni hingga Agustus tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Dalam SK tersebut juga dijelaskan bahwa program KKN penuh dilakukan secara daring atau tidak ada penerjunan mahasiswa ke lokasi KKN.
Djarot Heru Santoso, salah satu pejabat DPkM mengemukakan penjelasannya ketika kami hubungi pada tanggal 18 Juli lalu. Djarot mengatakan bahwa segala kebijakan seputar KKN daring dilandasi oleh upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Ia mengatakan besar kemungkinan mahasiswa dapat terjangkit COVID-19, karena beberapa lokasi tujuan KKN berada di zona merah. “Kami mempertimbangkan risiko yang tinggi apabila tetap mengirim mahasiswa ke lokasi KKN.” tegas Djarot.
Pertimbangan lain dari DPkM untuk mengadakan KKN daring di tengah pandemi merupakan persoalan yang terikat dengan masa waktu kuliah mahasiswa. “Perlu disadari bahwa KKN merupakan mata kuliah wajib di UGM,” tegasnya. Djarot menambahkan jika KKN periode 2 dibatalkan, maka akan ada sekitar enam hingga tujuh ribu mahasiswa tertunda masa studinya.
Namun dalam pelaksanaannya, KKN daring tidak luput dari beberapa kendala. Rifa Syahdil Achsan, mahasiswa Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, menyampaikan keresahannya mengenai program KKN daring yang dijalaninya. Koordinator Mahasiswa Unit (Kormanit) KKN Morowali, Sulawesi Tengah itu mengatakan mengalami kesulitan koordinasi dengan anggota timnya. Ia menceritakan hal itu terjadi karena anggota timnya tersebar di berbagai daerah, bahkan ada yang tempat tinggalnya jauh dari jaringan internet. “Ada beberapa anggota tim yang terkendala internet selama melakukan KKN daring ini,” jelasnya.
Selain itu, menurut Rifa, pendistribusian hasil KKN daring ini tidak optimal. Hasil program kerja yang mereka buat hanya berupa rencana, dan memanfaatkan laman web sebagai media agar masyarakat dapat melihatnya. Namun, mereka menyadari program kerja yang mereka buat tidak dapat secara langsung dilakukan oleh masyarakat. “Karena hanya berupa rancangan tanpa praktik langsung, program sulit direalisasikan masyarakat,” kata Rifa.
Tanggapan serupa juga datang dari Nurma, salah satu anggota tim Rifa. Ia menjelaskan bahwa salah satu program kegiatannya yaitu melakukan penyuluhan secara daring namun tidak ditanggapi oleh masyarakat setempat. Peristiwa itu membuat Nurma berpikir kalau KKN daring ini tidak dibutuhkan masyarakat. Ia menambahkan, KKN daring dilakukan bukan lagi menjadi pengabdian mahasiswa. “Bagi saya dan teman-teman, KKN ini tidak untuk mengabdi, tetapi hanya untuk lulus.” ujarnya.
“Tidak ada efek timbal balik dari program yang kami buat yang dapat dirasakan masyarakat,” kata Abduh Mubarak terkait kepuasannya melakukan program KKN daring. Abduh, salah satu peserta KKN di Desa Trirejo, Purworejo, merasa tidak puas karena tidak bertemu langsung dengan masyarakat. Mahasiswa asal Fakultas Filsafat tersebut mengeluh kesulitan dalam menjaring dan menyampaikan aspirasi antara mahasiswa dan masyarakat.
Dalam pemaparan Abduh, pihak DPkM terkesan membandingkan hasil program KKN daring yang dilakukan peserta periode 2 dengan periode 6. Ia mengatakan periode yang dilakukan dalam rentang bulan Mei hingga Juni lalu itu dianggap periode percobaan yang sukses oleh DPkM. Padahal menurutnya, realisasi program periode 6 tidak bisa diterapkan pada program periode 2. “Kedua periode ini timpang secara tema dan teknis, sehingga tidak bisa dibandingkan begitu saja,” ujar kormanit KKN Desa Trirejo itu.
Kendati demikian, peserta KKN Periode 6 juga merasakan berbagai kesulitan. Hal tersebut disampaikan oleh F.X. Airell V.S.W atau biasa dipanggil Rio, salah satu peserta KKN Periode 6 yang berlokasi di Kelurahan Sorosutan, Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa telah terjadi kesimpangsiuran informasi teknis oleh DPkM. Mulanya DPkM memberikan penjelasan bahwa program KKN dilaksanakan sesuai dengan domisili masing-masing mahasiswa. Namun, pada pengumuman plotting peserta KKN periode 6, Rio disatukan dengan mahasiswa lain yang berbeda domisili. Hal tersebut menimbulkan kebingungan bagi Rio dan anggota timnya. “Kami mencoba menanyakan ulang kepada DPkM, namun tidak ada jawaban,” imbuh Rio.
Setelah lama tidak mendapat kepastian, pada minggu kedua pelaksanaan KKN periode 6, DPkM mengeluarkan keterangan lebih lanjut. DPkM menerangkan mahasiswa yang berada di luar pulau Jawa untuk melakukan KKN domisili. Selanjutnya disertakan penjelasan bahwa plottingan unit dilakukan hanya untuk mempermudah proses administrasi. Bagi Rio dan anggota timnya, keluarnya keterangan tersebut terhitung lambat. Sehingga, mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mempersiapkan rancangan program. “Karena persiapan yang mepet, program kerja baru terlaksana menjelang akhir periode KKN,” jelasnya.
Djarot mengakui keberhasilan KKN daring adalah dengan adanya sosialisasi secara menyeluruh. Menurutnya mahasiswa adalah âperpanjangan tanganâ dari UGM terkait sosialisasi kepada masyarakat. Mahasiswa memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan program KKN daring ini. Djarot juga menuturkan sosialisasi telah dilakukan DPkM kepada pemerintah daerah untuk disosialisasikan lebih lanjut kepada masyarakat. “Kami sudah sosialisasi dengan pemerintah daerah, karena DPkM bekerja layaknya birokrasi yang bertingkat,” ujarnya.
Perihal tersebut lantas membuat DPkM menilai bahwa masalah terbesar KKN daring terletak pada komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh mahasiswa kepada masyarakat. Ia mengatakan bahwa mahasiswa harus memiliki inisiatif untuk membangun komunikasi yang baik. Padahal, ia mengakui hal tersebut lebih sulit untuk dilakukan di masa daring ini. âBerbeda dengan KKN biasanya, mahasiswa tidak dapat mencairkan suasana karena hanya lewat dunia maya,â ungkap Djarot.
Selayaknya KKN biasanya, Djarot tidak menampik pendapat mahasiswa mengenai kurangnya prinsip pengabdian dalam KKN daring. Djarot menyatakan KKN daring memang lebih berat karena tidak bisa terjun langsung ke masyarakat. Untuk itu, DPkM mengimbau mahasiswa untuk mengerjakan semampunya saja. “Lebih baik melakukan KKN daring daripada tidak KKN,” kata Djarot.
Respons Masyarakat
Tidak hanya pelaksana program KKN daring, keluhan juga muncul dari kalangan masyarakat sasaran program KKN daring. Dody Heryanto selaku Kepala Desa Bokoharjo, Yogyakarta menyampaikan bahwa masyarakat merespons baik adanya program KKN di desanya. Akan tetapi, masyarakat di Desa Bokoharjo juga terkendala kurangnya pengetahuan penggunaan teknologi dalam mengikuti program KKN daring. “KKN daring agak mempersulit warga desa karena tidak semua warga tahu menggunakan teknologi komunikasi.” tutur Dody.
Hal yang sama juga terjadi di desa sasaran program KKN periode 6 yaitu Desa Moyudan, Yogyakarta. Hal tersebut dijelaskan oleh Nur Hidayat Lathif atau kerap dipanggil Dayat, masyarakat Desa Moyudan. Dayat menceritakan bahwa di desanya KKN dilaksanakan secara luring dan daring. Baginya KKN daring sulit diikuti oleh masyarakat karena terbatasnya pemahaman kegiatan daring. Sementara itu, program kegiatan luring menurut Dayat lebih membantu masyarakat. “Penerapan ekonomi kreatif yang dilakukan langsung oleh mahasiswa, hingga kini masih berlanjut di masyarakat,” Dayat memberi contoh.
Pengawalan Program KKN daring
Sebagai pembimbing tim KKN daring periode 2 di Tanjung, Nusa Tenggara Barat, Dwi Umi Siswanti memiliki cara sendiri untuk memantau mahasiswanya secara daring. Dosen Fakultas Biologi yang akrab dipanggil Wawien itu meminta mahasiswa timnya untuk menandai akun instagram miliknya di instagram story setiap hari selama periode KKN. Selain itu, Wawien juga mengadakan rapat koordinasi rutin dengan timnya perihal kendala dan pencapaian mahasiswa selama KKN. “Hal tersebut saya lakukan agar mengetahui proses kerja mahasiswa,” tutur Wawien.
Berbeda dari Wawien, Galuh Adi Insan, dosen Fakultas Peternakan, menceritakan program KKN daring dari tim yang dibimbingnya. Ia menjadi pembimbing pada dua periode KKN yaitu periode 1 dan periode 6 di Kecamatan Kokap, Kulonprogo. Pada periode 1 yang dilaksanakan bulan Maret hingga April lalu, Galuh mengatakan terdapat perubahan teknis KKN. Sebelumnya kegiatan KKN dilakukan secara tatap muka, namun di hari ke-7, KKN harus dilakukan secara daring karena mewabahnya COVID-19 di Indonesia.
Perubahan yang mendadak itu mengakibatkan mahasiswa harus melakukan penyesuaian diri dan harus mencari kegiatan alternatif dalam waktu dekat. Maka dari itu, tim KKN periode 1 berupaya menjalin kerjasama program dengan beberapa pihak lain. Pihak-pihak tersebut adalah Rumah Sakit Akademik UGM, Disaster Response Unit UGM, Pusat Inovasi Agroteknologi UGM, serta beberapa komponen pemerintahan lain. “Kegiatan yang kami lakukan adalah pengentasan informasi hoaks terkait COVID-19 dengan banyak media,” Galuh memberi contoh. Sementara itu, tim KKN periode 6 yang dibimbingnya hanya meneruskan program kegiatan periode 1.
Bagi Galuh, program KKN-PPM UGM harus tetap dilaksanakan. Menurutnya, program KKN-PPM merupakan wujud peran serta akademisi, khususnya UGM, untuk terlibat langsung dalam kegiatan pengabdian ke masyarakat. “Apapun tantangan yang ada harus dijalani dengan sepenuh hati,” ujar Galuh.
Namun sebaliknya, dengan berbagai kendala yang dihadapi, Abduh merasa KKN yang dilakukan tanpa tatap muka lebih menyulitkan mahasiswa. Bagi Abduh, sistem KKN daring yang baru ini masih tidak siap untuk diterapkan. “Mungkin ini menjadi KKN yang tidak diharapkan oleh kebanyakan mahasiswa,” tegasnya.
Penulis: Affan Asyraf dan Afifah Fauziah
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih
Ilustrator: Inggrid Damara
erata: “Senandung Tanjung” diubah menjadi “Tanjung”.