Kedaulatan manusia terhadap ilmu memengaruhi kesejahteraannya sebagai makhluk. Kompleksitas persoalan yang dihadapi manusia secara tak sadar mengembangkan akalnya untuk berpikir multidimensi.
Ilmu pengetahuan masih dipegang sebagai jembatan penghubung menuju kebenaran ilmiah. Tanpanya manusia terseok oleh kredo imajiner yang acap kali mengantarkan pada pengkultusan mitos. Dorongan pencarian yang dimiliki manusia pada puncaknya mampu mentransformasi khayalan sebagai wujud abstrak dari mitos menuju dimensi empiris ilmu pengetahuan. Pandangan demikian, disadari atau tidak, membuktikan bahwa manusia sebagai subjek pembangunan mampu mengelola lingkungan yang disediakan kosmos melalui kreativitas tanpa batas yang dimilikinya.
Perspektif kontemporer semacam itu menguat di benak para ilmuan dunia. Revolusi Industri menjadi tonggak gerakan pembangunan yang berorientasi pada pendidikan, kebudayaan, politik, dan ekonomi di Eropa pada paruh abad ke-19. Hal ini berdampak luas hingga ke kawasan negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia. Secara implisit, fenomena peradaban tersebut berakibat pada dibaginya ilmu pengetahuan menjadi fragmen dikotomis.[1] Kualitatif dan kuantitatif pun dipisahkan oleh tembok kepentingan politik; naturalistik beroposisi dengan positivistik.
Konsekuensi logis dari pengotakan ilmu tersebut menjalar tidak hanya di ranah akademis, tapi juga tingkat praktis di lapangan. Pengambil kebijakan di jajaran birokrasi, baik di tingkat lokal hingga internasional, memosisikan masing-masing ilmu sebagai tatal yang berdiri independen satu sama lain. Sebagai contoh, pembangunan fisik suatu tempat sekadar ditempuh dengan satu disiplin ilmu semata. Ilmu-ilmu lain yang seharusnya mampu menyokong demi terlaksananya hasil yang komprehensif cenderung ditampik atas dasar efektivitas pembangunan.
Kasus relokasi yang kerap diperbincangkan di forum jejaring sosial hingga bangku perkuliahan menjadi preseden yang menarik diulas lebih lanjut. Birokrat yang merencanakan agenda tersebut barangkali hanya memikirkan aspek ekonomi dan arsitekturâbagaimana menyusun anggaran dan merekonstruksi wilayah secara sangkil dan mangkus. Mereka lupa, di balik relokasi, anak-anak hingga orang tua menjerit kehilangan tempat tinggal dan hari depan. Kendatipun sudah disiapkan tempat berteduh yang baru, luka psikologis mereka masih menganga.
Realitas konfik batin sebagai efek kebijakan pemerintah tersebut dapat direduksi melalui pengembalian hakikat ilmu yang saling berpaut. Asumsi awal di tahap perencanaan pembangunan fisik seyogianya melibatkan ilmu lain seperti pendidikan atau psikologi sehingga keduanya berperan dalam pembangunan mental masyarakat, khususnya aspek emotif yang terabaikan oleh geliat pembangunan fisik.
Tak terbantahkan lagi betapa peran pendidik dalam menyalakan lentera pengetahuan kognitif anak-anak yang menjadi korban relokasi sedemikian signifikan. Pemerintah dapat bekerja sama (baca: menginstruksikan) departemen lain yang membina urusan pedagogik. Puluhan pendidik atau guru yang bekerja di institusi pemerintah diharapkan bahu-membahu untuk turun angan dan tangan bersama di lapangan. Mereka tak sekadar mengajar semata, tetapi juga dikoordinasi supaya menyusun kerangka pembelajaran selama relokasi berlangsung.
Dengan begitu, anak-anak di sana akan terjamin proses pendidikannya. Metode pembelajarannya pun tak harus mirip sebagaimana arah pendidikan nasional yang termaktub secara tertulis di kurikulum yang berlaku. Pendidik dapat mengonstruksi pembelajaran melalui pendekatan aktif-kreatif yang sebaiknya berangkat dari konteks masyarakat. Oleh sebab itu, gatra sosial di sana menjadi penentu utama diambilnya model pembelajaran. Terobosan tersebut memungkinkan peran kreativitas tanpa batas: apa dan bagaimana bentuk pengajaran tergantung oleh pendidik sebagai inisiator, konseptor, dan eksekutor.
Sementara itu, urgensi psikolog di tengah masyarakat tergusur begitu relevan. Ia hadir bersama warga untuk membesarkan hati warga yang tersayat. Pendekatan kultural-personal pun diperlukan demi menjaga kondisi psikis penduduk sekitar agar stabil sehingga mereka tak teralienasikan, baik secara individu maupun kelompok. Tantangan psikolog dalam menangani keadaan tersebut tak semudah seperti membalik telapak tangan. Ia harus memahami situasi-kondisi masyarakat secara langsung, bukan sekadar melakukan perlakuan psikofisiologis berdasarkan teori buatan Barat.[2]
Gejala kejiwaan manusia Indonesia tentu berbeda dengan orang Barat. Sementara itu, teori boleh dikatakan sebagai representasi realitas yang telah diuji dengan metode tertentu dan memiliki substansi yang bersifat universal. Namun, ia harus dikontekstualisasikan ke dalam latar sosial-budaya subjek yang dituju. Oleh sebab itu, tanpa pengetahuan umum tentang suatu masyarakat yang hendak ditujuâmeliputi latar belakang pekerjaan, pendidikan, dan ekonomi wargaâkontribusi psikolog dalam menangani masyarakat akan terkendala, bahkan terseok; atau malah justru mengalami penolakan.
Menimbang Probabilitas
Proyeksi dua disiplin ilmu di atas sebetulnya hanya menunjukan beberapa variabel yang memungkinkan pengambil kebijakan melakukan terobosan. Di lain pihak, ia juga dapat menjadi strategi futorologi[3] dalam mengantisipasi kemungkinan buruk di masa depan. Pendekatan futorologi bukan termasuk dalam kategori ramalan yang irasional, tetapi ia berbasis rasional-empiris sehingga implementasinya harus diuji melalui metodologi tertentu.
Tendensi ilmu demi menunjang kemaslahatan manusia menjadi tak terelakan lagi tatkala ia dikaitkan ke perencanaan di masa depan (forward linkage). Oleh karenanya, pengambil kebijakan di level mana pun bisa menggunakannya sebagai jalan dalam melakukan antisipasi pelbagai kemungkinan tak terduga. Kendati demikian, boleh jadi ia berimplikasi negatif atau positif. Dua sisi tersebut sudah barang tentu di luar kapasitas manusia sebagai perencana.
Interdisiplin ilmu sebagai strategi futorologi mampu menjembatani birokrasi dan masyarakatâseperti gambaran di awal soal relokasi. Kontradiksi yang acap kali merenggangkan keduanya tak lagi terjadi bila birokrasi melakukan pendekatan yang holistik. Meskipun demikian, bukan berarti alternatif yang diajukan berdasarkan asumsi tesebut akan berjalan baik secara instan. Masa lead time (meminjam istilah Soedjatmoko) akan membuktikan apakah strategi tersebut berhasil atau tidak, sebab âwaktuâ merupakan katalis penentu kebenaran ilmiah.
Pemerian rentang waktu tersebut memberikan kesempatan pada pemerintah untuk melakukan pemantauan secara berkala. Semisal, selama satu tahun khitah yang diterapkan di beberapa tempatâdalam konteks relokasiâditinjau apakah respons dari masyarakat berbanding positif atau tidak. Di sini diperlukan observasi dengan menggunakan pendekatan survei lapangan demi menjaring opini publik. Data yang didapatkan, selanjutnya dianalisis oleh tim khusus sehingga menghasilkan perbaikan konstruktif.
Sekilas konsep yang diajukan di atas terkesan rumit, karena ia harus melibatkan pelbagai pihak dengan pola komunikasi koordinatif dan instruktif. Akan tetapi, sepanjang direncanakan dengan matang, pendekatan interdisiplin ilmu akan berjalan baik. Substansi dari kerangka ilmiah ini tiada lain mengkolaborasikan kembali ilmu sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam perjalanannya, ilmu boleh dipotong menjadi fragmen-fragmen mikro (spesialisasi)âsebab tanpa demikian, ia akan sukar dikembangkan secara mendalam. Namun, dalam penerapannya, seperti pada isu pembangunan tadi, ia harus dikolaborasikan secara utuh.
Begitu pula untuk memosisikan ilmu di tataran praktis, ia harus dikaitkan dengan disiplin lain untuk turut serta menjawab persoalan yang dihadapi. Karena itu, pendekatan pembangunan yang paling efektif bukan memparsialkan ilmu, melainkan menyatukan ilmu adalah komponen yang absolut, sehingga komprehensif. Selain itu, posisi manusia sebagai subjek perubahan turut memengaruhi keberhasilan di belakangnya. Bukankah manusia merupakan makhluk sentral di alam semesta yang dianugerahi akal untuk berpikir oleh Tuhan?
Kendati manusia dibekali alat berpikir yang canggih bernama otak, ia tak semata-mata mampu menjawab pelbagai persoalan sekali selesai. Pergulatan panjang intelektualitas manusiaâsehebat apa punâdalam menyikapi problem yang melanda, baik di tataran praktis maupun teoretis, akan terus menghadapi kompleksitas masalah yang muncul dari kepelikan sebelumnya. Kenyataan tersebut merupakan keniscayaan yang tak luput ditemui sepanjang masalah itu berkelindan dengan ruang dan waktu. Dalam kata lain, masalah apa pun bentuknya, pasti terikat oleh realitas temporal.
Goethe, penyair terkenal Jerman, menyatakan âwir tasten ewig an problemenâ.[4] Ini mengindikasikan betapa persoalan di satu sisi mencerminkan ketidakberdayaan manusia sebagai makhluk yang mustahil terlepas masalah, namun di sisi lain ia justru akan memicu kesadaran manusia untuk terus memecahkannya. Meskipun demikian, bila pemegang regulasi pemerintahan yang direpresentasikan oleh birokrasi maupun pengambil kebijakan tak mengindahkan tantangan âpenggunaan akalâ secara maksimal demi terlaksananya konsep interdisipliner, maka yang terjadi ialah kenihilan perubahan.
Nihilnya dorongan internal birokrasi yang enggan melakukan terobosan kreatif pada akhirnya berakibat buruk bagi kualitas pembangunan. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menghambat perkembangan zaman yang seharusnya dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Semampang kenyataan ini terjadi di tubuh birokrasi, agaknya ia harus mengingat kembali moto AufklÀrung[5] yang terkenal itu: sapere aude! (beranilah memakai akal budimu sendiri). Isyarat tersebut masih relevan bagi zaman tatkala ilmu masih dipegang sebagai panglima pembangunan.
Rony K. Pratama
Peneliti di Pendidikan Literasi Yogyakarta
[1] Lebih lanjut bisa dibaca karya: Lange, Oskar. 1957. Some Problems Relating to the Polish Road to Socialism. Warsawa: Foreign Affairs.
[2] Lihat Luckman, Thomas. 1967. The Social Construction of Reality. New York: Double-day Anchor Books.
[3] Ikhtiar peramalan hari depan melalui pendekatan ilmiah telah diinisiai oleh C.C. Furnas (1936). Bersama koleganya, ilmuan berkebangsaan Amerika itu meneliti probabilitas yang akan dihadapi suatu bangsa. Furnas menganalisis gejala ilmu dan realitas yang berpaut-erat oleh perilaku manusia di zamannya. Ulasan lebih lanjut, baca Soedjatmoko. 1985. Futurologi dan Kita: Suatu Uraian Pengantar. Jakarta: LP3ES.
[4] Bait ini diterjemahkan dengan indah oleh Ignas Kleden ke dalam bahasa Indonesia menjadi âTak habis-habisnya kita dihadang masalahâ. Khalayak lazim mengutipnya sebagai representasi subjek yang sarau tatkala hendak menerjemahkan kosmos. Ignas juga menambahkan, bahwa latar belakang kenapa stanza tersebut ditulis Goethe tidak lain karena ia menemui kesukaran teoretis dalam menjelaskan gejala alam. Lebih lengkap, lihat Ludwig, Emil. 1931. Goethe, Geschiechte Eines MenschenI. Berlin: Verlag. Uraian Ignas juga bisa diperdalam di kata pengantar Ignas Kleden: Soedjatmoko. 1985. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.
[5] Kant, Imanuel. 1963. On History. New York: Meeril Comp.