Banyak polemik yang memantik konflik horizontal antar kelompok mahasiswa di UGM yang mengakibatkan terpecahnya unit-unit kekuatan mahasiswa. Perseteruan yang terjadi tidak dalam bentuk dialektika yang membangun, tetapi lebih kepada aksi show of force yang bertendensi saling menjatuhkan. Secara garis besar perseteruan terjadi di dalam sekaligus di antara BEM-KM dan mereka yang ada di luar sistem politik formal yang saya sebut ‘basis kultural mahasiswa’. Basis kultural mahasiswa ini menganggap BEM-KM gagal sebagai representasi mahasiswa UGM secara keseluruhan, sarat kepentingan dan hegemoni fraksi tertentu, serta elitis. Sementara itu, BEM-KM berdalih mereka dilemahkan rektorat dan basis kultural mahasiswa sendiri ingin dengan menghalangi setiap aksi konkrit pergerakan yang akan dilakukan BEM-KM.
Padahal, aksi massa membutuhkan seluruh kekuatan mahasiswa. Dua tahun terakhir saja polemik mengenai kantin Bonbin, kenaikan nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT), tindakan represif terhadap mahasiswa yang dilakukan birokrat, serta masalah transparansi dana Perguruan Tinggi Negara Badan Hukum belum terselesaikan dengan maksimal. Untuk menyelesaikan hal ini, tentu kita membutuhkan corong suara mahasiswa yang sah secara legal formal ditingkatan universitas. Di sinilah kita temui relevansi sekaligus ironi dari BEM-KM yang mengantongi rapor merah dalam menjalankan fungsi corong ini.
Masalah di UGM berkutat dari tegangan antara dua kepentingan besar di kampus kita ini. Pertama, kepentingan birokrasi kampus, dan kedua kepentingan mahasiswa itu sendiri. Birokrasi kampus, dalam hal ini rektorat dan jajarannya, berusaha meningkatkan kualitas universitas menurut versinya sendiri. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengejar berbagai capaian dan gelar yang dianggap bergengsi seperti world class university, atau research university untuk meningkatkan gengsi universitas rezim yang berkuasa. Hal ini terlihat dari persetujuan UGM terhadap UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Setidaknya kita harus sedikit berkaca kepada Michel Foucault mengenai hal ini. Foucault dalam bukunya yang berjudul Power and Knowledge (2002) pernah menyatakan bahwa kelas yang berkuasa dapat mengondisikan khalayak umum untuk terus patuh kepada mereka. Kepatuhan ini dapat ditanamkan pada kekesadaran publik secara semu lewat beberapa cara. Pertama, produksi ‘wacana kebenaran’ secara masif melalui institusi yang menyandang predikat ilmiah (dalam hal ini universitas). Kedua, membiasakan konsumsi ‘wacana kebenaran’ versi rezim penguasa dengan pendekatan kultural terhadap kelas yang dikuasai. Pengambilalihan wewenang PPSMB dari BEM-KM oleh rektorat secara langsung ataupun tidak juga merupakan pengondisian mahasiswa untuk mengonsumsi kebenaran versi rektorat. Ketiga, pendiseminasikan keberpihakan kepada rezim penguasa. Biasanya langkah ini dibarengi dengan pemberian keuntungan tertentu bagi khalayak umum yang mau berpihak kepada rezim.
Akibatnya, perlawanan dari mahasiswa sebagai antitesis kebijakan kampus muncul. Kebijakan universitas yang dikeluarkan secara sepihak, tanpa mempertimbangkan kondisi mahasiswanya adalah tindakan anti demokrasi yang perlu ditanggapi dengan aksi. Respons balik dari pihak universitas adalah tindakan represif untuk membungkam para mahasiswa yang dianggap provokator. Mulai dari teguran, ancaman DO, tidak diperbolehkannya penurunan UKT, pencabutan kewenangan BEM-KM yang diturunkan menjadi UKM.
Di sisi lain, sikap resistensi terhadap BEM-KM oleh ‘basis kultural mahasiswa’ pun beralasan, karena BEM-KM saat ini didominasi oleh satu fraksi yang tidak merepresentasikan keseluruhan mahasiswa. BEM-KM menjadi semacam arena kontestasi pengaruh yang dimanfaatkan sekelompok orang yang disebut oleh Ahmad Erani Yustika (2009) dalam buku Ekonomi Politik sebagai agen pencari rente (rent seeker). Sekelompok orang atau partai berusaha untuk mempengaruhi setiap langkah dan kebijakan yang diambil organisasi demi keuntungan kelompoknya sendiri. Rente yang dimaksudkan di sini bukan dalam bentuk uang atau materi lainnya melainkan gengsi, wewenang, kekuasaan dan pengaruh maupun keuntungan lainnya. Sebagai kelanjutannya, terjadi hegemoni di setiap lini pergerakan maupun pengkaderan BEM-KM oleh golongan tertentu.
Jika BEM-KM ingin menjadi gerakan yang efektif, maka ia secara fundamental harus menguasai basis material. Menurut Marx dalam Suryajaya (2016), gerakan akan lebih mudah mempengaruhi pihak lain, karena kelas yang menguasai sarana produksi material dapat pula menguasai sarana produksi mental (berupa wacana politik), sehingga ide-ide mereka yang tidak mempunyai sarana produksi mental tunduk kepadanya secara keseluruhan. Kemudian, mata rantai tersebut akan terus berlanjut melalui mekanisme pembentukan keputusan sebagaimana tercantum dalam AD/ART KM UGM pasal 5 bahwa “kedaulatan tertinggi ada di tangan mahasiswa yang diwujudkan dalam Kongres KM UGM”.
Kesalahan besar lain adalah ketika pendidikan politik di BEM-KM menjadi dosa ‘pedagogis’, karena “reproduksi hegemoni ideologi dominan” (Freire, 1994) malah menguasai tubuh organisasi. Hal ini disebabkan oleh keberhasilan para pencari rente mempengaruhi basis vital di BEM-KM.
Entah seperti apa pendidikan politik yang dijalankan di internal BEM-KM. Namun, terbukti bahwa BEM-KM kurang mempunyai pisau analisis yang tepat dalam mengadvokasi serta menganalisis isu yang diusungnya. BEM-KM tidak peka terhadap realitas sosio kultural mahasiswa menyebabkan pengawalan isu pendidikan dinilai terlalu vulgar dan utopis.
BEM-KM berusaha untuk sesumbar dan menguasai forum mengenai isu pendidikan melalui berbagai wacana dan publikasi media demi menarik simpati dan dukungan mahasiswa UGM. Namun, BEM KM nampaknya lupa bahwa mereka sendiri teralienasi dari basis massanya. Sedikitnya ruang yang diciptakan untuk mendekatkan mereka ke massa mahasiswa luas, serta jarangnya aktivis BEM-KM untuk melakukan mekanisme advokasi ala ‘turun ke bawah’ menjadi penyebab utama alienasi yang mereka alami. Pimpinan BEM-KM sendiri lebih asyik melakukan avontur politik mereka.
Mempertimbangkan berbagai sikap resistensi dari sebagian besar ‘basis kultural mahasiswa’ tersebut, dapat disimpulkan bahwa BEM-KM sudah menjadi sebuah ikon persona non grata bagi sebagian besar mahasiswa UGM. Lalu, dengan tidak berfungsinya BEM-KM secara politis. Apakah ‘basis kultural mahasiswa’ memang patut diandalkan?
Kesahihan klaim ‘basis kultural mahasiswa’ terkait sifat representatifnya dalam pergerakan juga perlu dipertanyakan. Kondisi intern mahasiswa di luar sistem sendiri masih jauh dari kata sehat. Konflik horizontal, upaya dominasi intern, serta pertentangan ideologis yang nirfaedah masih mewarnai ‘basis kultural mahasiswa’. Tidak adanya kepemimpinan yang terkonsep menjadi alasan ‘basis kultural’ masih mandul secara politis.
Ide-ide yang dicetuskan oleh basis kultural pada kenyataannya belum mencapai seluruh akar rumput mahasiswa, sehinggga belum bisa bermakna secara politis dan belum mengakar. Adanya aksi yang tidak terbangun dari ‘basis kultural’ memberikan kesan bahwa mahasiswa pada dasarnya tidak mempunyai tujuan dan kepentingan yang telah disepakati untuk diperjuangkan secara kolektif. Hal ini menyebabkan berkurangnya daya tawar mahasiswa di hadapan rektorat. Akibatnya, banyak tuntutan mahasiswa yang mudah digagalkan oleh pihak kampus dengan berdalih bahwa dalam kenyataannya tuntutan tersebut bukan merupakan konsensus tujuan mahasiswa secara kolektif.
Selain alasan di atas, ‘basis kultural’ belum dapat dikatakan kompeten, karena kebiasaan nyinyir. Hal tersebut dapat diamati pada sifat-sifat tulisan argumentasinya, semangat primordial berupa sikap skeptis terhadap person yang berbeda ideologi secara berlebihan. Komentar tidak didasarkan pada argumentasi yang ilmiah, logis dan adil, tetapi lebih kepada logical fallacy yang tidak menghargai kebebasan berpikir lateral. Mereka meruncingkan pertentangan ideologis hingga pada tataran politik praktis yang akhirnya melemahkan mahasiswa dan merugikan pergerakan.
Menghadapi realitas kondisi kampus, dan gerakan-gerakannya seperti di atas, pengambilan posisi dan keputusan akan sangat dilematis bagi mahasiswa. Pada satu sisi, BEM-KM diakui secara legal formal, tapi tidak lagi diakui sebagai representasi mahasiswa, di sisi lain ‘basis kultural’ belum mampu mengakomodasi kepentingan mahasiswa secara keseluruhan, karena belum tersruktur dan masih banyak pertentangan ideologis yang tidak bermanfaat.
Menghadapi realitas di kampus saat ini, mahasiswa seharusnya fokus berjuang ke arah vertikal dalam memposisikan dirinya untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan secara kolektif. Rektorat dan pemerintah nasional harus dijadikan target utama perjuangan. Namun, sekarang mahasiswa UGM malah fokus pada konflik horizontal dan belum mampu menemui titik temu resolusinya. Pada satu sisi, BEM-KM dan ‘basis kultural mahasiswa’ sama-sama tidak bisa merepresentasikan seluruh mahasiswa, di sisi lain ‘basis kultural mahasiswa’ menolak eksistensi BEM-KM, di sisi yang lain lagi BEM-KM hanyalah satu-satunya lembaga yang memiliki daya tawar kepada rektorat.
Alternatif yang bisa ditawarkan adalah merevolusi struktur BEM-KM baik pada sistemnya yang aspiratif maupun aktor yang lebih representatif berdasarkan sentralisme demokrasi. Atau sama sekali membubaran BEM-KM, dan membuatan lembaga baru yang dipandang lebih aspiratif. Lembaga baru yang secara pelaksanaan lebih fleksibel, namun jauh lebih efektif dalam setiap tindakan politik yang diambil. Oleh karena itu, memang sangat diperlukan sebuah badan, dewan, organisasi, maupun aliansi yang representatif dan solid dengan sentralisme demokratis yang menjadi alternatif utama prinsip gerakan.
Muslih Biladi
Mahasiswa Kartografi dan Penginderaan Jauh 2017
Departemen Sains Informasi Geografi
Fakultas Geografi UGM
Referensi:
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KM-UGM
Foucault, Michel. 2002. Power/Knowledge : Wacana Kuasa/ Pengetahuan. Yogyakarta. Bentang Budaya.
Freire, Paulo. 2016. Sekolah Kapitalisme Yang Licik. Yogyakarta: IRCISoD.
Suharsih dan Ign Mahendra K. 2007. Bergerak Bersama Rakyat : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Yogyakarta. Resist Book.
Suryajaya, Martin. 2016. Teks-Teks Kunci Filsafat Marx. Yogyakarta: Resist Book.
Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta. Resist Book.
Yustika, Ahmad Erani. 2014. Ekonomi Politik Kajian Teoritis Dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Raja, Ananda Unies & Mahandra Raditya Putra. “Prelude Konflik KM UGM Terkini”. 18 Desember 2016. https://www.balairungpress.com/2016/12/prelude-konflik-km-ugm-terkini/ diakses pada 25 Agustus 2017
Raja, Ananda Unies & Mahandra Raditya Putra. “KM UGM Sarat Konflik”. 21 Desember 2016. https://www.balairungpress.com/2016/12/km-ugm-sarat-konflik/ diakses pada 25 Agustus 2017
1 komentar
Opini yang bagus, sangat dalam dengan analisi yang mumpuni disertai data dan fakta yang dapat dibuktikan.
Tapi saya ingin sedikit berkomentar, menurut saya setiap penulis pasti ingin tulisannya dibaca dan dipahami khalayak dari berbagai latar belakang agar maksud yang ingin disampaikan dapat diterima pembaca. Dalam tulisan diatas menirut saya banyak sekali menggunaka istilah yang kurang umum bagi kebanyakan orang (termasuk saya), sehingga saya harus pelan dan mencermati betul agar tidak salah mengartikan maksud penulis.
Saya harap kedepannya penulis dapat menggunakan istilah yang dapat dengan mudah dipahami siapapun pembacanya. Karena tujuan utama kamunikasi tentunya dapat menyampaikan informasi secara relevan.
Demikian komentar saya, mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan. Semangat terus mahasiswa. Hidup mahasiswa Indonesia!