Hari ini, Keluarga Mahasiswa (KM) UGM masih berdiri. Sebagian besar mahasiswa merasa KM tidak hadir dalam kehidupan kemahasiswaan mereka. Selain itu, petisi pemboikotan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM muncul November lalu.[1] KM UGM menemui banyak konflik dalam sejarahnya yang hampir mencapai seperempat abad. BPPM Balairung dalam kesempatan ini menggali arsip guna menelusuri konflik-konflik yang pernah dialami oleh KM UGM.
Sejak pertama kali berdiri pada tahun 1992, KM UGM tidak pernah lepas dari konflik. Salah satu bentuk konflik paling awal adalah bercerainya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dari KM UGM. Peristiwa itu terjadi dua tahun setelah berdirinya KM UGM. Perdebatan sengit mengenai berpisahnya UKM dari KM UGM muncul dalam Kongres IV yang diselenggarakan pada 15-18 Mei 1994. Berdasarkan Majalah BALAIRUNG No. 21/Th. IX/1995, akar permasalahannya berawal dari alotnya tarik-menarik proporsi jumlah suara antara Senat Mahasiswa (SM) dan UKM.[2] Dalam kongres tersebut, kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan.
Kemudian, Panitia Pelaksana Pemilihan Universitas (Panlaklihtas) membentuk “Tim Sepuluh” untuk menyelesaikannya. Tim tersebut beranggotakan lima wakil UKM dan lima wakil SM. Pada 10 Desember 1994, Tim Sepuluh mencapai kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU). Poin krusial dari MoU tersebut ialah penarikan wakil UKM dari keanggotaan SM UGM dan pembentukan Forum Komunikasi UKM.
Kesepakatan tersebut kemudian dibawa ke Kongres IV lanjutan pada 22-23 Desember 1994. Keadaan kongres tersebut memanas karena para perwakilan UKM tidak mengikuti kongres lanjutan. Kongres semakin menegang ketika para perwakilan SM, BEM, fakultas dan jurusan baru menyadari bahwa UKM ternyata melepaskan diri dari KM UGM. Setelah itu, suasana kongres menjadi ricuh dan keadaan menjadi tak terkendali. Pada akhirnya, UKM tetap bercerai dengan KM UGM.
Kegagalan kongres lanjutan kemudian memunculkan dua kubu.[3] Pertama, kubu progresif yang menginginkan perombakan besar-besaran dalam lembaga kemahasiswaan. Dalam kongres lanjutan, mereka menawarkan konsep Dewan Mahasiswa (Dema) sebagai alternatif yang pernah teruji otonom di era ‘60-an sampai ‘70-an. Kedua, kubu konservatif yang memandang bahwa perombakan itu tidak perlu. Menurut kubu konservatif, Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) hanya perlu diperbaiki. Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, kedua kubu ini tetap tidak mencapai kesepakatan. Permasalahan ini hampir diselesaikan dengan pemungutan suara. Namun, kubu progresif menolak dan memilih keluar dari kongres (walk out), sebab menurut mereka, “Logika akal sehat akan dikalahkan oleh suara terbanyak.”[4]
Kubu progresif akhirnya menyiapkan konsep Dema lebih lanjut dengan memodifikasi Dema versi zaman ‘60-an hingga ‘70-an. Berdasarkan Majalah BALAIRUNG, tepat pada 29 Desember 1994 pukul 09.30 bertempat di plaza Fisipol UGM, Dewan Mahasiswa UGM dideklarasikan.[5] Deklarasi itu dipimpin oleh Velix V. Wanggai (Fisipol), Arie Sudjito (Fisipol), Jaelani (Filsafat), Usman Effendi (Ekonomi), dan Suryatmoko (Kedokteran Umum). Deklarasi juga dihadiri sekitar dua ratus orang dan mendapat dukungan dari 30 kelompok mahasiswa dari berbagai universitas.[6]
Sejak awal, gagasan didirikannya Dema adalah menolak SMPT karena dianggap sudah “tidak ideal lagi, baik dalam konteks strategis maupun struktur organisasinya.”[7] Dema juga menolak tindak kompromi SM UGM terhadap SMPT. Menurut mereka, proses kelahiran SMPT lahir dari “laci kekuasaan dan tidak lahir dari rahim mahasiswa.”[8] Selain itu, SMPT dipandang memberlakukan sistem yang menyumbat demokrasi di kampus. Sistem kekeluargaan yang bersifat paternalistik dipandang “membuat kekuasaan rektor menjadi sangat dominan…dan cenderung melestarikan feodalisme di lingkungan kampus.”[9]
Sementara itu, pihak SMPT UGM tetap melantik pengurus baru SM UGM pada Desember 1994. Ketua SM UGM yang baru saja dilantik, Taufik Rynaldi, menanggapi deklarasi Dema dengan nada negatif. “Silakan saja mereka berpendapat bahwa SMPT bobrok, tidak demokratis, misalnya. Dan saya juga bisa berpendapat misalnya, Dema ngawur, hanya romantisme sejarah, Dema hanya main-main politik dan tidak menyentuh substansi masalah mahasiswa,” ujarnya dalam Majalah BALAIRUNG.[10] Ia juga menambahkan bahwa tidak ada argumen yang jelas untuk mendukung Dema, sebab secara struktural pun sama dan tidak lebih baik dari KM UGM.
Deklarasi Dema juga mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Wardiman Djojonegoro. Berdasarkan Majalah BALAIRUNG yang mengutip harian Kompas 16 Januari 1995, pemerintah tak akan mengizinkan lembaga Dema didirikan di kampus. Alasannya, keberadaan SMPT dinilai sudah memadai untuk menampung aspirasi mahasiswa.[11] Menurut Wardiman, situasi saat itu sudah berbeda dengan periode ‘60-an hingga ‘70-an. Jadi, SMPT dirasa sudah memadai dan jika belum berfungsi dengan baik harus diperbaiki, bukan diganti.
Senada dengan Wardiman, Rektor UGM saat itu, Sukanto Rekso Hadiprojo, tidak mengakui deklarasi Dema. “Dema itu tidak ada, tho. Dema itu dulu, tahun ‘60-an sampai ‘70-an,” terangnya.[12] Ia juga menambahkan bahwa lembaga yang diakui di UGM adalah SMPT. Sukanto menambahkan bahwa Dema tidak mungkin ada dan sebaiknya yang sudah ada diperbaiki. Menanggapi hal tersebut, Arie Sudjito menandaskan, “Dema tidak minta pengakuan dari rektor, menteri atau birokrat apapun. Yang pokok bagi kami adalah adanya pengakuan dari mahasiswa.”[13] Namun, ternyata pergerakan Dema tidak berumur panjang. Setelah enam tahun berdiri, Dema pada akhirnya bubar di tahun 2000-an.[14]
Oposisi terhadap KM tidak berhenti dengan hilangnya Dema. Mahasiswa Peduli (MP) muncul pada awal tahun 2000 sebagai penolakan atas PP No. 153 tahun 2000 dan sikap KM terhadapnya. Peraturan ini mengatur tentang pengubahan status UGM menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dan penetapan Majelis Wali Amanat (MWA). KM mengajukan presiden BEM KM dan sekjennya sebagai wakil mahasiswa dalam MWA tanpa sepengetahuan elemen mahasiswa selain BEM KM. Selain itu, KM juga mengadakan referendum untuk mengetahui setuju-tidaknya mahasiswa terhadap adanya perwakilan mahasiswa di MWA. Sikap KM inilah yang memicu pembentukan MP oleh sebagian mahasiswa yang menganggap KM terlalu lunak terhadap Rektorat.[15] Bahkan, MP menuntut pembubaran KM karena dianggap sebagai perpanjangan tangan Rektorat.[16]
MP ternyata tidak selamanya berseberangan dengan KM. SK Rektor No. 109/0/PD/2002 tentang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) mempersatukan keduanya. MP dan KM sepakat untuk mendirikan Forum Peduli Kampus Rakyat (FPKR) bersama elemen lain untuk menentangnya. FPKR ini memiliki tujuan agar BOP ditiadakan. Sayangnya, perbedaan sikap untuk berkompromi atau tidak kepada Rektorat memunculkan ketidaksepahaman dalam internal FPKR. Selisih paham ini memunculkan Maklumat Mahasiswa (MM) sebagai elemen mahasiswa pecahan FPKR tanpa KM. Pada tanggal 7 September 2002, keduanya sama-sama melakukan aksi penolakan BOP. FPKR melakukan aksi di sisi selatan Gedung Pusat, dan MM di sisi utaranya.[17]
Permasalahan kembali terjadi pada tahun 2010. Forkom-UKM mempunyai tiga jatah kursi di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) berdasarkan AD/ART KM UGM Bab V Pasal 11 ayat 1 dan 3. Padahal, menurut SK Rektor No. 32/J01.P/KM/97, Forkom-UKM berkedudukan sejajar dengan KM, sementara DPM adalah bagian dari SM. Ketegangan juga terjadi antara KM-UGM dan Rektorat pada tahun yang sama. Sistem KM periode 2010 tidak diakui oleh Rektorat, dan surat mandat diminta kembali karena kongres ricuh.[18]
Kacaunya kongres sebelumnya membuat KM melaksanakan kongres kedua awal 2010. Kongres yang hanya dihadiri belasan orang ini hanya membahas pelantikan Presiden Mahasiswa (Presma), anggota DPM dan DPF. Rektorat kembali tidak menganggap sah kongres ini. Rektorat juga mempermasalahkan Indeks Prestasi (IP) Presma terlantik yang hanya 1,96. Hal ini terjadi karena IP tidak diatur dalam UU Pemilihan Raya sebab adanya pertentangan dari semua kontestan.[19]
Pembahasan ketentuan IP calon Presma segera menjadi agenda program kerja (proker) DPM Juni itu juga. Hal ini dikritik oleh ketua DPF saat itu, M. Reza S. Zaki. Menurutnya, perumusan proker yang berjalan selama lima bulan itu terlalu lama. Sekretaris Dewan DPM kala itu, Muhammad Irham Fuady, beralasan lamanya perumusan proker disebabkan oleh banyaknya partai. “Banyak tarik-menarik dan tawar-menawar,” terang Irham. Lambatnya perumusan UU Pemira tahun 2009 merupakan salah satu contoh lambatnya kinerja DPM. Prima Yustisia, Ketua KPRM 2009, hanya memilki tenggat waktu sebulan untuk mempersiapkan Pemira. Waktu yang sempit ini membuat penyelenggaraan Pemira tidak berjalan mulus. Pemilihan anggota DPF luput dari perhatian penyelenggara, sehingga hanya ada satu orang yang mendaftar sebagai calon anggota DPF. Padahal, DPF adalah badan legislatif utama selain DPM.[20]
Dari paparan narasi sejarah di atas dapat disimpulkan dua hal: pertama, KM UGM tidak pernah sepi oposisi, kedua, oposisi terhadap KM UGM tidak pernah berumur panjang dan menghasilkan perubahan. Poin pertama terlihat dari ketidakmampuan KM UGM dalam memposisikan UKM. Hal tersebut yang akhirnya membawa perpecahan KM UGM dengan UKM yang akibatnya terasa hingga kini. Sepanjang perjalanannya, KM juga tidak pernah lepas dari oposisi. Sejak awal berdirinya, KM UGM ditentang oleh Dema. Kemudian, setelah Dema bubar, hadir MP sebagai oposisi. KM pun pernah bermasalah dengan Rektorat. Poin kedua terlihat jelas dari Dema dan MP yang tidak bernafas panjang. Dema berusia sekitar enam tahun, sedangkan MP hanya berusia empat tahun. Dema tak berhasil mengubah struktur dalam KM UGM sama sekali. MP juga tak berhasil memberi dampak terhadap struktur KM UGM atau mahasiswa.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa konflik yang terjadi saat ini tidak terlepas dari benang merah sejarah. Konflik yang terjadi antara KM UGM dan pihak-pihak oposisi saat ini tidak banyak berbeda dengan apa yang sudah terjadi. Pemahaman akan sejarah dapat digunakan sebagai autokritik untuk kedua belah pihak. Keadaan saat ini jangan sampai menjadi seperti yang tertulis dalam Majalah BALAIRUNG, “Dunia mahasiswa yang tanpa perjuangan yang berarti, mandek dan tidak mempunyai daya hidup.”[21] [Mahandra Raditya Putra, Unies Ananda Raja]
[1] Rilisan akun Line Boikot BEM KM tertanggal 23 November 2016 pukul 16.56 WIB
[2] Majalah BALAIRUNG No. 21/Th. IX/1995 hlm. 32
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm 33
[6] Majalah BALAIRUNG No. 21/Th. IX/1995 hlm. 30
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid, hlm. 33
[14] Auviar Rizky Wicaksanti, “Sesat Pikir Gerakan Mahasiswa [UGM]”, https://www.balairungpress.com/2016/12/sesat-pikir-gerakan-mahasiswa-ugm-bagian-1/
[15] Balkon Edisi 64, 12 Mei 2004 hlm. 4-5
[16] Balkon Edisi 24, 11 Februari 2002
[17] Balkon Edisi 64, 12 Mei 2004 hlm. 5
[18] Balkon Edisi 129, 10 Juni 2010
[19]Ibid
[20] Ibid
[21] Majalah BALAIRUNG No. 21/Th. IX/1995 hlm. 31