Segregasi antara Afrika-Amerika dan kulit putih pasca Perang Sipil melahirkan berbagai upaya mencapai kesetaraan. Melalui The Hateful Eight, Tarantino mengkampanyekan emansipasi rasial yang masih perlu diperjuangkan.
Judul: The Hateful Eight
Durasi: 2 Jam 47 menit
Tokoh:
- Marquis Warren: Samuel L. Jackson
- John Ruth: Kurt Russel
- Daisy Domergue: Jennifer Jason Leigh
- Chris Mannix: Walton Goggins
- Sanford Smithers: Bruce Dern
Sutradara: Quentin Tarantino
Tahun: 2015
Kehidupan masyarakat kulit hitam atau Afrika-Amerika memang tidak pernah mulus sejak pada mulanya. Bahkan hingga puluhan dekade negara demokrasi ini mendeklarasikan kemerdekaannya, kesetaraan antarrasial masih perlu diperjuangkan. Dua tahun terakhir, kampanye di media-media sosial bertajuk Black Lives Matter menjadi saksi dari upaya-upaya meraih kesetaraan ini. Hal inilah yang coba disajikan oleh sutradara kenamaan Hollywood, Quentin Tarantino, lewat dua film terakhirnya sembari melibatkan dirinya dalam kampanye tersebut.
Pemenang kategori Best Original Screenplay Piala Oscars 2012 lewat filmnya, Django Unchained, ini seolah menjadikan dua garapan terbarunya sebagai satu kesatuan. Ia mengambil orang Afrika-Amerika sebagai tokoh utamanya. Kemudian membawa penonton ke Negeri Paman Sam pada periode perbudakan ras kulit hitam hingga Perang Sipil tahun 1860-an.
Layaknya film-film sebelumnya, Tarantino tidak akan mengupas masa kelam Amerika ini dengan cara yang biasa-biasa saja. Menampilkan sosok kulit hitam yang lemah dan tertindas oleh ras kaukasoid bukanlah ide cerita yang ia gunakan dalam The Hateful Eight maupun Django Unchained. Ia lebih suka sang kulit hitam itu sebagai sosok yang kuat dan mampu menandingi bahkan mengungguli kulit putih. Namun penyajiannya tetap kental dengan atmosfer perbudakan sebagai latar belakangnya.
The Hateful Eight menceritakan penindasan rasial lewat kisah misteri dan mengambil latar waktu pasca Perang Sipil. Nama-nama aktor yang membintanginya pun tidaklah asing bagi para pencinta garapan sutradara ini. Diantaranya adalah Samuel L. Jackson (Major Warren Warren), Kurt Russel (John Ruth), Tim Roth (Oswaldo Mobray), dan Walton Goggins (Chris Mannix). Kendati demikian, penikmat film ini tentu tidak akan bosan dengan aktor yang melulu itu-itu saja karena kemahiran Tarantino mampu menampilkannya berbeda sama sekali.
Cerita dibuka dengan pertemuan antara John Ruth dan Major Marquis Warren yang kehilangan kuda-kudanya karena cuaca dingin. Warren merupakan seorang Afrika-Amerika mantan prajurit US Cavalry dan sekarang bekerja menjadi pemburu hadiah seperti Ruth. Keduanya sebenarnya pernah bertemu sekitar delapan bulan sebelumnya ketika makan stik bersama di Tennessee. Warren dan Ruth kemudian menjadi akrab karena Warren menunjukkan surat Presiden Abraham Lincoln yang ditulis secara pribadi untuknya kepada Ruth. Oleh karena itu, tidak butuh lama bagi Warren supaya diizinkan menumpang di kereta Ruth.
Pada masa Perang Sipil Amerika Serikat (AS), rakyat kulit hitam mempunyai hubungan yang intens dengan negara federal karena Lincoln dan negara-negara bagian utara berusaha menghapuskan perbudakan. Pemerintah Union ingin menjadikan rakyat kulit hitam sebagai prajurit dan berjuang melawan Konfederasi, negara-negara selatan, yang mempertahankan perbudakan kulit hitam. Dalam cerita ini, Warren merupakan salah satunya. Sehingga Ruth tidak kaget melihat Warren menjadi sahabat pena dari Presiden.
Selanjutnya, perjalanan mereka terhenti karena mendapati seorang kulit putih asal Konfederasi yang terkatung-katung di pegunungan es bernama Chris Mannix. Singkat cerita, Chris diperbolehkan menumpang karena dia mengaku sebagai sherif Red Rock meskipun tidak dapat membuktikannya. Akhirnya ketiga orang itu menuju ke Minnie’s Haberdashery untuk bermalam karena badai.
Setibanya di sana, mereka disambut oleh penjaga toko Minnie selagi sang pemilik pergi mengunjungi ibunya. Ada pula beberapa tamu lain yang datang lebih awal. Apa yang terjadi selanjutnya dalam The Hateful Eight merupakan inti cerita misteri Tarantino dan akan lebih menarik jika ditonton langsung. Namun, potongan-potongan adegan selanjutnya yang berkaitan langsung dengan Warren dapat merefleksikan fenomena rasialisme di AS.
Contohnya adalah ketika Warren tertegun sejenak mendapati toko Minnie kehadiran tamu seorang jenderal bernama Sanford Smithers (Bruce Dern). Sang jenderal bahkan masih mengenakan seragam abu-abu kebanggaan Konfederasi. Chris, yang merupakan anak dari pejabat Konfederasi, bertanya kepada Smithers apakah ia mengenal Warren—hal ini karena Warren merupakan sosok kulit hitam yang terkenal karena berhasil membantai 47 orang Konfederasi di penjara Wellenback. Smithers tidak kenal Warren, tetapi pernyataan Smithers justru menggambarkan kenyataan rasialisme di AS. “I dont know that nigger. But I know he’s a nigger and that’s enough,” begitulah Smithers menjawab Chris.
Pemikiran seperti Smithers ini yang sampai sekarang masih tertanam dalam benak beberapa orang kulit putih di AS dan pada akhirnya menimbulkan suatu prasangka. Konstitusi dan hukum-hukum memang menjamin hak-hak sipil warga kulit hitam dalam berbagai aspek seperti pekerjaan, pendidikan, dan politik. Tetapi ia tidak akan mampu menghapus prasangka dan stereotip terhadap mereka.
Keluhan dari mantan budak sekaligus orator kulit hitam, Frederick Douglass, mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Douglass mengkritisi bagaimana keadaan masyarakat kulit hitam pada masa awal perang usai yang dilepaskan begitu saja. Menurutnya, penambahan tiga butir amandemen emansipasi rasial dalam Konstitusi AS tidaklah cukup untuk memanusiakan mantan-mantan budak.
Terlebih lagi, kaum Demokrat yang menguasai kursi legislatif negara-negara selatan bersepakat untuk mendiskreditkan hak-hak sipil mantan budak. Banyak undang-undang disahkan untuk menghambat rakyat kulit hitam menggunakan hak pilih hingga segregasi fasilitas publik antara kulit putih dan kulit hitam. Mereka mengenyam pendidikan di sekolah yang terpisah, tidak beribadah di gereja kulit putih, duduk di bangku khusus kulit hitam pada transportasi umum, dan lain sebagainya. Peraturan ini disebut Jim Crow laws yang memuat juga nilai separate but equal.
Nilai ini menjanjikan rakyat kulit hitam mendapatkan hak sipil sebagaimana kulit putih diperlakukan. Kenyataannya, fasilitas publik yang diterima kulit hitam jauh lebih mengenaskan dibanding kulit putih terutama dalam pendidikan. Hal ini tentunya melahirkan kembali perjuangan kesetaraan yang harus diinisiasi oleh masyarakat kulit hitam sendiri. Mereka tidak bisa berharap pada negara federal lagi. Perjuangan berada di tangan mereka.
Semua itu dituangkan Tarantino lewat upaya bertahan hidup individu Warren dalam mengarungi buasnya kehidupan di AS. Berbekal surat palsu Abraham Lincoln, ia mendapatkan prestise lebih sehingga disegani kulit putih. Buktinya ia diperbolehkan menumpang di kereta Ruth hanya karena surat rekayasa itu.
The Hateful Eight dapat dikatakan sebagai sebuah sarana bagi Tarantino untuk mengkampanyekan kesetaraan rasial di AS. Bila para aktivis biasanya turun ke jalan dan beropini di media sosial, sutradara ini berkampanye dengan karyanya yang secara implisit menyampaikan pesan emasipasi. Tarantino ingin menegaskan bahwa masyarakat Afrika-Amerika bukanlah sosok yang patut dicurigai dan dipandang sebagai kelas kedua. Kisah Warren pasca Perang Sipil ini memberi gambaran bagaimana Negara Federal tidak secara kontinu memperjuangkan masyarakat kulit hitam. Sehingga menghasilkan gerakan-gerakan perjuangan di kemudian hari seperti Civil Rights Movement di tahun 1960-an.
Sayangnya, film ini tidak menawarkan sinematik yang baru. Penggemar sutradara ini tentu akan bosan dengan film sang maestro yang monoton. Seolah-olah ia hanya mengubah alur dan skenario dari film-filmnya yang terdahulu. Apalagi film berdurasi dua setengah jam yang sudah pasti membuat bosan bagi orang-orang yang tidak terlalu menyukai jenis film yang hanya dipenuhi dialog. Tidak heran jika kritik dan review film ini tidak sebaik film-film Tarantino sebelumnya.[Kenny Setya Abdiel]