Tirai putih di panggung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta masih tertutup rapat. Seketika, lampu sorot menerangi kedua tirai tersebut. Tak lama kemudian terlihat dua sosok anak kecil berkejaran di depan tirai sembari memainkan othok-othok, permainan tradisional dari bambu yang diberi dua roda di ujungnya. Sembari memainkan othok-othok, mereka mulai berbincang dan sesekali bertengkar kecil dengan celotehan khas anak kecil yang polos. Mereka berbincang mengenai cita-cita serta berkontemplasi mengenai pekerjaan yang baik dan jahat.
Cuplikan adegan tersebut membuka pentas teater berjudul Tik-Tok oleh Komunitas Teater Sakatoya pada Festival Teater Yogyakarta (FTJ), Kamis (22/9). “Tokoh anak kecil dihadirkan karena mereka mampu melihat dunia melalui kepolosannya,” ungkap Alif Rahmadanil, penyusun naskah pentas teater ini. Ia juga menerangkan bahwa mereka adalah simbol bahwa manusia sebenarnya memiliki pilihan dalam hidup.
Selama kurang lebih satu jam, pentas ini berusaha mengontekstualkan tema besar FTJ, yakni Aku dan Liyan. Sakatoya ingin menunjukkan adanya keasingan manusia karena sistem yang berjalan di sekitarnya, yang kemudian menyebabkan lahirnya keasingan antara satu manusia dengan manusia lain di sekelilingnya. “Kami memaknai Aku dan Liyan sebagai adanya ruang keasingan yang terjadi di kehidupan sosial akibat modernisasi,” ungkap Basundara Murba Anggana, sutradara sekaligus penyusun naskah dari pementasan ini.
Hentakan musik beritme cepat memecah kesunyian panggung. Musik ini mengiringi munculnya beberapa aktor serta aktris berbalut pakaian dari berbagai profesi. Mereka berjalan dari dua sisi bangku penonton dan menari layaknya robot sembari memegang gawai pada salah satu tangan mereka.
Di balik tirai yang terbuka secara perlahan, nampak laki-laki dan perempuan tengah tidur di atas kotak berbentuk trapesium. Pada kotak tersebut, tertulis berbagai macam merek dagang serta perusahaan-perusahaan besar yang produknya kerap ditemui masyarakat Indonesia. Terdapat pula televisi serta meja rias dengan berbagai kosmetik tertata di atasnya. Basundara mengungkapkan bahwa melalui properti-properti yang ditampilkan pada pentas ini, Sakatoya berusaha menampilkan realita bahwa saat ini manusia tengah hidup dalam era modernisasi.
Para aktor dan aktris yang semula bergerak bagai robot kemudian berjalan mengelilingi laki-laki dan perempuan yang tertidur tersebut. Mereka berjalan beriringan sembari memainkan gawai dengan gerakan yang selaras. “Aku dan Liyan disini juga dihadirkan melalui dua tokoh utama, yakni si perempuan dan laki-laki, dengan simbol-simbol masyarakat di luarnya, salah satunya adalah gawai,” terang Basundara.
Para aktor dan aktris yang memegang gawai berhenti menari. Mereka mulai berjalan kesana kemari dan nampak sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang berkomunikasi satu sama lain ataupun bertabrakan, meski mereka berjalan lalu lalang tak tentu arah. Beberapa saat kemudian mereka menghilang, tinggallah laki-laki dan perempuan yang tengah tertidur. Bunyi pecahan kaca membuat mereka berdua terbangun, kemudian melakukan kegiatan masing-masing. Sang laki-laki merokok, lalu menyalakan televisi, dan sang perempuan mulai berdandan mempercantik diri.
Imam Kuzairi, pemeran tokoh laki-laki, menerangkan bahwa tokoh laki-laki menganggap relasi manusia dengan Tuhan serta kehidupan setelahnya adalah hal terpenting dalam hidup yang tengah ia jalani. “Dengan merokok aku berpikir. Aku berpikir tentang Tuhan, berpikir bagaimana aku mati dan proses menuju alam sana,” ujar sang laki-laki pada salah satu adegan. Berbeda dengan tokoh laki-laki, Irma Nurjannah, pemeran tokoh perempuan menerangkan bahwa sang perempuan memiliki orientasi untuk lebih mengusahakan hal-hal yang dapat diusahakan di dunia. “Dalam lakunya, perempuan ini jauh lebih menonjolkan pemikirannya yang realistis terhadap kenyataan di dunia,” tambah Irma.
Keasingan antarindividu karena perbedaan pandangan yang dipengaruhi oleh lingkungan digambarkan Sakatoya pada dialog kedua tokoh utama. Bagi tokoh laki-laki, mereka lebih baik berpenampilan sederhana, sebab kemewahan hanya milik mereka yang memiliki banyak uang. “Kalau aku cantik, memangnya orang-orang itu tau aku sudah makan atau belum?” sangkal perempuan dengan nada ketus. Basundara mengungkapkan bahwa kedua tokoh ini menggambarkan manusia yang mulai abai akan kebutuhan utama mereka, dan menyempitnya identitas melalui label-label barang yang merupakan perpanjangan tangan pemilik kekuasaan.
Sakatoya mencoba menggambarkan realita kegelisahan manusia yang menimbulkan keasingan antarindividu dengan menghadirkan dua tokoh dengan pemikiran yang bertolak belakang. “Aku dan Liyan bisa saja antara laki-laki dan perempuan itu sendiri, karena mereka selalu memiliki konflik terkait prinsip yang kemudian itu menjadi liyan,” tutur Basundara. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa kedua tokoh berada di ruang yang sama namun tidak bisa sepaham.
Perdebatan berakhir seiring dengan diambilnya nyawa tokoh perempuan oleh Sang Nasib. Pertanyaan “Bosan hidupkah kamu?” dari Sang Nasib secara berulang-ulang membuat tokoh perempuan meyakini bahwa ia bosan berada pada kondisi serba kekurangan. Lampu tiba-tiba meredup, Sang Nasib datang membawa makanan lengkap dengan wine serta peralatan makan yang mencirikan kehidupan mewah. Hal ini diartikulasikan sebagai keinginan perempuan yang tak pernah ia dapat selama hidup bersama sang laki-laki.
“Sia-sialah cintaku pada akhirnya, sia-sialah hidupku pada akhirnya,” sesal sang lelaki. Untuk pertama kalinya kata cinta keluar dari mulut sang lelaki. Basundara menerangkan bahwa pentas teater ini juga ingin menggambarkan bahwa kini keasingan bahkan muncul dalam dua jiwa yang saling mencintai.
Orang-orang mulai berlalu lalang di sekitar perempuan serta laki-laki tersebut, namun tetap sibuk dengan gawai mereka masing-masing. Beberapa orang bahkan berjalan melangkahi mayat perempuan tersebut. “Adegan ini sebenarnya menggambarkan rasa kemanusiaan yang telah mati, dan kini sebagian besar terwakilkan melalui gawai yang banyak digunakan,” terang Basundara.
Suasana menjadi lebih pilu ketika tembang Megatruh diputar. Tembang yang menceritakan tentang kematian serta ancaman yang dialami seorang raja serta adipatinya, digabungkan dengan berbagai suara pemberitahuan beberapa media sosial. “Tembang Megatruh sengaja kami hadirkan pada adegan ini untuk mempertegas kondisi matinya rasa kemanusiaan,” tutur Basundara.
Bersama dengan kekecewaannya, sang lelaki kemudian dihampiri oleh Sang Nasib dan bernasib sama seperti perempuan, yaitu dikembalikan pada ketiadaan. Lelaki tersebut diberi kebahagiaan hingga wujudnya kembali menjadi janin, hingga pada akhirnya ia kembali pada ketiadaan. Ia tak pernah dilahirkan. Jiwa laki-laki serta perempuan kemudian bertemu dalam satu ruangan. Mereka berdialog, dan dapat merasakan kehadiran satu sama lain, namun sayangnya jiwa mereka tak dapat melihat keberadaan masing-masing.
Usai adegan mengharukan antara tokoh perempuan dan laki-laki, pentas ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak penonton untuk memahami baik dan buruk, melalui hadirnya dua sosok anak kecil di atas panggung. Kini mereka sibuk memainkan gelembung, dan membincangkan ayah mereka yang baru saja mati. Pada akhirnya, perbincangan itu membuat mereka menyimpulkan bahwa orang baik maupun jahat akan berakhir pada kematian.
Seiring dengan berlalunya dua tokoh anak kecil, lampu meredup dan pada tirai panggung muncul foto-foto pembangunan dan pertambangan di Yogyakarta beserta protes warga atas hal tersebut. Sakatoya sekali lagi berhasil mengejutkan penonton dan mengajak penonton untuk berpikir mengenai kuatnya keterkaitan pembangunan yang tak terkendali, dengan meredupnya rasa kemanusiaan saat ini.
Pentas yang mengadaptasi bebas naskah Perjalanan Kehilangan karya Noorca M. Masardi ini mendapat apresiasi yang cukup baik. “Sakatoya berusaha membangun konteks baru dan bereksperimen dengan naskah yang telah ada, lalu menghadirkan ide mereka dengan membaca kenyataan saat ini,” ungkap Naomi Srikandi, salah seorang kurator FTJ 2016. Meski demikian, menurutnya perlu untuk lebih mengembangkan teks, logika peristiwa dan logika visual yang digunakan dalam pentas tersebut. [Krisanti Dinda]