Suatu kali, Plato pernah berkisah tentang manusia yang hidup di gua. Selama berpuluh-puluh tahun, mereka tak pernah menginjakkan kaki di luar gua. Apa yang mereka tahu hanyalah ruang gelap, batu stalaktit yang menggantung dan stalakmit yang tajam menusuk mata kaki. Suatu hari seorang pemuda secara ajaib menemukan sebuah pintu keluar. Hal pertama yang ia lihat adalah cahaya, sesuatu yang begitu asing baginya. Dia lalu lihat benda warna merah menggantung di sela-sela daun yang merambat pada batang-batang pepohonan. Dia mulai akrab dengan batang yang menancapkan akarnya pada tanah, dan tanah yang gembur oleh cacing-cacing gelang. Perlahan, ia tahu bahwa benda merah yang menggantung di pohon bernama buah apel, sesuatu yang bisa dimakan selain nyamuk atau daging saudaranya sendiri.
Sekarang, mari kita andaikan diri kita adalah pemuda yang diceritakan oleh Plato. Pengetahuan geografis kita begitu sempit sebelum akhirnya internet diturunkan ke dunia. Kita dengan bangga bisa cerita pada nenek kita yang buta teknologi bahwa “londo” (1) bukan cuma orang kulit putih berambut pirang, tapi juga chikas-chikas (2) Amerika Latin yang berkulit coklat menggoda. Kita ceritakan bahwa dengan teknologi bernama “skype” kita bisa melihat londo-londo ini berbicara dengan bahasa yang belum kita mengerti.
Hanya dalam beberapa tahun, internet telah memudahkan jalan kita untuk menjadi pintar atau paling tidak berlagak pintar. Ada yang bilang ini semua ulah globalisasi, sebuah istilah untuk menjelaskan alasan hingga semua hal kini mendunia. Kita bisa kuliah di Cambridge University itu karena globalisasi. Apel Washington bisa laris di Malang, sedang apel Malang tidak laku di Surabaya itu juga karena globalisasi.
Pro-kontra globalisasi akhirnya tumbuh. Banyak orang yang mengatakan dirinya sebagai anti-globalisasi, mereka ini orang-orang yang khawatir budayanya tergerus budaya asing. Namun, mari kita ubah cara pandang kita sejenak. Anggap globalisasi bukan film hitam-putih yang menggambarkan baik dan buruk secara gamblang. Mari kita anggap globalisasi adalah dua sisi mata koin yang membawa dampak baik dan buruk secara bersamaan dan…kabur.
Jika memang globalisasi adalah dua sisi mata koin, maka untuk bertahan dalam globalisasi yang kita butuhkan adalah menjadikan globalisasi sebagai objek dan kita subjeknya. Sebagai subjek, kita punya otoritas untuk memanfaatkan apa yang dibawa globalisasi dan apa yang harus kita tolak. Secara gampang, mari manfaatkan globalisasi sebagai peluang. Peluang untuk apa? Salah satunya peluang untuk mewujudkan demokrasi.
Pemilu 2014
Tentu di antara kita tak ada yang lupa bahwa 9 Juli nanti negara kita akan sibuk memilih calon presiden berikutnya. Dan selama sebulan, mereka sibuk mengobral diri dalam bentuk kaos, spanduk atau mungkin konser dangdut. Tim sukses yang kreatif mulai dibentuk. Kawan-kawan mereka sibuk membela di arena panggung sandiwara. Ya, panggung sandiwara, karena di layar itu mereka harus berperan sebagai kawan koalisi, sedang sebagian lainnya sebagai oposisi. Mereka yang dulu mencaci maki, kini terpaksa menyanjung puji, hanya karena partainya kebetulan jadi kawan koalisi.
Media tak kalah hipokritnya. Secara kebetulan, 60% media di Indonesia dimiliki oleh politisi. Ketika media sebagai mulut dan kuping rakyat telah dimonopoli, informasi yang sampai di nurani dan rasionalitas rakyat bukanlah fakta semestinya. Kita bisa mengatakan bahwa masyarakat adalah bagian dari bentukan media. Televisi, surat kabar sampai poster di tiang listrik adalah media itu sendiri. Baudillard (dalam Poster, 1988) mengatakan bahwa sistem komunikasi –pada dasar periklanan, adalah sistem pembentukan “kode” yang mengontrol iklan dan individu di tengah masyarakat. Kode dimaksudkan sebagai sistem kontrol tanda. Tanda adalah sistem aturan guna menggabungkan seperangkat terma yang stabil dalam pesan. Iklan sendiri merupakan bagian dari sistem tanda. Saat kita mengonsumsi iklan, maka kita mengonsumsi tanda, dan sadar atau tidak diri kita sedang ditandai oleh perusahaan media. Misalnya begini, harian A memasang iklan; “Ingin kulit putih mempesona dan dikagumi banyak pria? Jangan ragu, pakailah produk kecantikan Skinlight!” Disini, media mengirim sebuah kode, bahwa wanita cantik adalah wanita yang berkulit putih. Media kemudian menandai kita sebagai wanita yang menginginkan kulit putih. Kita yang tertandai, merasa membutuhkan kulit putih dan akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.
Persis dengan strategi media kampanye, kita sedang ditandai sebagai pemilih yang butuh karakter pemimpin tegas atau kalem, ganteng atau biasa saja, religious atau pluralis dan sebagainya. Dengan kata lain, kita adalah objek dari pertarungan dua capres ini. Kebanyakan orang mengira bahwa perubahan ada di tangan calon presiden. Kita sebagai rakyat tinggal percaya pada janji-janji kampanye sambil menaruh harapan yang besar ketika datang ke TPS untuk mencoblos . Stigma ini justru menempatkan kita sebagai objek yang lemah dan manut-manut saja. Padahal, sebelum kita menentukan pilihan, paling tidak kita harus mengklarifikasi ulang pernyataan-pernyataan tiap kandidat. Ketika Prabowo bilang ada anggaran yang bocor sebesar seribu triliun, apakah memang benar adanya? Lalu sewaktu Jokowi mengatakan bahwa program kartu sehat di Jakarta menuai kesuksesan, apa ia tak mengada-ada?
Jika kita mengaitkannya dengan manusia gua dalam cerita Plato, kita sedang dalam fase terjebak di gua. Pengetahuan kita tidak banyak dan hidup kita hanya stagnan di dalam gua. Globalisasi yang telah membawakan internet bagi kita harusnya menjadi pintu gerbang untuk melihat cahaya dari luar gua. Pengetahuan telah disediakan bagi kita jika kita punya kehendak untuk mengaksesnya. Beberapa dari kita beralasan, media internet justru membuat kita overload information. Kita jadi semakin sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kuncinya sebenarnya kembali pada diri kita sendiri yang ingin menempatkan diri sebagai objek atau subjek. Kalau kita dengan mudahnya percaya pada twit “triomacan2000” atau berita hoax yang sering muncul di sisi kanan facebook, sama saja kita menempatkan diri sebagai objek. Beda cerita kalau kita mengkaji pernyataan Fadli Zon tentang kaitan revolusi mental dan paham komunis dengan cara mencari tahu dulu apa yang dimaksud revolusi mental dan apa itu komunisme. Jangan-jangan hanya karena kata “revolusi” keduanya jadi disamakan.
Lepas dari itu, pemerintah sendiri sebenarnya telah memberikan fasilitas website resmi untuk menggambarkan evaluasi kerja pemerintah. Sehingga, kalau kita ingin mengevaluasi kinerja Jokowi selama jadi gubernur DKI misalnya, kita bisa saja lihat laporannya. Selain itu, kandidat capres dan cawapres juga telah mencantumkan visi-misinya dalam website KPU yang bisa diakses publik. Kenapa kita tidak coba membukanya lalu menakarnya, program mana yang kira-kira mungkin dijalankan, program mana yang utopis dan kelihatan muluk-muluk. Kalau sudah menilai baik dan buruknya, sekarang coba tentukan pilihan. Apakah mau memilih nomer satu atau dua. Atau justru tidak mau memilih? Itu terserah anda. Intinya, pilih kandidat yang telah kita perhitungkan baik-buruknya. Jangan ikuti kata hati, tapi ikuti rasionalitas anda.
Oleh karenanya, saya mengajak anda untuk terlibat secara aktif dalam golongan browsing. Golongan ini bukan tim sukses partai atau semacamnya. Golongan ini hanyalah bentuk komitmen kita untuk menjadikan diri sebagai subjek demokrasi lewat pemanfaatan internet. Akhirnya, setelah kita berhasil memanfaatkan internet untuk menentukan pilihan kita, maka kita berhasil mensubjekkan diri kita atas globalisasi. Sekaligus menjadikan diri kita sebagai subjek atas demokrasi. Harusnya kita tak lagi percaya begitu saja pada tulisan-tulisan di kaos yang dibagi gratis atau teriakan simpatisan yang suara knalpotnya mengalahkan suara adzan magrib. Harusnya kita tidak sedangkal itu, apalagi memasrahkan nasib kita begitu saja pada dua pasang bapak-bapak yang fotonya sedang laris dicetak. Alasannya sederhana; karena demokrasi bukan dari rakyat oleh capres dan untuk partai. Tapi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
[1] Londo adalah sebutan bagi orang belanda yang merujuk pada istilah bule atau orang asing.
[2] Bahasa spanyol dari nona
Ganesh Cintika Putri
BPPM Balairung
Universitas Gadjah Mada
Bekerjasama dengan Simpati Golbro http://simpati.telkomsel.com/golbro/