
©Nala.bal
Siang hari (19/2), stasiun sepeda kampus Fakultas Kehutanan terlihat sepi. Tidak lagi terlihat kegiatan peminjaman sepeda kampus seperti biasanya. Usut punya usut, stasiun tersebut telah ditutup. “Karena kurangnya pekerja, beberapa stasiun sepeda terpaksa ditutup,seperti stasiun sepeda di Fakultas Kehutanan,” jelas Sulistyo Mardiatmoko, S.T., M.Eng., Kepala Seksi Ketertiban Lingkungan dan Pengelolaan Parkir. Tak hanya di Fakultas Kehutanan, stasiun yang terletak di PAU-Pasca Sarjana dan Gadjah Mada Medical Center mengalami nasib serupa. “Penutupan beberapa stasiun ini mengurangi akses pemakaian sepeda kampus terhadap mahasiswa, dosen, dan karyawan UGM”, tambahnya.
Sejak fasilitas sepeda kampus tersedia di tahun 2011, sepeda kampus sudah menjadi alat transportasi alternatif yang diandalkan UGM untuk mewujudkan impian UGM menjadi kampus educopolis. Merujuk pada Rencana Induk Pengembangan Kampus (RPIK) 2005-2015, UGM berusaha mengembangkan kawasan educopolis di wilayah kampus. Konsep educopolis ini mendorong UGM untuk menciptakan lingkungan belajar yang peka akan isu ekologi. Oleh karena itu, UGM memfasilitasi mahasiswa, dosen, dan karyawan dengan hasil hibah berupa 800 sepeda kampus. “Sepeda kampus tersebut merupakan hibah dari beberapa perusahaan, seperti BNI, Mandiri, dan BRI,” jelas Sulistyo.
Dalam rangka mendukung program sepeda kampus tersebut, UGM membuat beberapa kebijakan baru. Pada tahun 2011, mahasiswa baru dilarang membawa kendaraan bermotor. Kebijakan tersebut diikuti dengan pembuatan tim khusus oleh Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Sepeda Kampus (DPPA) dan beberapa pihak lainnya. Tim tersebut dibentuk khusus untuk membuat peraturan dan menjaga keamanan sepeda kampus. “Tim ini terdiri dari antara lain pihak DPPA, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL), Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH), dan Pusat Sistem dan Sumber Daya Informasi (PSDI),” ungkap Sulistyo. Ia menambahkan, tim tersebut bertugas menyiapkan informasi mengenai sepeda kampus, membuat jalur khusus sepeda di wilayah UGM, dan menyusun peraturan peminjaman.
Saat program sepeda kampus pertama dijalankan, proses peminjaman sepeda kampus dilakukan secara manual. Mahasiswa yang ingin menggunakan layanan sepeda kampus diwajibkan mengisi buku peminjaman dengan menuliskan nama, asal fakultas, dan nomor telepon yang dapat dihubungi. Namun, proses peminjaman seperti ini menemui banyak masalah. Keterlambatan pengembalian dan hilangnya beberapa sepeda kampus acapkali terjadi. Sulistyo berpendapat, jika menggunakan cara manual, petugas stasiun sepeda tidak bisa menjamin kebenaran identitas yang dituliskan di buku peminjaman, sehingga sulit untuk melacak sepeda yang belum dikembalikan. Oleh karena itu, pihak Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) membantu DPPA dalam mengamankan sepeda kampus. “Saat melakukan patroli, petugas SKKK sering menemui sepeda kampus yang tidak dikembalikan tepat waktu atau terparkir di sembarang tempat,” jelas Drs. Noorhadi Rahardjo, M.Si., PM, Kepala SKKK.
Menghadapi masalah ketidakdisiplinan peminjaman,  pihak UGM pun menertibkan penggunaan sepeda kampus di kalangan mahasiswa. Pada pertengahan tahun 2013, sistem komputerisasi mulai diterapkan dalam peminjaman sepeda kampus. Dengan adanya sistem tersebut, mahasiswa diharuskan menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) untuk meminjam sepeda kampus. “Kalau menggunakan KTM kan data mahasiswa bisa dijamin kebenarannya,” ujar Sulistyo. Kelancaran sistem komputerisasi ini terbukti dari data yang dimiliki Noorhadi, terjadi penurunan jumlah laporan sepeda kampus yang hilang. “Berdasarkan grafik yang ada di SKKK, memang terjadi penurunan jumlah sepeda yang hilang walaupun tidak drastis,” terangnya.
Diterapkannya sistem komputerisasi untuk meningkatkan ketertiban peminjaman sepeda kampus ternyata menuai respon negatif di kalangan mahasiswa. Josef Ganang Wibisono, mahasiswa Teknik Fisika 2012 mengaku kerepotan dengan diberlakukannya sistem baru untuk peminjaman sepeda kampus. “Karena sekarang UGM memakai sistem komputerisasi, kita harus mengembalikan sepeda kampus di stasiun tempat kita meminjam,” keluhnya.
Di samping merepotkan peminjam sepeda, sistem komputerisasi ini juga belum bisa menjamin keamanan seluruh sepeda kampus. SKKK tetap mengalami kesulitan untuk melacak sepeda kampus yang ditinggalkan di luar wilayah UGM. Noorhadi menyatakan bahwa pihak SKKK seringkali menerima laporan dari warga sekitar UGM mengenai keberadaan sepeda kampus di luar wilayah UGM. “SKKK pernah menerima laporan dari petugas parkir yang ada di Mirota Kampus mengenai sepeda kampus yang telah diletakkan di sana selama dua hari,” ungkapnya.
Terkait dengan sepeda kampus yang diletakkan di luar wilayah UGM, Nadzir, mahasiswa Filsafat 2012 mengakui sering membawa pulang sepeda kampus yang dipinjamnya. “Saya enggak tahu kalau ada peraturan dilarang membawa sepeda kampus ke luar UGM,” ujarnya. Ketidaktahuan mengenai peraturan peminjaman sepeda kampus menimbulkan kesan kurangnya sosialisasi kepada mahasiswa mengenai salah satu fasilitas milik UGM ini. Padahal, menurut Sulistyo, proses sosialisasi tentang sepeda kampus telah dilakukan oleh DPPA. Pada tahun 2013, pihak DPPA menggandeng Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) untuk mensosialisasikan sepeda kampus kepada mahasiswa baru. “Kami telah menyerahkan selebaran yang berisi tentang informasi sepeda kampus kepada Dirmawa,” akunya. Rencananya, informasi mengenai sepeda kampus akan dimasukkan ke dalam buku panduan mahasiswa baru.
Berbagai macam kendala dalam pengelolaan tak membuat Sulistyo kehilangan asa. Ia tetap optimis di tahun 2015, UGM sudah bebas dari kendaraan bermotor dan menjadi kampus dengan tingkat polusi rendah. Senada dengan Sulistyo, Noorhadi juga menginginkan kelanjutan program sepeda kampus ini. “Saya ingin agar UGM mau mencontoh kampus-kampus di luar negeri yang hanya memperbolehkan sepeda sebagai alat transportasi di wilayah kampus,” tegasnya. [Dimas Sibli Muhammad Haikal, Vidya Ayu Cahyaningtyas]