Judul : Indonesia bagian dari Desa Saya
Penulis : Emha Ainun Najib
Penerbit : Kompas
Tahun terbit : 2013
Tebal : xvi+256 halaman
”Saat kondisi moral dan spiritual tergerus alur perkembangan zaman, Cak Nun berdiri disamping desanya untuk menyalurkan pemikiriannya”
Indonesia dengan puluhan ribu pulaunya dan berbagai keadaan warganya dapat di lihat dari ruang lingkup lebih kecil, yaitu desa. Desa adalah miniatur dari bangsa ini. Desa didalamnya terdapat berbagai macam individu. Individu ini sangat mudah terpengaruh aspek-aspek dari luar desa tersebut, seperti perkembangan teknologi yang semakin pesat. Individu tersebut mudah terpengaruh akibat lemahnya kontrol untuk menghadapi perkembangan zaman. Akhirnya membentuk fenomena-fenomena terbukanya wawasan dari kehidupan generasi didesa dan mampu menyingkirkan keberadaban dan nilai adat secara perlahan.
Cak Nun sangat inspiratif menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi negara ini. Essai yang dibuat Cak Nun menggunakan dialek jawa timur yang dipadukan dengan bahasa indonesia. Cak Nun juga mengambil fenomena sederhana untuk memudahkan pembaca menggambarkan keadaan negara ini. Seperti saat konflik warga desa saat harus menerima teknologi yang terus berkembang. Hasilnya karena tidak ada pembatasan diri terhadap perkembangan zaman. Akibatnya produk perkembangan zaman hanya menjadi indikator gengsi dan simbol kemakmuran. Menurut Cak Nun, teknologi komunikasi dapat mengeluarkan warga desa dari ‘kebenaran’. Karena sesungguhnya ‘kebenaran’ memang begitu adanya. Buku berjudul “Indonesia Bagian dari Desa Saya” juga demikian
Buku ini ditulis oleh Emha Ainun Najib atau akrab dipanggil Cak Nun. Dia dikenal sebagai seorang ulama yang sekaligus budayawan dan seniman. Pada Buku ini ia membawa persoalan-persoalan kecil dan mendasar, masalah spiritual dan moral guna meluruskan cara pikir tunas bangsa. Mengenai berkurangnya nilaispiritual dan moral akan sangat mempengaruhi timbulnya hedonisme. Gaya hedonis ini adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia. Sehingga dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin seseorang akan merasa menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme ini akan makin menyebar ke pelosok negeri dan jangan sampai hendonisme terus menyebar dibiarkan tanpa kontrol. Apabila hendonisme terus menyebar maka akan mengakibatkan penyakit moral, misalnya koruptor. Akibatnya negara ini makin sibuk untuk mengurusi koruptor yang seolah memiliki kekebalan terhadap apapun
. Sebenarnya buku ini telah ditulis pada tahun 70-an. Pada awal penulisan buku ini berisi tentang Modernisme ala barat yang telah merambah jiwa-jiwa orang desa yang berada di indonesia. Keadaan yang disampaikan Cak Nun tersebut tetap konsisten dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Misalnya, tentang pola pikir anak muda tetap menilai bahwa orang modern adalah dengan membeli gadget yang datang tiap waktu. Cak Nun beranalogi Seperti cerita dihalaman awal buku ini tentang orang desa yang membeli motor. Kondisi rumahnya sangat sederhana. Ukuran rumahnya 3×4 meter dengan atap masih menggunakan rumbai, berdinding gedik, dan berlantai tikar. Dia sangat bangga dengan sepeda motornya itu. Akan tetapi tidak tepat dengan keadaan perekonomian keluarganya. (hlm. 8)
Uniknya dalam buku ini, Cak Nun sangat lihai menganalogikan konflik-konflik sikap konsumtif yang tinggi terhadap perkembangan zaman saat ini. Dalam pengambilan konflik yang sederhana Cak Nun sangat prihatin dengan fenomena yang muncul seiring perkembangan zaman. “Zaman edan” yang ia gambarkan tiga dekade silam membuat kepala kita pusing, tetapi sekarang ini malah membuat kepala kita pecah! (hlm. 14) Hal ini menandakan kondisi bangsa benar-benar butuh bimbingan untuk kontrol terhadap hal-hal baru yang masuk ke dalam kehidupan warga desa.
Dengan kembali terbitnya buku ini seolah-olah menandakan bahwa Cak Nun pintar meramal masa depan yang semakin tidak masuk akal. Padahal tidak demikian, karena tulisan Cak Nun ini hanyalah hasil perwujudan dari suatu pemikirannya. Seperti essai tentang Pak Kiai dan penjual cendol yang diangkat Cak Nun dalam bukunya. Saat itu pak Kiai kedatangan tamu istimewa, karena itu ia ingin menjamu tamunya dengan istimewa pula. Pak Kiai ingin membeli semua dagangan Pak Cendol.akan Tetapi Pak Cendol menolak, ia berfikir jika cendolnya diborong oleh satu orang. Lantas bagaimana dengan orang lain yang menginginkan segarnya cendolnya. (hlm. 58)
Hal ini mengajarkan pentingnya keadilan walaupun di posisi yang menguntungkan. Dari kisah Pak Kiai dan Pak Cendol ini Cak Nun juga ingin menanamkan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tidak bisa dibeli dengan uang. Harus ada kesadaran hati yang kerap setia menolong siapapun yang membutuhkan. Karena hati akan selalu menilai dengan kebesaran jiwa penuh kasih.
Sebagaimana buku lainnya, buku ini juga memiliki kekurangan. Karena buku ini ditulis Cak Nun pada era 70-an, tentunya kapasitas Cak Nun belum selengkap sekarang. Seolah dalam buku ini, Cak Nun sedang berada pada masa pencarian jati diri yang penuh kegelisahan. Isi buku ini sangat tepat dibaca untuk kalangan mahasiswa karena mampu mendorong berfikir kritis. Jika dibandingkan dengan buku Cak Nun 30 tahun silam, buku terbitan saat ini yang lebih berkapasitas dibanding terdahulu. Kata-kata yang dipakai pada buku ini cukup sulit dimengerti. Sehingga masih membutuhkan perenungan untuk mencerna makna yang ada dalam isi kumpulan essai ini. Kekurangan lainnya dengan membandingkan cetakan pertamanya dengan cetakan terbarunya. Kata “narsis” yang terkenal tahun 70-an dibuku cetakan pertaman hilang dicetakan terbarunya, sehingga menimbulkan kurangnya keaslian dan nilai esensi .
Lewat buku ini, Cak Nun mengajak kita semua agar berhati-hati menghadapi modernisme barat. Dengan cara menguatkan nilai-nilai spiritualitas dan konteks tradisi yang memperbaiki pembangunan kepribadian bangsa. Cak Nun pada masa mudanya dikenal sebagai tunas bangsa penuh visioner dan sangat berambisi. Dia seorang yang menjunjung nilai nasionalisme dan nilai adat untuk persiapan menjamu zaman modern. Lalu dalam tulisannya terdapat sekumpulan pemahaman yang menjadi sebuah hubungan. Adanya hubungan tersebut, membentuk suatu pemikiran yang mendasari sikapnya melihat masalah sosial .[Agung,Rifan]