Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Tidak Ada “Perempuan” dalam Kongres Perempuan Nasional
Membedah Metode Jakarta, Strategi Amerika Membantai Kaum Progresif
Mahasiswa UGM Peringati September Hitam atas Sejarah yang...
Katakan Saja Kebijakan Agraria, Bukan Reforma Agraria
DPRD Kota Yogyakarta Menjamin PKL Malioboro Terlibat dalam...
Keblinger Kapitalisme Hijau
Memoar Memori Musik Populer Indonesia
Hidup Mati setelah Relokasi
Audiensi Tak Memberikan Solusi bagi PKL Malioboro
Pekerja Fisipol UGM Resmi Membentuk Serikat

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
DIALEKTIKA

Pancasila di Era Informasi, Masihkah Relevan?

Oktober 13, 2011

Rabu (12/10) panitia UGM Innovation Expo menggelar acaratalk show di Grha Saba Pramana. Menurut panitia, acara ini diadakan untuk menjawab kegundahan mahasiswa terkait dengan relevansi Pancasila di era sekarang. Seperti yang pernah dikemukakan Avin Toffler, masyarakat kini sudah mulai memasuki babak baru di mana ketersediaan informasi melimpah bak tsunami. Di dalam bukunya yang bertajuk  The Third Wave, keterbukaan informasi ini menghasilkan beragam konsekuensi. Salah satunya adalah “kegengsian” generasi C (Connected generation) dalam mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila. Mereka beranggapan nilai-nilai Pancasila sudah tak relevan lagi diterapkan dalam konteks kekinian. Akhirnya kekhawatiran ini terus berlanjut. Banyak pihak yang mencemaskan nilai-nilai Pancasila bisa tergerus akibat keterbukaan informasi yang demikian masif ini.

Kekhawatiran itu akhirnya ditepis oleh Anggito Abimanyu yang pada kesempatan ini didaulat sebagai pembicara. Menurut dosen Fakultas Ekonomi UGM ini, Pancasila hingga kapanpun tidak akan pernah usang dan kadaluarsa. Ia memaparkan, “Pancasila oleh founding fathersdisarikan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.” Oleh sebab itu, Pancasila yang menjadi representasi kepribadian bangsa ini tetap layak dijadikan pedoman hidup.

Alissa Wahid, praktisi dan akademisi dari Fakultas Psikologi UGM menambahkan, kekhawatiran tersebut sangat dimafhumkan. “Ini menjadi semacam conditio sine quanon bagi generasi informasi sekarang,” ujarnya. Bahwasanya di tengah gempuran badai teknologi informasi, pancasila menjadi anasir penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan memelihara moral baik pemudanya. Karenanya, menurut Anggito, aplikasi nilai-nilai universal dalam Pancasila ini seyogyanya terus diberdayakan. Selain bisa digunakan sebagai tata moral, Pancasila juga bisa berperan sebagai pemersatu bangsa. “Dalam konteks dromologi informasi sekarang ini, nilai-nilai Pancasila bisa dijadikan alat ampuh untuk mendukung perjuangan mahasiswa,” tegasnya.

Ketika ditanya bagaimana caranya menanamkan nilai-nilai Pancasila, Alissa memberikan jawaban yang diplomatis. Menurutnya, internalisasi nilai Pancasila bukan hanya tanggung jawab akademisi dan institusi pendidikan, tapi menjadi amanah bagi setiap individu. “Memang penanaman nilai ini tidak bisa seketika, melainkan lewat proses yang terus-menerus,” ujarnya. Inilah yang kemudian disebut Alissa sebagai bagian dari proses nation building. “Amerika yang negara adidaya saja butuh waktu bertahun-tahun untuk bertransformasi menjadi bangsa ideal di medio 1960-an, bagaimana dengan Indonesia?” sahutnya. Proses ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi Indonesia untuk mencapai keseimbangan yang diharapkan. Menurut Anggito, memaknai Pancasila tidak bisa dilakukan secara seremonial hanya dengan menghafal sila-silanya saja. “Yang harus dilakukan bangsa ini adalah menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, namun tidak menjadikannya sebagai doktrin,” pungkasnya. [Purnama Ayu Rizky.bal]

 

Alissa Wahidanggito abimayuPancasila di era reformasiUGM Innovation Expo
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Pemilihan Pengurus Baru KATGAMA 2015

Tokoh Nasional Ajak Lawan Korupsi

Tindak Kekerasan Berkedok Perbedaan

UUK Diprediksi Tidak Panjang Umur

Bahas Perubahan Iklim, Gandeng Masyarakat Dunia

Panggung Bebas, Seni dalam Komunitas Berbeda

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tidak Ada “Perempuan” dalam Kongres Perempuan Nasional

    September 30, 2023
  • Membedah Metode Jakarta, Strategi Amerika Membantai Kaum Progresif

    September 30, 2023
  • Mahasiswa UGM Peringati September Hitam atas Sejarah yang Kelam

    September 28, 2023
  • Katakan Saja Kebijakan Agraria, Bukan Reforma Agraria

    September 24, 2023
  • DPRD Kota Yogyakarta Menjamin PKL Malioboro Terlibat dalam Validasi Data

    September 22, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM