Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • APRESIASI
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Cita-Cita Karima
SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan...
Habis SSPI, Terbitlah SSPU dalam Dialog Panas Mahasiswa...
Peringati Hari Perempuan Internasional, Massa Aksi Kecam Diskriminasi...
Aksi IWD Yogyakarta Suarakan Perjuangan Melawan Patriarki
Demotivasi: Alat Menyingkap Motivasi yang Manipulatif
Dampak Neoliberalisasi, Mahasiswa Tak Lagi Berfokus pada Gerakan...
Gabung Komunitas Lomba, Mahasiswa Departemen Teknik Mesin Diancam...
Bebani Mahasiswa dengan Biaya Mahal, UGM Bersembunyi di...
Anomali Independensi dan Keberpihakan Media Lokal di Yogyakarta

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • APRESIASI
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
BUKUKABARNALAR

Hijau pun Bisa Hitam

April 6, 2011
istimewa

istimewa

Judul        :     Ecological Intelligence-Kecerdasan Ekologis. Mengungkap  Rahasia di Balik Produk-Produk yang Kita Beli

Penulis      :     Daniel Goleman

Penerbit    :     Gramedia Pustaka Utama

Edisi          :     Juli 2010

Tebal         :     256 halaman

Sher, sebuah desa kecil di Tibet, terletak di celah sempit sepanjang lereng gunung dengan curah hujan tiga inci dalam setahun. Desa berpopulasi sekitar 300 orang itu, suhu rata-rata tahunannya hampir mencapai titik beku.  Melihat kondisi tersebut, mungkin kehidupan di sana sulit dibayangkan. Namun, penduduk Sher dapat bertahan hidup selama ribuan tahun. Berbagai penyesuaian telah dilakukan, mulai dari tempat tinggal hingga pola hidup sehari-hari. Cara hidup mereka mengundang rasa heran dan decak kagum.

Jika kita cerdas, tentu kita tidak ingin terjebak dalam kekaguman berlebihan terhadap penduduk desa itu. Sebab, sebenarnya ada hal lain yang menjadi kekuatan penting dalam fakta tersebut. Bukan hanya orang Tibet saja, penduduk asli di belahan dunia mana pun, mampu menemukan cara untuk beradaptasi di lingkungan hidup yang mengerikan. Tapi intinya terletak pada  nilai kearifan penduduk tersebut dalam menggunakan sumber daya alam dengan baik.

Kearifan tersebut bisa disebut kecerdasan ekologis, kemampuan untuk beradaptasi terhadap ceruk ekologis tempat kita berada. Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan oleh Daniel Goleman. Goleman merupakan seorang psikolog dan jurnalis sains asal Amerika Serikat. Beberapa tulisannya, di buku atau  media, cukup banyak dikutip dalam literatur bidang ilmu Psikologi. Maka tak heran, penulis melihat permasalahan dari sudut pandang perilaku manusia.

Goleman menggambarkan dinamika seseorang dalam memilih benda yang hendak dibeli. Dampak terhadap lingkungan, yang tersembunyi dari barang yang diproduksi atau dibeli,  dapat terungkap. Harapannya, akan terjadi perubahan penting demi menyelamatkan bumi dan dirinya sendiri. Pada dasarnya, manusia memiliki sebuah peringatan dini dalam sistem otaknya tentang suatu ancaman bahaya. Goleman menulisnya dengan sebuah perumpamaan “ketika amigdala berbelanja”. Amigdala sendiri merupakan suatu bagian di otak manusia dalam sistem pengaturan emosi, khususnya sebagai radar dalam mendeteksi bahaya. Maka, secara alamiah, manusia memiliki naluri untuk memilih apa yang baik atau tidak bagi dirinya.

Tetapi terkadang hal ini tertutup oleh minimnya atau miringnya informasi yang diketahui. Etika dalam membeli suatu produk  memerlukan suatu kecerdasan.  Maksudnya, etika berbelanja saja tidak akan bisa menyelamatkan bumi, tapi diperlukan pula informasi lebih. Tidaklah mudah untuk menjadi pembeli yang peduli terhadap lingkungan. Selain dasar-dasar biaya dan kualitas, terdapat pula berbagai pertimbangan lainnya. Apakah itu mengandung bahan kimia berbahaya? Apakah itu organik? Apakah itu diproduksi secara lokal?

Melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut, tampaknya memang tidak mudah untuk menjadi cerdas. Namun sekarang, kekuatan cenderung berpindah dari penjual menuju ke tangan pembeli. Hal ini disebabkan munculnya gerakan yang gencar memberi informasi tentang fakta-fakta ekologis berbagai produk. Dalam hal ini, Goleman menyebutnya sebagai “transparansi radikal”. Hal tersebut memungkinkan konsumen untuk membuat keputusan yang lebih cerdas dalam membeli. Selain itu, perusahaan-perusahaan akan terdorong untuk mengaji ulang sistem usaha mereka.

Banyak hal yang telah diungkapkan dalam buku ini agar kita sampai pada keterbukaan ekologis. Seperti contoh, mobil-mobilan di awal buku ini. Mainan tersebut berwarna kuning cerah dan mengkilat. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, mungkin saja cat mainan tersebut dicampur dengan timbal yang berbahaya. Dugaan ini bukan tanpa alasan, mengingat zat tersebut yang berfungsi sebagai pengkilat cat. Selain itu, sampo herbal ternyata mengandung senyawa industri berbahaya. Losion penahan sinar matahari pun dapat menularkan virus mematikan bagi terumbu karang ketika dipakai menyelam.

Dari contoh tersebut, tampaknya penggunaan kata “hijau” atau label “organik” hanyalah omong kosong belaka. Goleman pun menjabarkan mengapa hal tersebut merupakan kebohongan. Contohnya, t-shirt katun organik ternyata menggunakan bahan berbahaya. Dalam proses produksinya, bahan tersebut dapat menimbulkan risiko leukemia bagi para pekerja pabrik tersebut. Untuk itu, lagi-lagi, pembeli diharapkan untuk lebih cerdas dalam membeli. Dalam buku ini, penulis menyediakan berbagai sumber informasi tentang hal tersebut. Kebanyakan sumber tersebut merupakan gerakan-gerakan yang peduli terhadap perubahan ekologis.

Sayangnya, dengan segala informasi dan transparansi tersebut, ternyata belum cukup untuk menyelamatkan bumi. Goleman pun menyoroti tentang inkonsistensi manusia dalam menanggapi krisis ekologis. Ketika muncul apa  transparansi radikal, tentu akan ada perubahan permintaan dan penawaran di pasar. Sayangnya, sebelum itu pun akan muncul pertanyaan yang sulit untuk diwujudkan, “Apakah kita peduli atau benar-benar ingin tahu?”

Pertanyaan tersebut seharusnya bisa diatasi jika terdapat kecerdasan yang kolektif. Kesadaran individu tidak akan berdampak besar. Jika individu tersebut dapat menularkan ke yang lainnya, baru akan terjadi suatu perubahan besar. Bersama-sama, tiap individu melakukan penyebaran informasi ke individu yang lain sehingga akan tercipta suatu kecerdasan ekologis yang kolektif demi perubahan lingkungan.

Salah satu cara untuk meningkatkan kecerdasan ekologis adalah dengan melihat dampak suatu produk dari berbagai sisi. Menurut Goleman, idealnya konsekuensi buruk suatu benda perlu dipahami dalam tiga bidang. Hal tersebut merupakan sesuatu yang saling terkait. Pertama adalah geosfer, mencakup tanah, udara, air, dan iklim. Lalu biosfer, yang terdiri dari tubuh kita, tubuh spesies lain, dan tanaman. Ketiga adalah sosiosfer, yaitu kepedulian manusia seperti kondisi para pekerja.

Oleh karena itu, manusia diharapkan menjadi lebih peka terhadap dampak yang akan terjadi. Sebaiknya, manusia tidak hanya dapat membedakan bau yang harum dan tidak sedap tetapi juga dapat menentukan bau macam apa yang dapat membahayakan tubuh atau lingkungan kita. Hal-hal seperti itulah yang disampaikan oleh Goleman dalam pencarian kecerdasan ekologis. Buku ini menyajikan riset mendalam untuk mengantarkan pembacanya menjadi seseorang yang lebih cerdas. Sekali lagi, memang sulit untuk menjadi cerdas. Tapi bisakah kita untuk sekadar peduli? [Tama]

Daniel GolemanEcological InKecerdasan Ekologisrahasia di balik produk
1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Demotivasi: Alat Menyingkap Motivasi yang Manipulatif

Konsisten Melawan Represi, Warga Wadas Dirikan Tugu Perlawanan

Setahun Relokasi, Pemerintah Yogyakarta Masih Mengabaikan Nasib PKL...

Buntut Polemik Uang Pangkal, Mahasiswa UGM Gaungkan Tagar...

Pintu Ajaib “Pemecah Masalah Mahasiswa” Itu Bernama Crisis...

Tetapkan Uang Pangkal, UGM Bukan Lagi Kampus Kerakyatan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Cita-Cita Karima

    Maret 19, 2023
  • SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan Pelibatan Mahasiswa dalam Kebijakan dan Penerapan

    Maret 16, 2023
  • Habis SSPI, Terbitlah SSPU dalam Dialog Panas Mahasiswa dengan Rektorat UGM

    Maret 16, 2023
  • Peringati Hari Perempuan Internasional, Massa Aksi Kecam Diskriminasi LGBTQ+

    Maret 11, 2023
  • Aksi IWD Yogyakarta Suarakan Perjuangan Melawan Patriarki

    Maret 11, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM