Penulis : Leo Suryadinata
Judul : Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : xiv + 266 halaman
Cetakan : Oktober, 2010
Keragaman multietnis di Indonesia adalah aset kekayaan bangsa Indonesia. Kemajemukan pantas dipertahankan sebagai harga mati proses demokrasi.
Etnis Tinghoa adalah salah satu ras yang menghiasi keberagaman etnis di Indonesia. Keberadaan etnis Tionghoa memang tersebar dan dapat dengan mudah ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Konon jika seluruh orang Tionghoa di Tiongkok melompat dan mendarat pada waktu yang bersamaan, maka seluruh dunia akan bergetar dengan hebatnya. Mungkin ini hanyalah sebuah lelucon. Namun, apabila didasarkan pada kenyataan bahwa RRC dihuni oleh 1,3 miliar jiwa manusia, cerita diatas bisa jadi benar. Kepadatan penduduk yang terus meningkat dengan luas wilayah yang tetap, menjadi alasan mengapa selalu ditemukan orang Tionghoa di setiap belahan bumi.
Sejak abad ke-11, banyak orang Tionghoa yang datang ke Asia Tenggara untuk berdagang. Jumlah ini semakin bertambah ketika kolonialisme Barat mulai menjamah. Mereka butuh tenaga kerja yang banyak untuk mengeruk kekayaan alam. Sejumlah imigran pun didatangkan dari Tiongkok. Kerusuhan dan kemelaratan yang merajarela di benua besar sebagai akibat dari Perang Candu telah menambah jumlah orang Tionghoa yang merantau.
Para buruh Tionghoa yang didatangkan Belanda bukan berasal dari kalangan terpelajar maupun terdidik. Mereka tidak punya pilihan untuk kembali ke tanah leluhurnya. Para perantau ini akhirnya menikah dengan gadis pribumi dan beranak cucu di Indonesia. Dengan adanya perasaan senasib sepenanggungan karena menderita dibawah penjajahan, rasa nasionalisme mulai muncul.
Leo Suryadinata menghimpun beberapa catatan-catatan mengenai kaum Tionghoa di Indonesia menjadi sebuah bunga rampai. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesiamenyajikan potret dinamika kehidupan orang Tionghoa dari awal abad ke-20 di Indonesia. Buku ini terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu gerakan pers Indonesia-Tionghoa di Jawa (1901-1942), gerakan politik golongan Tionghoa peranakan sebelum Perang Dunia II di Indonesia (1908-1942), dan kebijakan negara Indonesia terhadap etnis Tionghoa (1998-2008).
Disamping menyajikan dinamika kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia, buku ini juga memaparkan pendapat penulisnya mengenai kemerdekaan Indonesia. Lahirnya bangsa Indonesia merupakan suatu kebetulan sejarah, yakni akibat dari penjajahan Belanda dan bukan hidup kembalinya “kerajaan-kerajaan kuno yang besar”. Pergerakan nasional merupakan buah dari hasil didikan Belanda pada pemuda-pemuda Indonesia. Ciri khas pergerakan itu terbagi menjadi bersifat sekuler (duniawi) dan juga bersifat Islam.
Dinamika Sejarah
Surat kabar Indonesia-Tionghoa pertama di Pulau Jawa adalah Li Po yang terbit di Sukabumi. Isi Li Po banyak memuat karangan bahkan ajaran filsuf Tiongkok kuno. Seiring berjalannya waktu, banyak bermunculan surat kabar Indonesia-Tionghoa. Salah satunya adalah Sin Poyang memuat berita luar negeri, ulasan berita, ruangan pajak, dan tajuk rencana. W.R. Soepratman (pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya) juga pernah menjadi wartawan Sin Po.
Pers Indonesia-Tionghoa turut berjasa dalam menyebarluaskan nasionalisme Indonesia melalui laporan lengkap tentang pergerakan nasional. Mingguan Sin Po merupakan koran pertama yang memuat teks lengkap lagu Indonesia Raya gubahan W.R. Soepratman. Surat kabar Keng Po memuat laporan tentang jalannya Kongres Pemuda Indonesia secara terperinci. Secara umum, pers Indonesia-Tionghoa bersikap simpatik terhadap pergerakan nasional Indonesia, meskipun kurang yakin kalau itu akan mencapai kemenangan.
Awal tahun 1930-an, para pemimpin Tionghoa peranakan mulai mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). PTI yakin golongan Tionghoa peranakan harus menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan mendukung pribumi guna mencapai kemerdakaan Indonesia. Namun pada kenyataannya, PTI beranggotakan hanya beberapa ratus orang saja.
Selama tahap pra-kemerdekaan, hubungan antara penduduk pribumi dan orang Tionghoa di Jawa tidak akrab. Pandangan Semaoen mengungkapkan sejauh mana penduduk pribumi bersikap bermusuhan terhadap orang-orang Tionghoa setempat, baik karena ekonomi mereka lebih kuat, maupun karena mereka dianggap sebagai orang asing. Orang Tionghoa digambarkan sebagai pedagang kaya dan konservatif yang menghalangi kemajuan pribumi. Kebencian antara miskin bumiputra dengan kaya Tionghoa hampir tidak ada bandingannya lagi, melebihi kebencian kepada kolonial Belanda.
Boedi Oetomo yang merupakan organisasi orang Jawa, tidak menerima anggota Tionghoa. Serikat Islam sebagai suatu perhimpunan pedagang Islam, juga menolak orang Tionghoa karena alasan persaingan. Partai Nasional Indonesia melalui anggaran dasarnya menyatakan orang-orang yang bergerak menjadi anggota partai adalah orang-orang bangsa Indonesia, orang-orang bangsa Asia yang lain dapat menjadi anggota luar biasa. Kaum peranakan Tionghoa enggan menjadi anggota luar biasa karena dianggap “anak tiri” di tanah ibunya.
Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah dinyatakan ilegal oleh kolonial, menarik sejumlah orang Tionghoa peranakan yang dikecewakan oleh partai-partai nasionalis. Beberapa cendekiawan peranakan ini menerima pendidikan tinggi di Eropa. Mereka mulai mengenal komunisme disana dan terlibat dalam pergerakan komunis internasional. Para cendikiawan peranakan yang berhubungan dengan PKI berusaha memasuki organisasi nonkomunis. Dalam kondisi penolakan terhadap kaum peranakan, mereka terpaksa hanya bekerja dibatas-batas rasial.
Demokrasi Reformasi
Nasib peranakan Tionghoa ditentukan dengan konsep bangsa Indonesia oleh para pemimpin bangsa. Ir. Soekarno pernah menyatakan dalam pidatonya, bahwa di Indonesia memiliki banyak suku dan suku peranakan Tionghoa masuk didalamnya. Gus dur, sebelum menjadi presiden, telah merumuskan konsep bangsa Indonesia secara sederhana. Menurut dia, bangsa Indonesia itu terdiri dari tiga ras: ras Melayu, ras Cina (Tionghoa), dan ras Austronesia. Namun, gagasan-gagasan ini rupanya tidak pernah ditanggapi.
Tanggal 13-14 Mei 1998 adalah hari-hari yang penting bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Di Jakarta dan Solo terjadi kerusuhan anti-Tionghoa secara besar-besaran. Pembunuhan, pembakaran, penjarahan, bahkan pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Kaum ini sama sekali tidak mendapat perlindungan dari penguasa. Teriakan mereka nyaris tak terdengar, dunia internasional pun terkejut.
Sejak itulah etnis Tionghoa mulai merasa bahwa mereka harus memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara RI. Puluhan tokoh etnis Tionghoa ikut berpolitik dalam partai-partai pribumi. Mereka sadar bahwa jumlah orang Tionghoa di Indonesia terlalu kecil sehingga suaranya tidak mungkin terdengar. Dengan dukungan masyarakat pribumi yang mayoritas, keselamatan mereka akan terjamin .
Dalam konsep kenegaraan bangsa Indonesia, meskipun sudah mulai bernuasa pluralis, dasar kepribumian masih kuat. Untungnya, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 telah disahkan sehingga keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia bisa dianggap sebagai Indonesia asli. Dengan demikian, konsep Bhinneka Tunggal Ika bukan terbatas hanya pada kata-kata. Kemajemukan multikultur di Indonesia pantas untuk dipertahankan. Dunia akan melihat betapa eloknya demokrasi yang ditopang oleh pilar-pilar kemajemukan ini.[Dennis]