Judul : Herstory : Sejarah Perjalanan Payudara
Penulis : Naning Pranoto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Tebal : 260 halaman
Cetakan : Pertama, 2010
Secara biologis, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah payudara serta vagina. Karena perbedaan itu, perempuan harus menjalankan kodratnya yang berbeda dengan laki-laki. Salah satunya proses “menjalankan kodrat” ini adalah domestifikasi peran. Ia harus lebih banyak berperan di dalam rumah, lebih khusus lagi, di dapur. Tak heran jika dalam budaya Jawa muncul istilah 3M, perempuan kerjanya hanya masak (memasak), manak (melahirkan), dan macak(berdandan). Domestifikasi peran yang diskriminatif terhadap perempuan ini juga ditopang oleh agama dan negara.
Penelitian Tineke Hellwig yang berjudul In The Shadow of Change : Image of Women in Indonesian Literature menunjukkan hal tersebut. Negara begitu mengatur sikap terhadap perempuan. Di era Orde Baru, kita pernah mendengar konsep Panca Dharma Wanita. Meskipun Orba sudah tumbang, konsep tersebut begitu mengakar kuat sampai saat ini. Ini menunjukkan bahwa perempuan disudutkan secara sistematis melalui berbagai mekanisme yang ada. Domestifikasi peran tidak hanya berhenti sampai di situ, sebab dalam wilayah domestiknya pun perempuan dikontrol. Buku The ‘O’ Project (2010) yang ditulis Firliana Purwanti menunjukkan betapa campur tangan masyarakat pun sampai pada wilayah pakaian perempuan. Lebih jauh, bahkan sampai pada urusan yang sangat personal, orgasme.
Karena terus menerus disudutkan secara sistematis, tak heran perempuan merupakan pihak yang paling sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Selama tahun 2009 lalu, tercatat 160 laporan yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan. Setidaknya ada dua macam kekerasan yang sampai saat ini masih sering dialami oleh perempuan, kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Kekerasan fisik tentu mewujud dalam bentuk pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan serta yang lain. Sementara, kekerasan psikis berupa bentakan, paksaan, maupun intimidasi. Ini belum jika kita masukkan kekerasan yang dialami oleh buruh migrant perempuan di berbagai negara yang bahkan sampai kehilangan nyawa.
Sistem yang tak berkelamin
Buku Herstory : Kisah Perjalanan Payudara karya Naning Pranoto ini menyajikan berbagai persoalan faktual yang kian hari kian menyudutkan perempuan. Sementara para aktivis feminis radikal memandang laki-laki sebagai pihak yang paling bersalah dalam tersudutnya perempuan, Naning memiliki pendapat berbeda. Baginya, musuh yang paling menindas perempuan bukanlah laki-laki, melainkan satu sistem yang sangat kejam tetapi tidak berkelamin. Sistem ini membuat perempuan tidak berani mengambil kesempatan untuk membebaskan jiwanya dari belenggu penindasan. Bahkan jika mereka meninginkannya, tidak berani melakukannya secara terang-terangan. Keadaan ini menunjukkan bahwa perempuan masih merasa bahwa jiwanya bukan miliknya sendiri, melainkan milik laki-laki dan masyarakat sekitarnya. Belenggu inilah yang menempatkan perempuan dalam posisi lebih lemah bila dibandingkan dengan laki-laki.
Padahal bagaimana mungkin ia layak disebut sebagai makhluk lemah bila pada kenyataanya mampu melakukan berbagai peran dalam waktu yang relatif bersamaan? Dalam bahasa Jawa, istri disebut sebagai garwa (sigaraning nyawa : belahan jiwa). Kata belahan jiwa ini tentu menjelaskan sebenarnya posisi antara laki-laki dan perempuan adalah setara, sama hormatnya. Atau jika kita merujuk pada filsafat eksistensialisme ala Heidegger, kita pun akan menemukan jawaban yang sama. Eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia ada di suatu tempat. Tetapi bukan ada sendirian, melainkan ada bersama. Karena itu, sejatinya laki-laki bisa menjadi laki-laki karena ada perempuan. Begitulah, ada laki-laki tentu saja ada perempuan. Sebab meniadakan salah satu, berarti meniadakan juga eksistensi yang lain.
Selain itu, dalam beberapa hal posisi perempuan bahkan lebih kuat bila dibandingkan dengan laki-laki. Salah satu tokoh emansipasi perempuan Indonesia, RA Kartini, memberikan contoh tersebut. Kartini sejak dulu selalu menekankan bahwa perempuan harus mengenyam pendidikan yang tinggi, juga harus mampu berwirausaha sendiri. Ini mengacu pada sikap agar perempuan bisa otonom dan mandiri. Gagasan-gagasan Kartini tersebut tentu menjadi bentuk pengejawantahan dari perempuan yang selalu diungkapkan terbuat dari tulang rusuk Adam (laki-laki), bisa berubah menjadi tulang punggung keluarga.
Di titik inilah buku ini mampu memberikan motivasi bagi perempuan untuk melawan berbagai penindasan yang dilegitimasi oleh negara. Dengan gaya bahasa yang fiksi namun menyajikan fakta, ia enak dibaca dan memberikan perspektif baru. Namun sayang, dalam beberapa bagian, buku ini justru juga ikut mengeksploitasi tubuh perempuan. Eksploitasi ini setidaknya terjadi ketika dalam beberapa bagian, penulis menjelaskan bagian-bagian tubuh perempuan lengkap dengan gambar ilustrasinya. Ditambah dengan kata Lelaki Wajib Memiliki di halaman sampul, eksploitasi kembali terjadi dengan cara yang berbeda. Sesuatu yang sebenarnya justru ditentang penulis buku ini. [Wisnu]