Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
ARSIP

Visi Kerakyatan UGM

Mei 30, 2023

©Dina/Bal


Bersinggungan dengan polemik pengadaan uang pangkal bagi calon mahasiswa baru 2023 di UGM, BALAIRUNG menerbitkan kembali arsip mengenai penjelasan atas kedudukan UGM selaku universitas kerakyatan. Dalam opini berjudul “Visi Kerakyatan UGM” yang pernah dimuat di Majalah BALAIRUNG Edisi Khusus/TH. XV/1999, Teuku Jacob selaku rektor UGM periode 1982–1986 menyampaikan bahwa terdapat banyak interpretasi terkait predikat “kerakyatan” milik UGM yang hilir mudik di khalayak luas. Namun baginya, interpretasi predikat kerakyatan yang tepat hanya dapat ditilik dari usaha kampus untuk mengakomodasi berbagai keresahan dari seluruh kalangan di UGM. Simak artikel selengkapnya.


Universitas Gadjah Mada acapkali dianggap sebagai universitas desa, mendesa, atau pedesaan, dalam makna yang berbeda-beda. UGM memang berada di suatu konglomerasi desa, dan mahasiswanya banyak berasal dari desa sebagai mahasiswa generasi pertama. Sivitas akademika umumnya hidup dan berpakaian sederhana, seperti kebanyakan dosen dan mahasiswa Eropa dan Amerika sekarang. Batas antara desa dan kampus tidak mencolok, seperti misalnya di Singapura dan Malaysia.

Di samping itu, UGM banyak pula memperhatikan dan meneliti pedesaan; kemiskinan rural dan urban; serta rakyat yang tidak berdaya dan kurang terlayani oleh pelayanan publik. UGM memedulikan pertanian rakyat, penyakit rakyat, kesehatan komunitas, farmasi komunitas, kehutanan komunitas, perumahan rakyat, teknologi sederhana, dan antipenindasan terhadap rakyat. UGM memperhatikan juga obat-obatan tradisional rakyat, keamanan, demokrasi, dan perdamaian.

Di luar negeri, kadang-kadang orang mempunyai citra UGM sebagai “universitas Kiri” (bahkan Yogyakarta dianggap Kiri) atau Kiri baru, oposan pemerintah lama, atau antikonservatif dan militan Islam. UGM memang sejak berdirinya sudah berasaskan Pancasila seperti tercantum dalam statutanya; bahkan pada awal 1960-an pernah dijuluki “universitas sosialis”. Lulusan UGM secara tradisional bersedia ditempatkan di mana saja di Indonesia, sehingga generasi tua pejabat pemerintah daerah banyak terdiri atas lulusan UGM. Alumni UGM juga tidak menjual terlalu tinggi: kepada wisudawan mereka tidak dibekali pesan do not sell yourself too cheap ‘jangan jual dirimu terlalu murah’ seperti di beberapa lembaga lain.

Oleh karena itu, kalau dikatakan UGM mempunyai visi atau orientasi “kerakyatan”, hal tersebut tidak jauh dari sasaran. Bila “kerakyatan” dianggap terjemahan populisme model Amerika, yang membela petani dan antiindustri pada abad yang lalu, saya rasa kurang tepat. Di sisi lain jika “kerakyatan” berarti kedaulatan rakyat atau demokrasi, hal ini pasti benar karena pada kurun waktu ini tidak ada sistem lain yang lebih baik daripada demokrasi—meskipun masih tidak memuaskan, apalagi ideal. Kalau visi kerakyatan dimaksudkan bahwa UGM hanya memperhatikan rakyat murba, rakyat jelata, rakyat kecil, kaum miskin-papa, yang terinjak dan terpinggirkan; hal ini tidak seluruhnya benar, karena hidup dan pengamatan serta perbaikan kehidupan tidak dapat sepotong-sepotong.

Kemiskinan berkaitan dengan bermacam-macam hal: sistem sosial politik dan ekonomi; keadilan distributif, kebodohan, dan penyakit; penjajahan dan perbudakan, hak asasi manusia, solidaritas masyarakat; sumber daya alam, kerajinan dan ketangguhan, hemat dan disiplin, alokasi anggaran militer di luar proporsi; salah urus dan korupsi, hingga demografi dan kompetisi. Semuanya harus kita perhatikan kalau kita menangani kemiskinan rakyat.

Yang terpenting dari kerakyatan adalah kepentingan rakyat harus diperhatikan dan dibela. Rakyat banyak memerlukan informasi dan saluran untuk menyampaikan informasi. Rakyat banyak jangan dirugikan di depan hukum, karena tidak sanggup membayar pengacara dan tidak memahami mekanisme peradilan. Rakyat banyak harus dibebaskan dari gangguan kesehatan yang merintangi pekerjaannya, karena tidak semuanya mampu membiayai pelayanan kesehatan. Semboyan kesehatan bagi semua pada tahun 2000 dikhawatirkan tidak akan tercapai, bahkan merosot menjadi kesehatan tidak bagi siapa pun, karena yang kaya pun akan menderita penyakit-penyakit kemewahan.

Mahasiswa UGM harus menjadi pencegah kepincangan dan ketidakadilan, tidak hanya selama menjadi mahasiswa, tetapi terutama sesudah lulus. Mahasiswa harus konsisten memelihara idealisme yang menjadikannya kekuatan moral yang disegani. Janganlah berbisik di depan kejahatan, dan jangan membisu di depan penyelewengan. Berdiam diri di depan kesalahan berarti membantu kesalahan itu. Solidaritas tidak dapat dibangun di atas kecurangan atau kekerasan.


Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Reyhan Maulana Adityawan.

8
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Kapan KKN Harus Dihapus?

Dalam Euphoria dan Miopia Reformasi

Dari Balik Barak Pabrik

Perlawanan Itu Naluriah

Konglomerat: Bisakah Transparan dan Merakyat?

Katakan Saja Kebijakan Agraria, Bukan Reforma Agraria

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM