
©Damar/Bal
Selasa (8-3), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan konferensi pers daring bertajuk “Hentikan Kesewenang-wenangan Negara terhadap Ruang Hidup Perempuan” sebagai peringatan Hari Perempuan Internasional 2022. Konferensi pers ini menghadirkan beberapa pembicara dari perwakilan LBH tingkat provinsi. Mereka hadir memaparkan kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi selama beberapa waktu ke belakang di seluruh Indonesia.
Sebagai pengantar, Nasrizal sebagai perwakilan LBH Aceh memaparkan penanganan kekerasan seksual di Aceh yang rumit. Menurutnya, kerumitan tersebut terjadi karena adanya dilema basis hukum di Aceh, yakni penerapan metode qanun jinayah yang mendesak adanya dua saksi dalam penanganan kasus. “Apakah pelaku kekerasan seksual akan melakukan tindakannya di hadapan umum? Tentu tidak, ketika korban tak membawa dua saksi, kasus akan lambat dan polisi enggan mengulik kasus lebih dalam,” ungkap Nasrizal.
Oleh karena itu, Nasrizal menyimpulkan bahwa pembuktian metode di Aceh lebih sempit dibandingkan UU pada umumnya. Alasan tersebut, menurut Nasrizal, membuat polisi menyalahgunakan kewenangannya, yaitu dengan menyangkalkan pasal yang melebihi syarat.
Menyambung Nasrizal, Citra dari LBH Jakarta menyebutkan bahwa akar permasalahan diskriminasi dari kaum perempuan datang dari kerentanan posisi perempuan. Data riset kualitatif LBH menunjukan bahwa perempuan masih diasosiasikan dengan beban urusan domestik rumah tangga, yang membuat mereka kerap menerima kekerasan. “Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membuktikan bahwa kultur masyarakat cenderung membuat perempuan dipandang pantas menerima kekerasan,” tegas Citra.
Sementara itu, dalam konteks penanganan kekerasan seksual, Tuti Wijaya dari LBH Semarang menyatakan bahwa perempuan saat ini belum mendapat fasilitas dan akomodasi yang memadai. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penanganan kekerasan seksual yang tidak berpihak pada korban. Salah satu contoh yang dirujuk Tuti adalah perilaku beberapa aparat penegak hukum yang meminta pelaku dan korban untuk menikah. “Padahal, jika pernikahan itu terjadi, korban malah akan makin trauma,” jelas Tuti.
Mela sebagai perwakilan LBH Yogyakarta menjelaskan kondisi perempuan dalam konteks kebijakan agraria. Salah satu studi kasus yang dirujuk Mela adalah konflik agraria di Desa Wadas. “Represi aparat di Desa Wadas pada tanggal 23 April menyebabkan trauma bagi perempuan dan anak-anak,” ungkap Mela.
Berbeda dengan pembicara sebelumnya, Resi yang merupakan perwakilan LBH Palembang menekankan banyaknya praktik diskriminasi yang dialami perempuan. Menurut Resi, perempuan masih menghadapi diskriminasi dalam hukum formal maupun hukum adat karena kentalnya budaya patriarki. Hal ini diperparah dengan kehadiran perkebunan skala besar yang menyebabkan terbatasnya akses dan kontrol perempuan atas lahan. “Perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap dalam diskusi sehingga tidak dapat menyampaikan suaranya mengenai persoalan terkait hak mereka,” tambah Eci.
Mengakhiri diskusi, Tiwi dari YLBHI mengungkapkan bahwa kasus-kasus yang tercatat disinyalir hanya menggambarkan puncak gunung es. Dengan kata lain, kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang telah dipaparkan belum tentu menggambarkan seluruh kenyataan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya bentuk dan motif yang melatarbelakangi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Penulis: Cindra Karunia, Herlina Rifa, dan Muhammad Fathur Rizqi
Penyunting: Siti Nurjanah
Fotografer: Damar Zidane