
©Nethania/Bal
Nyalakan Project menyelenggarakan diskusi terbuka dan peluncuran zine berjudul Maba Sangaji Basuara pada Jumat (31-10), di kantor PKBI Yogyakarta. Fiorentina Refani selaku moderator memaparkan bahwa kegiatan ini diselenggarakan sebagai respon atas kasus kriminalisasi sebelas warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur yang berkaitan dengan konflik pertambangan nikel. Diskusi ini menghadirkan Sahil Abubakar sebagai penyintas kriminalisasi, Wetub Toatubun dari Tim Advokasi Anti Kriminalisasi, Atinna Rizqiana selaku peneliti energi dan sumber daya alam, Masri Santuli sebagai pegiat lingkungan, dan Ikmal Ali M. Nur dari Ikatan Komunikasi Pelajar Mahasiswa (IKPM) Halmahera Timur di Yogyakarta.  Â
Diskusi berangkat dari kasus kriminalisasi terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur yang menolak ekspansi tambang nikel di wilayah adat mereka. Wetub menjelaskan bahwa kesebelas warga tersebut dituntut atas tuduhan membawa senjata tajam, pemerasan dan penghalangan praktik pertambangan. Kriminalisasi ini merupakan buntut dari aksi damai dan tuntutan adat yang diberikan warga kepada PT Position yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan adat. Ia juga menjelaskan tuntutan adat yang dimaksudnya sebagai tuntutan pertanggungjawaban PT Position atas kerusakan lingkungan, denda 500 milyar rupiah, dan perginya perusahaan tersebut dari wilayah Maba Sangaji. “Aksi damai ini malah dituduh sebagai pemerasan dan pengancaman,” ujar Wetub. Â
Menyambut Wetub, Sahil Abubakar atau disebut juga Illo, menyoroti invasi dan ekstraktivisme oleh pertambangan di Maba Sangaji yang berdampak pada aspek ekologis. Ia menuturkan bahwa dalam kondisi ruang kehidupan yang telah hancur, sebagai masyarakat yang mengandalkan alam, tiada pilihan lain selain melawan. “Pertahanan Halmahera dari laut hingga tanah bukan hanya perkara ekonomi atau sumber penghidupan, melainkan sebagai sesuatu yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kami,” ujarnya.
Wetub yang menyaksikan kriminalisasi sebelas masyarakat Maba Sangaji, melihat peluang yang dalam kasus kriminalisasi ini salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam keterangannya, kehadiran UU PPLH bertujuan untuk melindungi orang-orang yang memperjuangkan isu-isu lingkungan. Namun, menurut Wetub, hakim mengabaikan undang-undang ini dengan memandang warga yang melakukan perlawanan bukan sebagai pejuang lingkungan. “Tapi, hakim hanya melihat bahwa masyarakat adat hanya menuntut 500 milyar dan kalau mereka hanya semata-mata memperjuangkan 500 milyar, itu bukan termasuk pejuang lingkungan,” ujarnya.Â
Lebih lanjut, Wetub mengungkapkan pemaknaan mengenai pejuang lingkungan ini telah diperluas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 119/PUU-XXIII/2025. Menurutnya, dalam putusan MK tersebut, subjek yang memperjuangkan isu lingkungan tidak lagi terbatas pada korban dan pelapor. Warga, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat, ataupun dosen yang memberikan keterangan mengenai isu tersebut, menurut Wetub, dalam perluasan ini dianggap sebagai pejuang lingkungan yang perlu dilindungi. “Jadi keputusan MK itu menurut kami sebuah progres terhadap memperluas pemaknaan pejuang lingkungan,” terang Wetub.Â
Menyikapi isu-isu ini, Ikmal mengatakan bahwa untuk menyelaraskan pikiran, ia telah berusaha berkomunikasi dengan teman-teman IKPM di Bandung, Jakarta, dan Ternate. Ikmal menambahkan bahwa ketika gejolak terjadi, IKPM memutuskan untuk bergerak lebih aktif di media sosial dengan perangkat dan sikap secara individu maupun organisasi. “Teman-teman yang ada di Jogja, khususnya anak Halmahera Timur, mendukung penuh perjuangan orang tua dan saudara-saudara kita yang membela hak tanahnya, yang membela akibat kerusakan lingkungan,” ujar Ikmal.
Di akhir diskusi, Illo menegaskan bahwa keberanian harus terus dihidupkan. Sekuat apapun keputusannya, pengaruh ketakutan tidak akan ada hasilnya. Dalam kondisi semacam ini, bagi Illo, hal yang paling penting adalah tumbuhnya solidaritas baik di tingkat lokal maupun nasional. “Di tengah-tengah gemburan ekstraktivisme yang menghancurkan, yang digaungkan bukan lagi gerakan massa ya, tetapi sudah gerakan kultural dengan solidaritas yang tumbuh dari setiap titik-titik dari nasional hingga lokal,” tegasnya.
Penulis: Rezita Chielsy, Fitria Nurazizah, Diyanti Fakhira (Magang)
Penyunting: Anggun Ravisti
Fotografer: Nethania Keisya (Magang)