Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILASMagang

Nasib Nahas Kebebasan Warga Sipil dalam Kekangan Rezim Jokowi

Oktober 22, 2020

©Winda/Bal

Senin (19-10), Lokataru Foundation mengadakan diskusi daring dengan judul “Kebebasan Sipil vs Rezim Jokowi.” Dalam pelaksanaan diskusi  ini, Lokataru Foundation menghadirkan tiga narasumber yaitu Asfinawati Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yati Andriyani Pendiri hakasasi.id, dan Josardi Azhar Mahasiswa S1 Fakultas Filsafat UGM. Jalannya diskusi dipandu oleh Kirana Anjani, anggota Lokataru Foundation. Acara ini dilaksanakan melalui Zoom dan disiarkan secara langsung lewat kanal YouTube Lokataru Foundation. Diskusi tersebut membahas keadaan pembungkaman warga sipil oleh rezim Jokowi dan cara mengatasinya.

Asfinawati mengawali diskusi dengan menyatakan bahwa kekangan kebebasan warga sipil meningkat seiring banyaknya stigmatisasi warga sipil sebagai anarko. Ia menganggap itu merupakan upaya rezim Jokowi untuk menggagalkan aksi demonstrasi dari masyarakat. “Rezim Jokowi berusaha mengkambinghitamkan dan menangkap para demonstran, padahal belum tentu yang ditangkap itu anarko,” ujar Asfinawati.

Asfinawati juga menceritakan bahwa aparat kepolisian melarang Lembaga Bantuan Hukum untuk memberi pendampingan hukum kepada rakyat sipil. Mereka merupakan korban penangkapan paksa aparat pada aksi Tolak UU Cipta Kerja 8 Oktober 2020. Menurutnya, tindakan seperti itu telah melanggar konstitusi negara. “Negara harus menjamin bahwa setiap orang yang ditangkap berhak didampingi kuasa hukum,” jelas Asfinawati.

Yati Andriyani melanjutkan diskusi dengan menjelaskan perbedaaan pengekangan kebebasan warga sipil pada masa rezim Jokowi dan Orde Baru. Yati berpendapat bahwa pengekangan pada masa Orde Baru dilakukan dengan pemberdayaan undang-undang. Sedangkan pengekangan pada rezim Jokowi dilakukan dengan cara yang lebih beragam. “Sekarang pengekangan justru lebih variatif, bentuknya dilakukan dengan penangkapan paksa dan penyebaran berita hoax,” terang Yati.

Dalam diskusi ini, Yati berpendapat bahwa pengekangan warga sipil juga terbentuk dalam pengelabuan yang dilakukan oleh rezim Jokowi melalui janji politik. Menurutnya, rezim Jokowi tidak memprioritaskan janji penegakan HAM pada periode kedua karena dirasa tidak perlu. “Pemerintah tidak mempunyai beban menegakkan HAM jadi bisa langsung melakukan serangan pada warga,” ujar Yati.

Yati mengakhiri pembicaraannya dengan menyatakan bahwa pengekangan kebebasan warga sipil harus direspon dengan mendobrak informasi yang hanya diketahui oleh negara. Menurutnya, kebebasan informasi sebagai isu utama yang harus diperjuangkan oleh warga sipil. “Perlu adanya advokasi berbasis fakta dan penguatan kerja secara konsolidasi, mobilisasi, serta membuka gerakan warga sipil,” ucap Yati.

Sebagai pembicara terakhir diskusi, upaya mengatasi pengekangan disampaikan oleh Josardi. Menurutnya, melakukan upaya konfrontatif dan mengurangi upaya kolaboratif dengan rezim Jokowi merupakan cara yang efektif dalam mengatasi pengekangan kebebasan warga sipil. “Dalam aksi massa tidak harus ke Gedung DPR atau Istana Negara yang penting turun ke jalan dan nyatakan solidaritas antar warga sipil,” ungkap Josardi.

Penulis: Ridha Fatmasari, Abdul Azizul Hakim, dan Lokahita Pradipta (Magang)
Penyunting: Affan Asyraf
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati (Magang)

diskusikebebasan sipilpembungkaman aspirasiUU Cipta Kerja
12
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM