Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Menilik Pandemi Melalui Kacamata Ekonomi Politik

Agustus 18, 2020

©Ananta/Bal

Sabtu (15-08), The Union for Radical Political Economics mengadakan diskusi secara daring bertajuk “Capitalism and COVID-19: the radical political economics of the pandemic.” Diskusi ini dimoderatori oleh Sirisha Naidu, seorang lektor kepala Ekonomi dari Missouri University. Tiga pembicara juga turut hadir, yaitu, Jennifer Cohen, lektor dan peneliti di Faculty of Medicine, University of Witwatersrand; Patrick Bond, profesor dari University of the Western Cape School of Government; serta Sanjiv Gupta, lektor Sosiologi dari UMass-Amherst. Sirisha mengatakan bahwa diskusi berfokus ke arah hubungan antara kapitalisme dan COVID-19.

Sebagai pembuka diskusi, Jennifer Cohen menolak logika dalam ilmu ekonomika yang memandang bahwa pandemi merupakan faktor eksternal. Ia kemudian menawarkan logika model produksi kapitalisme yang berarti modal mengatur cara produksi dan reproduksi melalui pembagian kerja. “Dalam model tersebut pandemi merupakan hal internal, sehingga dapat dianalisis secara historis dan sosial,” jelasnya.

Dalam studinya, Cohen membuat keterkaitan antara kapitalisme dengan penyebaran pandemi. Ia memaparkan bahwa kapitalisme selalu melakukan deforestasi, produksi manufaktur, hingga industrialisasi pertanian dalam rangka komodifikasi barang dan jasa. Usaha tersebut memaksa pekerja untuk melakukan urbanisasi dan migrasi untuk mendapat pendapatan yang lebih besar. “Perpindahan tersebut menyebabkan kepadatan berlebih sehingga mempercepat penyebaran pandemi,” jelasnya. Cohen kemudian mencontohkan revolusi industri sebagai faktor penyebab penyebaran pandemi secara global.

Dengan kata lain, tambahnya, penyebaran pandemi dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang terjadi karena kapitalisme. Cohen  memaparkan analisisnya mengenai ketimpangan pendapatan gender dan ras. Dalam konteks negara berkembang, ketimpangan gender dan ras merupakan warisan budaya masa kolonisasi. “Budaya tersebut kemudian melekat dengan model produksi yang dibentuk oleh Structural Adjustment Programs (SAPs),” tambahnya. Ia lalu menjelaskan bahwa keterlekatan tersebut membentuk ketimpangan pendapatan gender dan ras.

Kemudian, Cohen mengaitkan ketimpangan pendapatan gender dan ras dengan kapitalisme kesehatan. Menurutnya, kapitalisme menghendaki kesehatan sebagai barang privat. Dengan demikian, perempuan dan orang kulit berwarna harus mengejar pendapatan untuk memenuhi kesehatannya. “Sulitnya akses kesehatan membuat mereka mendapat dampak paling buruk dalam pandemi,” sebutnya.

Penjelasan dilanjutkan oleh Patrick Bond yang menganalisis kapitalisme dan penyebaran COVID-19 di Afrika Selatan. Sejak tahun 1990, tutur Bond, Afrika Selatan telah kehilangan kemampuan untuk mengatasi ancaman pandemi akibat rentetan kebijakan neoliberal seperti SAPs. Ia lalu menambahkan bahwa mereka menghasilkan krisis penanganan kesehatan, respons kesejahteraan tokenistik, serta aparat represif.

Maka dari itu, tutur Bond, lockdown COVID-19 yang dilakukan pada 27 Maret patut diragukan keberhasilannya. Ia menyebut bahwa sektor kesehatan kekurangan peralatan medis. Terkait bantuan sosial, Bond menjelaskan bahwa tidak ada asuransi bagi pengangguran, bantuan sosial bagi sektor informal, serta dana hibah yang diterima lansia dan anak-anak mengalami penurunan. “Alhasil, pada 30 Maret, jumlah kasus terkena COVID-19 melewati angka seribu,” jelasnya.

Bond kemudian menemukan bahwa tekanan pada masyarakat rentan diperparah dengan tindakan korupsi dana penanganan COVID-19 oleh beberapa pemimpin di Afrika Selatan. Dalam keterhimpitan tersebut, sebutnya, protes datang dari berbagai daerah, seperti di Teluk Nelson Mandela, Cape Town, atau Durban Tengah. “Mereka menuntut pelayanan sosial yang baik,” jelasnya.

Pembahasan selanjutnya dipaparkan oleh Sanjiv Gupta mengenai masyarakat rentan di Amerika Serikat. Ia menyebutkan bahwa mayoritas pendidik menolak untuk mengambil risiko mengajar tatap muka. “Sedang mereka yang mengambil risiko tersebut biasanya merupakan perempuan dan memiliki pendapatan yang rendah,” jelasnya. Gupta kemudian memberikan pendapatnya mengenai pembukaan kembali sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Menurutnya, kembalinya anak-anak untuk belajar di sekolah membahayakan kesehatan mereka. “Terutama anak-anak yang berasal dari rumah tangga berpendapatan rendah dan anak dengan kebutuhan khusus,” terangnya.

Berbanding terbalik dengan Cohen dan Bond yang melihat pandemi sebagai dampak dari kapitalisme, Gupta melihat permasalahan pandemi pada institusi. Ia kemudian berpendapat bahwa Amerika Serikat mampu mengatasi masalah yang diakibatkan pandemi melalui pembenahan institusi. “Hal tersebut dapat dilakukan dengan menambah gaji para pendidik, memberikan bantuan kepada setiap anak, atau menyelesaikan ketimpangan pekerja,” katanya. Selain itu, ia menambahkan bahwa diperlukan upaya kolektif untuk mencegah pandemi di masa depan.

Penulis: Salsabella 
Penyunting: Muh Fadhilah

COVID-19kapitalisme
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM