Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...
Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...
Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...
Diskusi Di Balik Bendera Persatuan Ungkap Gerakan Antikolonial...
Mata Kekuasaan Mengintaimu
Wisnu Prasetya Utomo: Tantangan Pers Mahasiswa di Persimpangan...
Episode-Episode Perjalanan: Episode 2 dan Episode…
Monika Eviandaru: Reorientasi Pers Mahasiswa Dalam Neoliberalisasi Perguruan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
WAWASAN

Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat

November 13, 2025

©Arya/Bal

John Perkins dalam memoarnya menyatakan bahwa dominasi atas negara-negara dunia selatan hadir dalam berbagai bentuk, salah satunya melalui NGO. Ada tangan-tangan kapital tak terlihat dibalik NGO yang merayu kaum-kaum tertindas  untuk  melawan.

Dalam rentang periode 2011-2012, seantero negara Arab hanyut dalam gelombang protes massa yang terjadi secara beruntun. Selama puluhan tahun, kawasan itu berada dalam pengaruh rezim otoriter yang mengandalkan kekayaan sumber daya alam untuk eksistensinya (Ross 2011). Ketika zaman semakin berkembang dan kekayaan itu tak tersebar ke generasi muda yang membengkak populasinya, satu persatu negara-negara tersebut mulai terseok-seok (Pool 2012). Pada waktu itu, total 65% generasi muda dari seluruh negara Arab terjebak dalam pengangguran dan hidup dengan kemiskinan, kontras dengan lingkaran elite rezimnya yang korup dan hidup bergelimang harta (Salih 2013).

Tak hanya persoalan ekonomi, sistem pemerintahan yang berbasis otoritarianisme juga menjadi biang masalah. Rezim yang berkuasa mengandalkan kekuatan polisi rahasia yang di beberapa negara Arab dikenal dengan nama mukhabarat untuk mempertahankan legitimasinya. Mereka tak segan menculik dan menyiksa siapa pun yang dianggap membangkang (Zuhur 2007). Kombinasi antara kemiskinan dan penyiksaan menciptakan derita yang tak tertahankan bagi generasi muda yang haus kebebasan (Salih 2013). 

Dimulai dari Tunisia, Mohamed Bouazizi, seorang pedagang sayur yang disita dagangannya memprotes dengan membakar dirinya sendiri pada tanggal 17 Desember 2010. Kematiannya memantik gelombang protes lebih lanjut. Tak kurang dari sebulan, gerakan rakyat sukses membuat Zine el Abidine Ben Ali, sang presiden juga tiran, melarikan diri ke Arab Saudi setelah lingkaran elite dan militer Tunisia turut berjabat tangan untuk menjauhinya. 

Syahidnya Bouazizi tak hanya berdampak secara internal. Kematiannya justru memicu efek domino yang “membakar” kawasan Arab (Salih 2013). Satu per satu rezim otoriter di kawasan itu jatuh meski diwarnai kekerasan dari aparat sekaligus milisi yang pro terhadap pemerintah seperti di Suriah dan Libya, yang melibatkan pertempuran antara massa bersenjata melawan pasukan rezim.

Tumbangnya Ben Ali dan tiran Arab lainnya tentu cukup mengejutkan. Kejatuhan mereka terjadi pada satu periode yang sama dan hampir semuanya dimulai dengan protes disertai pertempuran jalanan (Dupont dan Passy 2011). Vijay Prashad, seorang sejarawan Marxis asal India menyebutnya sebagai “1968-nya dunia Arab”, 1968 ialah tahun ketika pemberontakan jalanan marak terjadi di belahan dunia Barat. Resistensi yang kini dikenal dengan sebutan Arab Spring tersebut tentulah bentuk puncak kemuakan rakyat berupa kemarahan yang diorganisir secara terstruktur dan baik. 

Pemberontakan Arab Spring adalah gerakan rakyat yang dibangun dengan metode baru–ketika internet dan jurnalisme sipil sangat berperan dalam mengelolanya (Mutsvairo dan Bebawi 2022). Meski demikian, gerakan rakyat tersebut banyak mengambil taktik dari pemberontakan-pemberontakan serupa di Eropa Timur pasca-Perang Dingin, seperti Revolusi Bulldozer di Serbia yang menggulingkan Slobodan Milosevic dan Revolusi Mawar yang menjatuhkan rezim Eduard Shevardnadze. Revolusi-revolusi tersebut memiliki ciri khas, yakni adanya keterlibatan Non-Governmental Organization (NGO) yang signifikan dalam taktik pengorganisasian perlawanannya (Thien 2009).

Meneroka Asal-Usul Intervensi

Dalam menelisik asal-usul kiprah Amerika Serikat (AS) dalam perpolitikan negara di luarnya, barangkali kita tak boleh melewatkan sebuah pandangan yang membentuk kedigdayaan AS di dunia yang kita tinggali saat ini. Pandangan itu ialah Manifest Destiny  atau ‘Takdir Nyata’. Istilah ini muncul dalam pidato yang dikemukakan pada tahun 1846 oleh Robert Charles Wintrop, seorang anggota parlemen asal Massachusetts (Pratt 1927). Singkatnya, ia menyebut bahwa pendudukan wilayah Oregon pada masa itu, ialah bagian dari wahyu Ilahi berupa “takdir yang nyata”. “Takdir” tersebut, menurutnya, hendaknya menyebar ke seluruh benua bahkan menyebar secara lebih universal. Sederhananya, kolonialisme Amerika dan ekspansinya memang sudah ditakdirkan oleh kuasa Ilahi.

Manifest Destiny menjelma semacam mitologi keilahian yang menjustifikasi ekspansionisme pengaruh Amerika. Menurut Steve Jones, seorang ahli sejarah militer dan kebijakan luar negeri dari Universitas Oklahoma, Manifest Destiny membentuk anggapan bahwa AS adalah pewarta demokrasi barat yang ditakdirkan. Invasinya ke negara-negara tetangga di sekitarnya pada akhir abad ke-19 merupakan manifestasi nyata dari gagasan “dakwah demokrasi” itu. Menurutnya pula, Manifest Destiny masih membentuk dasar bagi kebijakan intervensionis di Amerika modern, meski konsep tersebut juga didesak untuk ditinggalkan karena sangat kolonialistik.

Hal itu begitu gamblang sewaktu Perang Dingin bergejolak. Perang Dingin bertepatan dengan dekolonisasi yang memunculkan negara-negara baru, memberi AS celah untuk mempertahankan dominasinya di panggung internasional. AS mulai menargetkan negara-negara baru tersebut untuk membuatnya mengorbit pada dirinya, dengan kata lain menjadikan AS sebagai sekutu untuk membendung pengaruh Soviet yang sama-sama kuat di belahan bumi selatan.

Intervensi AS ke negara-negara dunia selatan dijelaskan John Perkins (2004) dalam buku memoar berjudul “Confessions of an Economic Hitman”. Dalam memoarnya, John menceritakan pengalamannya sebagai seorang rekrutmen rahasia di National Security Agency (NSA), salah satu badan intelijen nasional AS. Tugasnya adalah meyakinkan negara-negara dunia ketiga untuk menerima bantuan ekonomi dan kebijakan lain dari AS, dengan imbalan tak tersirat–dominasi AS atas pemerintahan mereka.

Sepengalaman John, intervensi ini hadir dalam berbagai bentuk: kudeta militer, bantuan ekonomi dan pembangunan, serta berbagai bentuk pinjaman. Dengan banyaknya bentuk intervensi ini, dominasi AS atas negara-negara sasarannya menjadi tidak terelakkan. Hal tersebut melahirkan berbagai rezim otoriter, represif, dan antikomunis yang bergelimangan dollar—terjustifikasi untuk merepresi rakyatnya sendiri dengan donor persenjataan dari AS (Perkins 2004). 

Di lain karya, Vijay Prashad (2020) dalam bukunya “Peluru Washington” kembali menjelaskan proses berjalannya intervensi AS. Tak hanya dengan bantuan keuangan dan senjata, ia juga berjalan melalui pendanaan-pendanaan atas dalih kemanusiaan dan pembangunan yang dialirkan ke berbagai NGO. Namun, pada akhirnya, organisasi ini berfungsi lebih sebagai kuda troya infiltrasi ketimbang melayani tujuan sebenarnya. Kombinasi antara bantuan ekonomi tersembunyi dan intrik militer berdalih bantuan kemanusiaan, menjadi warna AS dalam menjalankan intervensinya yang terus berlangsung hingga ke fase akhir konflik tersebut.

Sabuk perang semakin mengencang dan dewi kemenangan mulai menunjukkan keberpihakan. Pada tahun 1991, Uni Soviet runtuh sebagai sebuah negara dan menyisakan Amerika sebagai pemenang di gelanggang internasional. Kemenangan AS dalam pertarungan geopolitik tersebut menyebabkan ia mati-matian mempertahankan pencapaiannya. AS, lantas merespons dengan mencantumkan faktor baru melalui promosi demokrasi dan hak asasi manusia. Alih-alih meluncurkan operasi militer secara langsung, AS memilih untuk melahirkan taktik yang disebut “Revolusi Warna” sebagai alat campur tangan dalam urusan internal negara lain—terlebih dunia selatan—untuk memperkuat kontrol globalnya. Misi utama dari revolusi warna tak lain sebagai instrumen kepentingan kebijakan luar negeri AS dalam ekspansi strategis, keamanan energi, dan perang melawan terorisme yang disukseskan melalui peran NGO (Bolton 2011).

Revolusi warna telah menyapu Asia Tengah, bekas Uni Soviet, negara-negara Eropa Timur, bahkan negara-negara Arab (Bolton 2011). Meski Arab Spring merupakan klimaks dari krisis yang diciptakan oleh rezim negara-negara Arab akibat tendensi antirakyat, nyatanya, juga merupakan bagian dari pertarungan geopolitik global di abad ke-21. Kuatnya pendanaan negara-negara Barat seperti AS memunculkan pertanyaan besar bagi kita. Dengan hadirnya segala dana yang ditumpahkan ke gerakan rakyat oleh pihak eksternal, lantas, apakah gerakan tersebut masih melayani tujuan sebenarnya—berjuang untuk rakyat dan demokrasi sejati atau hanya menjadi kuda troya infiltrasi semata?

Dilema NGO di Bawah Kontrol Donor

Gelombang pemberontakan yang melanda seantero negara Arab pada dekade terakhir menunjukkan keserupaan pola dengan Velvet Revolutions di negara-negara bekas blok Soviet (Bolton 2011). Dalam prosesnya, revolusi yang kerap diposisikan sebagai inisiatif akar rumput sesungguhnya dipengaruhi oleh perencanaan jangka panjang, dukungan finansial berskala besar, serta kaderisasi yang difasilitasi oleh jaringan internasional. Salah satu elemen dalam memahami pola tersebut adalah menelaah arsitektur pendanaan yang menopang NGO. Dalam konteks ini, NGO kerap berfungsi sebagai perantara pendistribusian dana dari lembaga donor utama, diantaranya seperti United States Agency for International Development (USAID), National Endowment for Democracy (NED), serta jaringan filantropi transnasional yang berhubungan dengan tokoh seperti George Soros (Bolton 2009). Dana tersebut tidak berhenti pada level lembaga donor, melainkan dialirkan secara sistematis kepada organisasi mitra di tingkat internasional maupun regional, sebelum akhirnya mencapai NGO lokal, kelompok mahasiswa, media alternatif, maupun komunitas advokasi sipil (Edwards dan Hulme 1995).

Salah satu bentuk konkret intervensi transnasional dalam dinamika politik domestik adalah penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan sebagai sarana yang ditujukan untuk kalangan muda. Program demikian tidak semata-mata dirancang sebagai forum peningkatan kapasitas teknis, melainkan juga sebagai instrumen kaderisasi politik. Melalui pelatihan tersebut, peserta diperkenalkan pada kerangka konseptual tertentu mengenai demokrasi, hak asasi manusia, dan kewarganegaraan. Nilai-nilai tersebut sejatinya adalah produk konstruksi ideologis yang dikembangkan oleh lembaga donor internasional (Alexander 2011). NED menjadi salah satu contoh lembaga donor yang dimaksud, jaringan filantropi Soros, serta sejumlah think tank global secara aktif memfasilitasi pelatihan kepemimpinan ini di berbagai negara (Bolton 2011). 

Program pelatihan ini banyak dijumpai dengan pola yang relatif seragam. Kader dilatih untuk mengorganisir komunitas, memanfaatkan media alternatif, mengartikulasikan isu-isu ekonomi sehari-hari, dan merelevansikannya dengan agenda yang lebih luas, seperti tuntutan demokratisasi dan supremasi hukum. Strategi ini memperlihatkan bahwa lokakarya kepemimpinan tidak hanya berperan sebagai sarana transfer pengetahuan, tetapi juga mekanisme pembentukan kader yang diarahkan untuk melakukan oposisi sistematis terhadap rezim penguasa (Bolton 2011). 

Di Tunisia, misalnya, sejak tahun 2006, NED secara sistematis mendanai berbagai organisasi lokal Tunisia untuk tujuan pembangkangan yang diarahkan kepada otoritas rezim Ben Ali.  Selain itu, Open Society Foundations (OSF), jaringan hibah internasional yang didirikan oleh George Soros, turut memberi dukungan terhadap media independen, proyek budaya, dan inisiatif pembangunan sipil (International Media Support 2011).

Sementara itu, di Mesir, pola serupa tampak dalam penguatan gerakan buruh. Solidarity Center (SC)—perpanjangan tangan NED di sektor ketenagakerjaan—bersekutu dengan kapitalis secara proaktif menyediakan dukungan dan pelatihan bagi buruh-buruh Mesir. Pendanaan untuk aktivitas ini berasal dari spektrum nirlaba swasta, termasuk American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations (AFL-CIO), USAID, dan berbagai organisasi serikat pekerja internasional (Bolton 2011). Pada saat yang sama, International Republican Institute (IRI) juga memainkan peran signifikan melalui program pelatihan intensif bagi pegiat politik dan masyarakat sipil Mesir sejak 2005. Fokus utamanya pada pengembangan kemampuan struktural oposisi, khususnya dalam memperkuat basis partai politik, merancang kampanye advokasi berskala luas, dan meningkatkan kapabilitas pengawasan terhadap dewan-dewan pemerintahan lokal dalam konteks politik elektoral (The International Republican Institute 2005). 

Di sisi lain, komitmen finansial AS untuk perubahan rezim di Iran sangat besar. NED menyalurkan dana yang signifikan, mencapai $4,898,000 pada tahun 2005. Foundation for Democracy Iran (FDI) didirikan dengan hibah NED, memiliki dewan yang mencakup tokoh-tokoh yang sangat tertanam dalam komunitas militer-industri dan intelijen AS, seperti mantan Direktur CIA, R. James Woolsey dan anggota komite American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Didukung pula oleh USAID yang mengajukan permohonan dana hibah sebesar $20 juta untuk mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, dan aturan hukum di Iran (U.S. Department of State 2007).

Di Libya, intervensi pelatihan kepemimpinan dan pemberdayaan masyarakat sipil berkelindan dengan proyek politik yang lebih luas: pembukaan struktur ekonomi nasional terhadap mekanisme pasar global. Pola ini menunjukkan bahwa pelatihan kepemimpinan bukan semata program penguatan kapasitas masyarakat sipil. Ia merupakan bagian dari strategi geopolitik transnasional yang bertujuan menciptakan lingkungan politik yang kondusif bagi liberalisasi ekonomi dan restrukturisasi kekuasaan lokal (Estelle 2017). 

Dukungan finansial yang intens menggarisbawahi komitmen donor transnasional untuk melindungi dan mempertahankan jaringan kader mereka di lapangan, bahkan di hadapan penindasan negara. Aliran dana dari donor Utara ke NGO di Selatan merefleksikan sekaligus mereproduksi dinamika kekuasaan yang tidak setara. Lembaga donor tidak bertindak sebagai agen netral, melainkan sebagai mediator bentuk imperialisme kontemporer. NGO terjerat dalam struktur pendanaan yang mereproduksi varian kekuasaan dan otoritas mereka sendiri.

 NGO yang didanai filantropi Barat cenderung beralih fokus, dari program yang menelaah ketidaksetaraan struktural menuju solusi manajerial teknis untuk mengatasi masalah ekonomi dan sosial. Fokus pada solusi teknis ini selaras dengan agenda globalis dalam “membaratkan” sistem politik dan ekonomi (Wright 2011). NGO menghadapi tekanan besar untuk menyesuaikan diri dengan “prioritas donor” yang berubah-ubah dan tidak terduga, yang mengakibatkan pada “penyimpangan misi”. Hal ini secara efektif memastikan bahwa NGO lebih bertanggung jawab kepada donor, yaitu demi kepentingan geopolitik yang mendanai agenda perubahan rezim daripada komunitas lokal yang menjadi basis gerakan (Mount 2021). 

Darah, “uang dibalik batu”, dan senjata tak melulu melekat pada NGO. Adanya tulisan ini sama sekali tidak membenarkan retorika antiasing Prabowo yang hanya menguntungkan keberadaan kapitalis birokrat nasional. Sebaliknya, tulisan ini mampu menajamkan kembali pukulan gerakan massa rakyat melalui kritik-otokritik. Selain itu, tulisan ini berniat untuk meningkatkan kewaspadaan gerakan rakyat agar terhindar dari agenda para imperialis. Dalam sejarah perlawanan antiimperialis global, berbagai NGO juga turut dalam perjuangan tersebut. Misalnya, sebuah organisasi Kanada yang bernama Samidoun yang berfokus untuk menggalang solidaritas tahanan politik Palestina yang dipenjarakan oleh Zionis. Samidoun sendiri, akibat aktivitasnya, dicap berbahaya oleh beberapa negara barat seperti Kanada, Jerman dan Amerika Serikat.

Sukar bagi NGO penerima donor untuk secara konsisten mengendalikan misi mereka agar sesuai dengan tujuan awal ketika berhadapan dengan tuntutan pendonor. Jika suatu NGO penerima donor tidak beroperasi selaras dengan prioritas donor, maka NGO tersebut berpotensi besar untuk dibekukan atau kehilangan pendanaan yang vital bagi kelangsungan operasionalnya. Maka, kewaspadaan atas agenda geopolitik sebagai upaya menancapkan tonggak ideologi perlu menjadi perhatian. Bukan mengindahkan keberadaan NGO dalam mendukung berbagai tujuan kemanusiaan, tetapi sikap skeptis tentu diperlukan agar intrik yang bersifat politis bisa diminimalisasi dan perjuangan atas nama kemanusiaan tetap berkobar. 

Penulis: Fatiha Reva Sofia dan Raditya Mainaka Timurangin
Penyunting: Singgih Haryo Sasongko
Ilustrator: I Gede Arya Nata

Daftar Pustaka

Alexander, Cristopher. 2011. “Tunisia’s protest wave: where it comes from and what it means.” https://foreignpolicy.com/2011/01/03/tunisias-protest-wave-where-it-comes-from-and-what-it-means/. 

Al Jazeera. 2011. “Tunisian protester dies of burns.” Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2011/1/5/tunisian-protester-dies-of-burns. 

Al Jazeera. 2011. “Muammar Gaddafi killed as Sirte falls | News.” Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2011/10/21/muammar-gaddafi-killed-as-sirte-falls. 

Al Jazeera. 2021. “Timeline: How the Arab Spring unfolded | Arab Spring: 10 years on News.” Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2021/1/14/arab-spring-ten-years-on. 

Bolton, Kerry R. 2011. “Are American Interests Behind The “Spontaneous” Revolts In North Africa?” World Affairs: The Journal of International Issues 15 (3): 12-35. https://www.jstor.org/stable/48504826. 

Dupont, Cédric, and Florence Passy. 2011. “The Arab Spring or How to Explain Those Revolutionary Episodes?” Swiss Political Science Review 17 (4): 447–51. https://doi.org/10.1111/j.1662-6370.2011.02037.x. 

Edwards, Michael, and David Hulme, eds. 1995. Non-governmental Organisations: Performance and Accountability Beyond the Magic Bullet. Oxon: Earthscan.

Estelle, Emily. 2017. “A Strategy for Success in Libya.” American Enterprise Institute, (November), 14-24. https://www.jstor.org/stable/resrep03300.5. 

Ghosh, Pothik. 2011. “On the Arab Revolt: Interview with Vijay Prashad.” MRonline. https://mronline.org/2011/02/01/on-the-arab-revolt-interview-with-vijay-prashad/. 

Harding, Luke. 2011. “Syrian rebels attack Ba’ath party offices in Damascus.” The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2011/nov/20/syria-rebels-baath-offices-damascus. 

International Media Support. 2011. “Journalism in Tunisia still risky, says Sihem Bensedrine.” https://www.mediasupport.org/journalism-in-tunisia-still-risky-says-sihem-bensedrine/. 

The International Republican Institute. 2005. “Final Report 2005 Presidential Election Assessment In Egypt.”

Jones, Steve. 2020. “How Manifest Destiny Effects Modern Foreign Policy.” ThoughtCo. https://www.thoughtco.com/american-manifest-destiny-3310344. 

Mount, Liz. 2021. “Funding does something to people”: NGOs navigating funding challenges in India.” Development in Practice 32 (1): 69-81. https://doi.org/10.1080/09614524.2021.1911938. 

Mutsvairo, Bruce, and Saba Bebawi. 2022. “Journalism and the Global South: Shaping Journalistic Practices and Identity Post “Arab Spring”: Special Issue: Remembering the Arab Spring: Pursuing Possibilities and Impediments in Journalistic Professional Practice across the Global South.” Digital Journalism 10, no. 7 (September): 1141-1155. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21670811.2022.2107551. 

Perkins, John. 2005. Confessions of an Economic Hitman, Pengakuan Seorang Ekonom Perusak. Jakarta: Abdi Tandur.

Pool, Ian. 2012. “DEMOGRAPHIC TURBULENCE IN THE ARAB WORLD: IMPLICATIONS FOR DEVELOPMENT POLICY.” Journal of Peacebuilding & Development 7 (1): 33-50.

Prashad, Vijay. 2023. Peluru Washington: Peran CIA dalam Pembunuhan dan Kudeta di Berbagai Negara. N.p.: Penerbit Independen.

Pratt, Julius W. 1927. “The Origin of “Manifest Destiny.”” The American Historical Review 32 (4): 795-798.

Ross, Michael L. 2011. “Will Oil Drown the Arab Spring? Democracy and the Resource Curse.” Foreign Affairs 90 (5): 2-7. https://www.jstor.org/stable/23041770?seq=6. 

Salih, Kamal Eldin Osman. 2013. “The Roots and Causes of the 2011 Arab Uprisings.” Arab Studies Quarterly 35 (2): 184–206. https://doi.org/10.13169/arabstudquar.35.2.0184. 

Thien, Poh P. 2009. “Explaining the Color Revolutions.” E-International Relations. https://www.e-ir.info/2009/07/31/explaining-the-color-revolutions/. 

U.S. Department of State. 2007. “Update on Iran Democracy Promotion Funding.” https://2001-2009.state.gov/r/pa/prs/ps/2007/jun/85971.htm. 

U.S. Department of Treasury. 2024. “United States and Canada Target Key International Fundraiser for Foreign Terrorist Organization PFLP.” U.S. Department of the Treasury. October 15, 2024. https://home.treasury.gov/news/press-releases/jy2646.

Wright, Glen W. 2012. “NGOs and Western Hegemony: Causes for Concern and Ideas for Change.” Development in Practice 22, no. 1 (February): 123-134. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09614524.2012.634230. 

Zuhur, Sherifa. 2007. “THE MILITARY AND SECURITY SERVICES.” EGYPT: SECURITY, POLITICAL, AND ISLAMIST CHALLENGES, 15-18. https://www.jstor.org/stable/resrep11986.10?seq=1. 

 

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Konservasi yang Tak Manusiawi

Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

Mitos Terorisme Lingkungan

Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau

Proyek Kapitalisasi Kegilaan

Sematan Kontrasepsi yang Terpatri

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat

    November 13, 2025
  • Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi Arah

    November 12, 2025
  • LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di Surakarta

    November 10, 2025
  • Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik Perlawanan Warga Maba Sangaji

    November 4, 2025
  • Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan Dehumanisasi

    November 2, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM