Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas
Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...
Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa...
Konservasi yang Tak Manusiawi
Anggaran Serampangan
Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...
Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...
Kampus Kelabu bagi Perempuan
Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran...
Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa Ekspansi Sawit

September 2, 2025

©Arfa/Bal

Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno mengadakan forum diskusi buku bertajuk “ Masyarakat Adat Dalam Jerat Kerja Paksa: Dampak Perkebunan Sawit di Merauke & Boven Digoel” pada Jumat (29-08). Bertempat di selasar gedung B FH UGM, forum ini menghadirkan keempat penulis buku, Almonika C. F. Sari, Nailul Amany, Ramadani S. D. Nicholas, dan Kharisma Muhammad. Diskusi buku ini membahas persoalan antara masyarakat adat dan keruk kapitalis dalam ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua Selatan

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Papua Selatan menimbulkan perubahan kondisi sosial politik masyarakat lokal, salah satunya Suku Yei di Kampung Nibung dan suku Marind di Distrik Kasuari. Muti selaku peserta diskusi berpendapat mengenai fenomena konflik pro dan kontra di dalam Suku Yei yang menimbulkan gesekan antar marga dengan submarganya. Lebih lanjut, ia memaparkan konflik terjadi karena perusahaan hanya memberikan bantuan pada masyarakat lokal yang memiliki kedekatan dengan perusahaan. Hal ini menimbulkan konflik internal yang akhirnya mengganggu kerukunan antar masyarakat adat. “Pendudukan perkebunan ini tidak serta-merta hanya untuk kegiatan ekonomi, tapi sudah ada di ranah merusak nyawa dari adat, nyawa dari masyarakat adat yang sudah lestari dari dahulu,“ ujar Muti. 

Muti juga berpendapat bahwa perpecahan antar masyarakat adat tidak lepas dari perbedaan pendapat mengenai potensi ekspansi sawit terhadap tanah mereka. Perusahaan menggunakan strategi merayu agar masyarakat adat bersedia menjual tanahnya. Iming-iming yang diberikan berupa janji pemberian bantuan pendidikan, pembangunan gereja, hingga perbaikan kampung. “Warga merasa senang, merasa menerima dengan datangnya MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) ini. Tapi, hilirnya, sama-sama dilanggar janji palsu yang sudah dituliskan di nota kesepahaman,” jelas Muti.

Tak hanya berdampak pada kondisi sosial masyarakat adat, Tami yang juga peserta diskusi menambahkan bahwa kehadiran perusahaan sawit juga berimbas pada kondisi ekonomi. Rotasi hidup masyarakat adat yang semula bergantung pada hutan mulai bergeser dan bergantung pada uang dan perusahaan. Masyarakat adat yang kehilangan tanahnya hanya diberikan opsi bertahan hidup dalam kondisi rentan sebagai pekerja kasar di perkebunan sawit milik PT Taki. “Kedatangan PT Taki ini membuat masyarakat ketergantungan terhadap perusahaan, termasuk ketergantungan terhadap uang. Yang awalnya mereka bisa hanya dengan makan sagu, lama-kelamaan beralih makan beras yang memang tidak ada produksi di situ,” Jelas Tami.

Masyarakat adat yang mengalami ketergantungan ekonomi dimanfaatkan untuk menyuplai pekerja murah bagi perusahaan. Nicholas yang merupakan salah satu penulis, menemukan bahwa masyarakat adat terjerat dalam praktik kerja paksa. Terdapat 5 dari 11 indikator kerja paksa menurut ILO (International Labour Organization) yang terpenuhi dari 3 perusahaan sawit yang beroperasi yakni Abul, Amung, dan Taki. Indikator-indikator tersebut berupa pengucilan, pelilitan hutang, kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, lembur berlebihan, serta pemanfaatan kerentanan. “Pengucilan di sini cenderung [membuat-red] masyarakat yang ikut bekerja dalam sawit itu untuk tergantung pada pusat, nggak perlu pulang dari kampung, yaudah tinggal di barak,” ujar Nicholas. 

Indikator lain yang disoroti oleh Nicholas adalah kondisi kerja dan hidup yang menyiksa dari minimnya implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tiap perusahaan. Ia menemukan banyak kasus kecelakaan kerja yang terjadi, mulai dari digigit ular hingga tertimpa besi. Namun, perusahaan tetap berdalih bawah mereka sudah menerapkan standar kerja sesuai ketentuan. Padahal realitanya selama 10 tahun beroperasi tidak ada perlindungan apapun. “Dari [sektor-red] panen dan perawatan, itu tidak ada cerita bahwa itu [kecelakaan kerja-red] diurus perusahaan, dari pekerja itu cerita ada orang yang dipatok ular ya kita sendiri kok yang nyelametin,” jelas Monik, yang juga salah satu penulis buku. Tak hanya nihilnya implementasi K3, bahkan BPJS yang menjadi hak dasar pekerja juga tidak diberikan perusahaan secara merata. 

Selain keselamatan pekerja yang diabaikan, perusahaan juga menerapkan trik terkait pemenuhan gaji pokok pekerja. Pengelabuan kontrak kerja menjadi salah satu cara perusahaan untuk mengakali hukum yang mengatur pemberian upah pekerja. “Gaji pokoknya memang benar upah minimum, tapi untuk dapat gaji pokok, dia harus mencapai target, tapi kalo nggak mencapai target ya dia nggak bisa mencapai gaji pokok full itu,” ungkap Monik. 

Ketergantungan ekonomi akibat ekspansi sawit tak hanya memproduksi buruh murah, tetapi juga pekerja anak. Anak-anak yang mestinya bersekolah terpaksa menjadi buruh siluman demi membantu memenuhi target orang tuanya yang terlampau tinggi. “Akses ke sekolahnya susah, akhirnya mereka nggak bisa sekolah dengan proper, dan kalau hal kayak gitu berulang, mungkin mereka akan jadi pekerja dengan pola hidup yang sama, jadi akan semakin susah untuk keluar dari jerat kemiskinan itu,” ungkap Bella. 

Penulis: Ashfa Nayla dan Lidwina Laras
Penyunting: Anggita Septiana
Fotografer: Arfa Zhafif

 

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...

Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...

Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran...

Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

    September 3, 2025
  • Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi Pemukiman Warga

    September 2, 2025
  • Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa Ekspansi Sawit

    September 2, 2025
  • Konservasi yang Tak Manusiawi

    September 1, 2025
  • Anggaran Serampangan

    Agustus 28, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM