
©Istimewa/Bal
Atas nama pembangunan, negara nyatanya menghalalkan segala cara mencuri kehidupan warganya. Tak hanya kongkalikong menggarong andesit dari perut bumi Wadas, tapi jua air bersih sekaligus sumber mata airnya.
Dua koma dua kilometer dari lokasi penggarongan andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Jawa Tengah, ingar bingar suara alat-alat berat aktivitas penambangan terdengar jelas. Siang itu, pukul dua belas lewat, sirine peledakan (blasting) kuari disiarkan. Bunyinya persis seperti sirine keadaan bahaya, berulang dan memekakkan telinga. Tak lama, dentumannya terdengar—meski sebegitu jauhnya. Sepersekon kemudian, dahsyat getarannya merayapi tanah Wadas.
Penggarongan andesit Wadas dilakukan dengan berbagai cara. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut penambangan dilakukan dengan cara mengebor, mengeruk, dan meledakkan tanah Wadas. Hari ini, kuari andesit telah menganga luas.
Mereka yang Dilumpuhkan Tambang
“Tahun 2023 itu aktivitas penambangan dimulai,” ungkap Talabudin, seorang warga Wadas. Semenjak itu, ia menyebutkan bahwa aktivitas penambangan terjadi setiap hari. Setahun berlalu, bising alat berat dan peledakan dalam aktivitas penambangan telah banyak mengganggu dan melumpuhkan aktivitas warga.
Ran, ketua RT setempat, bercerita bahwa awalnya peledakan dilakukan sekitar empat kali sehari. Kemudian, terdapat jeda 2—3 hari sebelum dilakukan peledakan berikutnya. Makin lama, peledakan dapat dilakukan selama 10—15 kali dalam sehari. Menurut Ran, peledakan dilakukan semaunya sendiri hingga dapat menggoyangkan asbes rumah warga. “Omah kae asbes e iki iso goyang-goyang (rumah itu asbesnya bisa goyang-goyang),” ceritanya.

Rumah warga Wadas yang berlokasi di area penambangan. ©Enjeli/Bal
Susi, seorang ibu rumah tangga di Wadas, juga mengungkap hal yang sama. “Setiap hari peledakannya nggak cuman satu kali atau dua kali,” ucapnya. Hiruk pikuk alat berat penambangan terdengar tiap hari mulai pagi hingga malam tanpa jeda. Bahkan, suara alat berat dan peledakan kuari terdengar meski rumah Susi berada lebih dari 2 km dari lokasi penambangan andesit.
Talabudin pun turut merasakan huru-hara peledakan kuari yang bertempat di atas pemukiman dan rumahnya. Ia merasa terganggu secara fisik pun batin. Selain itu, huru-hara ini juga menyebabkan kerugian material bagi warga Wadas. “Peledakan itu [dilakukan-red] secara ugal-ugalan, menjadikan rumah warga retak-retak sampai itu fondasi rusak parah,” tambah Talabudin.

Jadwal peledakan kuari di sekitar area penambangan. ©Istimewa/Bal
Biasanya peledakan berlangsung selama satu jam mulai pukul 12.00—13.00 WIB. Tiap sekitar pukul 12.00 WIB, sirine peringatan peledakan kuari akan disiarkan. Cerita Talabudin, sirine itu disiarkan agar warga mulai menjauhi lokasi tambang. “Kita nggak bisa aktivitas bebas di sana,” tutur Talabudin.
Penambangan pun mengganggu aktivitas warga di kebun. Ran menceritakan betapa kesulitannya mereka sebagai petani. Ketika sirine peledakan disiarkan, warga akan langsung bersiap-siap pulang sebelum pukul 12.00 WIB. “Jadi, udah dikasih peringatan tentang mem-blasting itu,” lanjut Ran.
Di sisi lain, Talabudin menceritakan bahwa peledakan kuari mengakibatkan warga tak bernyali beraktivitas di sekitar lokasi penambangan. Kekhawatiran tertimpa batuan tambang menghantui mereka. Oleh sebab itu, warga yang terbiasa ngarit di sekitar area penambangan mesti pergi ke daerah lain. “Daripada bahaya, kita kenapa-kenapa lagi,” tandas Talabudin.
Peledakan kuari turut menanam kecemasan dalam benak warga Wadas. Pasalnya, suara ledakannya mirip gelegar guruh kala hujan tiba. Bahkan, Susi mengaku tak bisa tidur nyenyak terutama saat peledakannya makin terdengar keras. “Rasanya juga sangat sedih dan ibu-ibu juga menangis,” tutur Susi kala mengingat kali pertamanya merasakan peledakan.
Membangun Negeri, Mengeksklusi Warganya Sendiri
Penambangan andesit di Desa Wadas dilakukan dalam rangka menyuplai batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Pembangunan ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Sama halnya PSN lain—PSN Rempang, misalnya—yang dibangun di atas penyelewengan hukum dan penyingkiran terhadap warga di sekitarnya, PSN Bendungan Bener pun demikian.
“Peraturan yang diterapkan di Wadas itu saya menganggap cacat, tidak sesuai prosedur,” ujar Talabudin. Namun, pemerintah berdalih bahwa PSN telah sesuai dengan UU. Padahal, baik Talabudin beserta warga Wadas lainnya tak pernah dilibatkan pemerintah dalam pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang janjinya akan dikaji ulang.
Selain itu, prosedur Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang dilakukan di Wadas pun dianggap keliru oleh Talabudin. Sama seperti pembuatan AMDAL, Izin Penetapan Lokasi (IPL) ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan warga Wadas. “Izin penetapan lokasi itu tidak diterbitkan lagi tanpa sepengetahuan masyarakat. Kalau mau diterbitkan lagi harusnya waktu itu Ganjar Pranowo izin sama saya masyarakat Wadas,” tutur Talabudin.
Akibat PSN Bendungan Bener yang direncanakan memasok air untuk Yogyakarta International Airport (YIA) sebagai infrastruktur penyokong Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), warga Wadas harus makan getahnya. Modista Tandi Ayu, Kepala Bidang Pelaksanaan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO), menyebutkan bahwa Bendungan Bener akan menyediakan dua ratus liter air per detik bagi YIA. Namun, meski PSN Bendungan Bener benar dicanangkan mendukung KSPN tersebut, warga Wadas justru harus selalu kalang kabut.
Wadas dalam Kalut Tetes Kehidupan
Gumpalan-gumpalan awan mendung bertengger di langit Wadas pagi hari mengiringi keluh kesah warga pascapenambangan, termasuk Susi. Dalam penuturannya, ia bersama warga mengeluhkan hal yang sama, air bersih. Terlebih jika musim hujan telah tiba di Wadas.

Kondisi sungai Wadas yang berubah keruh ketika musim hujan tiba. ©Zaidan/Bal
Bukan tanpa sebab mereka mengeluhkan ini. Susi sendiri menceritakan bahwa air yang dahulu jernih sekarang telah berubah keruh. “Kalo yang di kalen [sungai kecil-red] udah kayak air susu,” ucapnya getir. Namun, kebutuhan air tidak bisa ditunda, dengan terpaksa mereka tetap mengambil air dari sana.
Bukan Susi semata yang merasa demikian. Talabudin juga mengeluhkan bahwa mata air terdekat dari rumahnya akan berubah keruh saat hujan datang. Sementara itu, mata air yang dekat dengan galian tambang sudah tertutup dan tak dapat dipakai lagi. “Masyarakat bingung kalau hujan, gimana ya ambil air bersihnya. Nah, pake sanyo dan itu mengeluarkan duit,” ungkap Talabudin.
Kejadian air yang keruh bukan terjadi tiba-tiba dalam semalam. Ran menerangkan musabab permasalahan air ini. Ia merasa bahwa semakin besarnya galian penambangan, kondisi air menjadi keruh. “Masalah galian yang ikut terseret air juga banyak,” ungkap Ran menjelaskan.
Kondisi ini memaksa warga tidak bisa menggunakan air seperti biasanya. Rutinitas warga juga dipaksa menyesuaikan kondisi yang terjadi. Dengan berat hati, mereka harus menunggu lebih dari satu minggu setelah hujan agar air bisa digunakan atau terpaksa membeli air bersih. “Pokoknya seminggu minimal empat puluh ribu buat satu minggu [membeli air-red], ya sebulan dikalikan empat,” jelas Ran.
Namun sayangnya, tak semua warga memutuskan untuk membeli air bersih. Beberapa warga nyatanya masih memilih menggunakan air yang tak layak pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. “Harusnya kan kita minum pake air yang bersih, tapi karena kita punyanya cuma itu [air keruh-red], kita ngambilnya yang sebenarnya nggak layak,” keluh Susi.
Keruhnya air yang menjadi konsumsi warga membuat Susi khawatir terhadap kondisi kesehatan warga. Alhasil, keresahan itu berubah menjadi kekesalan terhadap pemerintah. “Itu kan perbuatan pemerintah, yang dulu kita itu bisa minum dengan air bersih, tapi sekarang kita minum menggunakan air yang sangat keruh, kotor, kayak gitu,” kesah Susi.Â
Bukan hanya merenggut hak air bersih mereka saja, pemerintah juga tidak mengakui adanya 27 sumber mata air di Wadas. “Waktu kita aksi di gubernur, itu kita bawa [bukti-red] 27 mata air agar pemerintah melek dan mengakui kalo itu benar-benar ada,” terang Talabudin. Alih-alih mengakuinya, pemerintah justru menjawab bahwa di lokasi galian hanya ada satu mata air saja.
Janji pemerintah untuk membuat sumur bor sebagai sumber air bersih juga tak kunjung dilaksanakan. Menurut Susi, setidaknya hingga November 2024, janji tersebut hanya menjadi cuap-cuap belaka. “Tapi sampe sekarang, nggak ada tuh air yang keluar dari sumur bor itu dan sampe sekarang nggak ada tindak lanjutnya,” keluh Susi.Â
Air Surut, Ibu Rumah Tangga Kian Tersudut
Ibu-ibu rumah tangga Wadas juga harus menelan pil pahit dari aktivitas penambangan. Bumi Wadas seakan-akan dirampas bersama air bersihnya yang sirna. Sisa-sisa air di sana menjadi cermin bentuk eksklusi yang dilakukan negara.
“Bagi saya, terutama perempuan, setiap hari harus menggunakan air entah buat mandi, mencuci atau untuk minum, masak,” ungkap Susi. Sebelum negara dan investor datang menggarong batuan andesit, Susi tidak kelimpungan mencari air untuk keperluan rumah. Namun, semenjak hutan di sekitar sumber air digunduli untuk penambangan, air perlahan hilang bersama pepohonan yang berkurang.
Akses air yang sulit memaksa Susi dan ibu-ibu lainya untuk mencari alternatif lain yang sangat merepotkan. Kini, mereka menggunakan selang untuk mengalirkan air ke rumah masing-masing. Mereka harus memeriksa selang itu setiap hari hanya untuk memastikan tidak ada yang menghambat airnya. “Kadang terkena lumpur dan sekarang tambah kena debu dan selang airnya kecil,” ratap Susi.Â
Akibat permasalahan air yang semakin parah, pengeluaran pun turut membengkak. Kini, Susi dan warga lainya harus membeli listrik untuk mengalirkan air dari sungai, sesuatu yang belum pernah dilakukan. “Jadi itu [airnya-red] ngambilnya dari sungai kita sendiri, tapi sama aja kita beli. Kalau terus-terusan kayak gitu, gimana?” tutur Susi.Â
Syahdan, keadaan semakin diperparah dengan tergerusnya pendapatan utama para ibu rumah tangga, seperti membuat gula aren dan besek. Sementara itu, jumlah pohon aren sudah tidak banyak dan sedikit pengelolanya. Susi juga menambahkan, “besek yang dulunya bisa [diproduksi-red] setiap bulan, sekarang sedikit karena terkadang bambunya juga beli, nggak ngambil dari tanah sendiri.”Â
Sambil menghela napas panjang, Susi bercerita bahwa anaknya juga terkena dampak dari tambang ini. Sebagai seorang ibu, hatinya hancur melihat anaknya yang baru bersusia 6 tahun harus tumbuh dewasa sebelum waktunya. “Soal e dia kan enggak punya temen, kadang, ya, teman-teman solidaritas [jadi temannya-red], tutur Susi.Â
Ketika tragedi 23 April 2021 pecah, hatinya kian membiru ketika anak semata wayangnya harus melihat ayahnya bertarung dengan polisi. Susi bercerita bahwa ia terpaksa membawa anaknya yang masih belia karena tidak ada orang yang bisa menjaganya. “Dia ikut, saya gendong, dan melihat bapaknya diinjak-injak polisi,” cerita Susi soal anaknya.Â
Saat ini banyak ibu rumah tangga berpikir keras untuk bertahan, entah untuk mencari pundi-pundi uang demi mempertahankan hidup atau bertahan untuk anaknya, seperti Susi. Mereka bahkan kadang heran dengan cara mereka untuk bertahan setiap hari menghadapi tambang. “Hidup kita aja nggak nyaman, nggak tentrem lah,” ujar Susi sambil bermuram durja.Â

Aktivitas penambangan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. ©Enjeli/Bal
Di balik megahnya PSN, ada kelompok yang dipinggirkan dan suara-suara yang tak terdengar. Bagi Susi, ibu rumah tangga, dan warga Wadas yang lain, penambangan telah menggerus hak dasar mereka—hak atas air dan hak atas ketenangan hidup. “Kita berjuang sampai sekarang bukan karena apa-apa, bukan karena uang. Lalu karena apa? Ya karena kita masih ingin tinggal di sini,” tegasnya.
Penulis: Enjeli Wahyul Ma’wa Septia, Galih Akhdi Winata, dan Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Fotografer: Enjeli Wahyul Ma’wa Septia, dan Tafrihatu Zaidan Al Akhbari