Dalam rangka memperingati 100 tahun Sitor Situmorang, Bentara Budaya Yogyakarta pada Sabtu (02-11), mengadakan diskusi peluncuran antologi puisi karya Martina Heinschke berjudul “Zwichen zwei Kontinenten–Antara Dua Benua” di Kotabaru, Yogyakarta. Martina merupakan seorang penerjemah sastra sekaligus akademisi asal Jerman yang sering menerjemahkan karya-karya sastra bahasa Indonesia ke bahasa Jerman. Di dalam antologi puisinya yang terbaru, ia menerjemahkan 70 puisi Sitor dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman.
Martina mengungkapkan bahwa ketertarikannya pada puisi Sitor membuat dirinya terdorong untuk menerjemahkan karya-karya Sitor. Dorongan tersebut terdapat dalam gaya bahasa Sitor yang mengandung pesan-pesan universal. “Pesan universal itu bisa menggerakkan rasa dan mengingatkan hal-hal termasuk keyakinan atau mengingat Tuhan untuk manusia,” tutur Martina.
Selain itu, Martina juga menuturkan bahwa sajak yang dihasilkan Sitor sangat variatif. Ia mencontohkan sajak Sitor yang berjudul “Hamilku” dan “Hamilmu” yang membahas feminisme. Ia berkata bahwa sajak seperti itu jarang ia temukan dalam sastra-sastra Indonesia. “Jarang sekali penyair laki-laki menulis tentang kehamilan,” ujar Martina.
Bagi Martina proses menerjemahkan karya Sitor bukanlah perkara mudah. Ia harus bergelut dengan berbagai tantangan mulai dari terbatasnya kebutuhan materi hingga perbedaan struktur bahasa. Martina berusaha keras untuk memahami konteks sejarah yang melatarbelakangi setiap puisi, serta mencari kosakata yang tepat untuk menyampaikan nuansa yang sama dalam bahasa Jerman. “Saya juga harus menghafalkan semua kosakata untuk menemukan diksi yang indah dalam bahasa Jerman,” ucapnya.
Ketika ditanya ihwal karya sastra Indonesia di Jerman, Martina menjelaskan bahwa sastra Indonesia masih kurang diminati. Menurutnya, hal tersebut disebabkan karya sastra Indonesia masih belum mudah ditemukan di toko-toko buku Jerman. Hal itu disebabkan oleh kurangnya gerakan untuk mempromosikan karya sastra Indonesia di dunia internasional. “Ya, jadi mungkin masih perlu satu pemimpin [untuk mempromosikan-red],” tandas Martina.
Di lain sisi, Ninuk, salah satu peserta diskusi menyebutkan bahwa pengenalan sastrawan Indonesia seperti Sitor sudah didapatkannya sejak menjadi pelajar. Ia menuturkan bahwa kecintaannya terhadap sastra, termasuk Sitor, dimulai sejak masa SMP ketika dikenalkan dengan sastrawan dan pujangga-pujangga baru di eranya. “Hal ini membuat suatu saat saya mencintai sastra,” ujar Ninuk.
Cerita yang hampir sama juga diberikan oleh Nunung, salah satu peserta diskusi. Baginya, sastra di masa mudanya menjadi teman yang menemani suasana hari-hari mereka. Namun, Ia ragu jika anak-anak sekarang masih mendapatkan pengenalan terhadap karya-karya sastrawan seperti Sitor. “Saya juga kurang memahami apakah anak-anak sekarang sudah diperkenalkan dengan karya sastrawan seperti Sitor,” ujarnya.
Penulis: Azmi Hanief, Ulfa Dwi Damayanti, Auliya Rahmani (Magang)
Penyunting: Aditya Rizky Nugroho
Fotografer: Aditya Rizky Nugroho