Kriminalisasi terhadap Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara telah sampai pada persidangan kelima. Supriyani diduga telah melakukan kekerasan kepada salah seorang siswanya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Menindaklanjuti hal ini, Kantor Berita Radio (KBR) melalui salah satu programnya, Ruang Publik, membahas secara mendalam perkara kasus yang menimpa Supriyani. Diskusi yang bertajuk “Menanti Keadilan Bagi Guru Honorer Supriyani” itu dilaksanakan secara daring melalui kanal Youtube Berita KBR pada Rabu (06-11).
Andri Darmawan, kuasa hukum Supriyani dan Alissa Wahid, Direktur Jaringan Gusdurian, hadir sebagai dua narasumber kunci yang mengungkapkan adanya penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum terhadap kasus yang menimpa guru honorer tersebut. Salah satu kejanggalan dari pihak kepolisian, menurut Andi, adalah penanganan dan hasil visum yang dilakukan. “Kita melihat hasil visum itu diantar oleh orang tua korban walaupun dia anggota polisi tapi kan bukan penyidik, tidak punya kewenangan untuk itu,” jelasnya.
Terlebih, Andri mengatakan jika Supriyani sebagai guru honorer seakan dipaksa dan disudutkan untuk mengaku bersalah. Ia menegaskan bahwa terdapat banyak penekanan-penekanan dari aparat. “Perkara ini dari awal memang rekayasa untuk menyudutkan Supriyani sehingga persidangan ini sampai di persidangan hari ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Alissa menjelaskan adanya bias dari orang tua terduga korban kasus kekerasan ini yang merupakan anggota kepolisian. Alissa mengungkapkan kekhawatirannya terkait integritas penegakan hukum di Indonesia serta kecenderungan pihak berpengaruh untuk memanipulasi mekanisme-mekanisme kepada pihak tertuduh. Menurutnya hal ini yang membuat posisi Supriyani semakin sulit. Bagi Alissa, persoalan semacam ini juga memerlukan keterlibatan pihak yang netral. “Tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada kepolisian, lembaga-lembaga negara yang lain itu juga harus dilibatkan, misalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” ujar Alissa.
Selanjutnya, Andri menerangkan bahwa perlu hati-hati dalam menangani kasus yang melibatkan anak sebagai alat bukti keterangan saksi. Mengutip Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Andri mengatakan jika keterangan anak hanya difungsikan sebagai bukti penunjuk. Oleh karena itu, perlu dikesampingkan jika tidak sesuai dengan alat bukti lain. Menurut Andri, hukum harus didasarkan pada bukti yang nyata sehingga tidak terjadi kriminalisasi atau rekayasa dalam perkara. “Tidak boleh ada kriminalisasi atau rekayasa dengan dalih perlindungan anak,” tutur Andri.
Sementara itu, Alissa mengharapkan dukungan masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum dan penyelenggara negara lainnya untuk bisa menyikapi kejadian ini dengan lebih bijak. Baginya, kekuasaan dan kewenangan di Indonesia masih belum konsisten, maka sangat butuh pengawalan masyarakat. “[Harapannya para penegak hukum-red] tidak terjebak pada bias-bias kekuasaan di tingkat lokal,” tambahnya pada akhir diskusi.
Penulis: Chuzaima, Dicky Dharma, Ashfa Nayla Naja (Magang)
Penyunting: Shalma Putri Adistin
Ilustrator: Hawa Muzayyinag Niswah (Magang)