Pada Jumat (01-11), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengadakan diskusi daring bertajuk “Nasionalisme dalam Seni Rupa, Apa Perlu?” dalam rangka memperingati 86 tahun berdirinya Persatuan Ahli Gambar Indonesia. Diskusi ini menghadirkan tiga seniman yakni Tisna Sanjaya, Santi Ariestyowanti, dan Samsul Arifin. Diskusi yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom ini membuka ruang bagi para seniman untuk berbagi pandangan tentang bagaimana nasionalisme dihadirkan dalam karya mereka.
Mengawali diskusi, Tisna memulai paparannya dengan menggambarkan pendekatan pribadinya terhadap nasionalisme dalam seni. Ia menegaskan bahwa nasionalisme dalam seni rupa sebaiknya memiliki cakupan luas, berakar pada nilai-nilai demokrasi, rasa kemanusiaan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Hal ini menginspirasi Tisna untuk menciptakan karya seni yang berakar dari kondisi lingkungan di desa tempat tinggalnya. Ia merasa perlu memberikan kontribusi yang bermanfaat melalui karya seni yang relevan dengan masyarakat setempat. “Sawah-sawah menjadi tempat mencuci plastik-plastik, padi berubah menjadi plastik,” ujar Tisna.
Lebih lanjut, menurut Santi, penggunaan elemen budaya lokal dapat menjadi cara untuk mengenali jati diri di tengah pengaruh budaya populer dari luar. “Kebutuhan-kebutuhan untuk mengenal jati diri ini akhirnya berlanjut dengan eksplorasi visual,” jelas Santi. Ia pun mencontohkan beberapa karyanya yang menggunakan budaya lokal seperti wayang dan kain lurik.
Menyambung Santi, Samsul yang dikenal karena penggunaan karung goni sebagai medium utama dalam karyanya, turut membagikan perspektif. Menurut Samsul, pilihan material itu mengingatkannya pada masa-masa kelam kolonialisme Jepang ketika rakyat jelata sering dipaksa menggunakan karung goni sebagai pakaian. ”Bagi saya, karung goni bukan semata-mata material yang tidak bernilai, ada nilai sejarah yang mengingatkan kita betapa getirnya perjuangan saat itu,” jelasnya.
Selain karung goni, Samsul juga sering menggunakan medium boneka dalam karyanya. Salah satunya yaitu seri “Kabinet Goni” dengan konsep menghadirkan boneka dari goni yang mewakili penderitaan dan pembodohan rakyat. “Boneka dari goni adalah sebuah karya untuk mengingatkan kita pada penjajahan, sebuah bentuk pembodohan yang masih relevan dalam berbagai konteks hari ini,” ujarnya.
Tidak hanya itu, bagi Tisna, seni rupa adalah ruang untuk menyuarakan keresahan terhadap masalah sosial sekaligus sarana untuk melibatkan masyarakat dalam dialog tentang masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, ia meyakini bahwa seni bukan hanya alat ekspresi personal. “Seni dapat pula menjadi medium refleksi dan kritik budaya yang lebih luas dalam masyarakat,” tegas Tisna.
Penulis: Indira Zahra Mustika
Penyunting: Titik Nurmalasari
Illustrator: Nabillah Faisal