“Kita bekerja bertahun-tahun tapi masih tidak ada perlindungan hukumnya,” kata Juli Maheni, perwakilan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia di sebuah diskusi yang diadakan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM. Diskusi yang bertajuk “Upaya Terjal Perlindungan Pekerja Rentan” itu diselenggarakan di Amphiteater BRI Fisipol UGM pada Selasa (12-11). Selain Juli, diskusi ini juga menghadirkan Tiasri Wiandani dari Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Mochtar Habibi dari Serikat Pekerja Fisipol sebagai dua pembicara kunci lainnya.
Menurut Juli, keresahan paling utama yang dirasakan PRT saat ini adalah tidak adanya payung hukum yang menjamin keamanan PRT ketika bekerja. Ia menjelaskan bahwa tidak adanya perlindungan hukum bagi PRT adalah akibat dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang mandek di DPR. “Sudah 20 tahun undang-undangnya digantung DPR,” tuturnya.
Bagi Juli, selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap kerentanan nasib PRT. Juli menuturkan dalam penyusunan naskah RUU PRT, pembahasan atas upah kerja PRT selalu menjadi persoalan. Ia mengatakan bahwa upah kerja PRT yang tidak dibebankan pada sebuah institusi perusahaan seolah tidak bisa diselaraskan dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang ada. “Istilahnya kita itu digaji dari kebaikan majikan,” ucap Juli.
Selanjutnya, Tiasri juga menyoroti kurang masifnya advokasi mengenai RUU PRT dibandingkan RUU lain sehingga Ia menyebutkan bahwa peningkatan atensi publik menjadi strategi yang krusial. Tiasri mengambil contoh bentuk advokasi RUU tindak pidana kekerasan seksual yang mampu mendapatkan perhatian luas sampai banyak pihak yang menyelenggarakan diskusi, webinar atau gerakan lain untuk menyuarakannya. “Mari kita bersama organisasi-organisasi kampus terlibat di dalam pendiskusian RUU PRT dan terlibat di dalam proses advokasinya di DPR,” ajaknya.
Lebih lanjut, Tiasri juga menerangkan upaya yang dilakukan Komnas Perempuan untuk mengampanyekan isu RUU PRT melalui media sosial dengan terus menginformasikan perkembangan proses advokasinya di DPR. Selain itu, menurutnya perlu ada penguatan kerja-kerja jaringan seperti rapat konsolidasi dengan organisasi masyarakat sipil terkait proses advokasi RUU PRT ini. “Jadi kita bisa saling sharing, membangun strategi, merefleksikan apa yang sudah dilakukan, dan membaca keperluan dan tantangan,” tuturnya.
Sedangkan, salah satu upaya yang disampaikan Mochtar untuk memperkuat perlindungan bagi PRT adalah dengan mengintegrasikan ketentuan RUU PRT ke dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Menurutnya, hal ini dapat memperkuat solidaritas buruh dan membuat isu perlindungan PRT lebih relevan bagi buruh di sektor lain. “RUU PRT bisa jadi dicantolkan dalam UU pekerja tentang tenaga kerja yang di situ diatur tanpa harus punya UU sendiri,” ujar Mochtar.
Di akhir sesi, Mochtar menyinggung terkait pengesahan RUU PRT di Indonesia yang terhambat oleh hadirnya kepentingan para penyedia lapangan kerja bagi PRT, tidak menutup kemungkinan juga termasuk anggota parlemen. Menurutnya, mayoritas anggota DPR adalah seorang pengusaha pemberi kerja yang memungkinkan mereka mempunyai PRT, bahkan lebih dari satu. Mochtar menilai bahwa RUU PRT akan membawa dampak signifikan bagi yang kepentingannya terganggu jika disahkan. “Mereka sudah menghitung mungkin berapa duit yang harus dikeluarkan untuk bayar pekerja rumah tangganya itu,” ujarnya.
Penulis : Amelinda Riski N.C, Gulma Zahra Auradatu, M. Athallah Adinata (Magang)
Penyunting : Gayuh Hana Waskito
Fotografer : Aiken Gimnastiar