“Hidup perempuan! Hidup petani!” seru Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), pada akhir sambutannya dalam pembukaan Festival Perempuan Istimewa (FPIS). Acara ini diselenggarakan pada Sabtu (14-09) di Bale Klegung, Kalibawang, Kulon Progo oleh SP Kinasih Yogyakarta bersama dengan para perempuan petani Kulon Progo. Selain Armayanti, Wahyu Aji, Ketua Panitia FPIS dan Sana Ullaili, Ketua Badan Eksekutif SP Kinasih juga ikut memberikan sambutan. Menurut pemaparan Aji, FPIS yang dilaksanakan selama lima hari sampai hari Rabu (18-09) merupakan bentuk perayaan atas perjuangan kelompok tani Karya Lestari Mandiri (Karisma) dalam melawan ketidakadilan dan penjajahan pupuk kimia.
Ungkapan penjajahan pupuk kimia dilabelkan Aji kepada praktek-praktek produksi pupuk kimia yang dilakukan pabrik. Pasalnya, produksi tersebut berakibat pada rusaknya bumi dan krisis iklim. Menurutnya hal ini jauh berbeda dengan visi petani-petani perempuan yang memerhatikan kelestarian alam dalam bertani. “Yang dilakukan petani perempuan itu praktek pertanian lestari, meninggalkan praktek modernisasi yang merusak,” ujar Aji.
Melanjutkan hal tersebut, Sana menyebutkan bahwa kini petani perempuan sedang menghadapi tantangan yang cukup pelik. Menurutnya hal ini terjadi akibat produksi benih dan pupuk kimia oleh pabrik telah marak beredar di pasaran. Ia melihat kemudahan mendapatkan benih dan pupuk kimia menyebabkan konsumsi bahan tersebut meningkat secara drastis. Padahal, produksi pupuk kimia oleh pabrik sangat bertolak belakang dengan visi murni petani, yakni pertanian yang tidak eksploitatif. “Pertanian industrial sangat rakus, orientasinya produksi, produksi, produksi!” tegas Sana.
Sana berujar bahwa saat ini banyak petani sudah mengalami ketergantungan terhadap penggunaan benih dan pupuk kimia. Ia menyebut mereka bukan lagi sebagai petani, melainkan hanya sekadar juru tani. Bagi Sana, juru tani adalah julukan bagi petani yang tidak lagi memproduksi pupuk dan benih sendiri. “Semua sudah ditentukan oleh pabrik,” ujar Sana.
Sana menyoroti fenomena ketergantungan terhadap benih dan pupuk kimia tidak dapat lepas dari kehadiran perusahaan agroteknologi seperti Bayer dan Monsanto. Produk industri tersebut juga mengambil alih kedaulatan perempuan atas pangan, benih, dan pupuk. Menurut Sana, produksi benih yang dilakukan oleh perusahaan tersebut menyebabkan petani menjadi ketergantungan dengan produk-produk industrial. “Karena ketergantungan maka wilayah otoritas perempuan menjadi semakin sempit,” ucap Sana.
Lebih lanjut, Sana menuturkan bahwa secara historis, benih dan pupuk adalah bagian dari wilayah kedaulatan perempuan. Artinya, tugas-tugas keperawatan atas pertanian adalah kuasa perempuan. Namun, berdasarkan penjelasannya, kolonialisme pertanian dalam bentuk industri pupuk kimia telah merenggut kedaulatan tersebut. Hal ini dilakukan melalui penguasaan pabrik atas benih dan pupuk. “Penguasaan terhadap benih dan pupuk, dahulu merupakan otoritas perempuan,” tutur Sana.
Perjuangan petani perempuan Karisma dalam melawan berbagai bentuk kolonialisme pertanian digambarkan dalam beberapa lukisan pada pameran yang diselenggarakan FPIS. Salah satu lukisan karya Fajar dan Roni menggambarkan situasi ketika para petani perempuan menolak kedatangan kapal dan pesawat yang membawa pupuk industrial. “Karya itu ngomongin soal ancaman pupuk kimia terhadap masa depan kaum perempuan,” ucap Fajar.
Dalam proses kreatifnya, Fajar mengaku bahwa karyanya banyak dibantu oleh riset dari SP dan kelompok tani Karisma. Hasil riset tersebut juga percakapannya dengan Herni Saraswati, pelopor kelompok tani Karisma, membawanya pada penciptaan lukisan tentang Pranoto Mongso. Pranoto Mongso sendiri, dalam penjelasan Fajar, adalah sebuah kalender khusus petani yang menunjukkan periode ketika tanah diistirahatkan dan tidak diolah karena adanya kedekatan tanah sawah dan petaninya. “Bagi mereka yo ekosistem sawah ini sahabat mereka,” ungkap Fajar.
Selain pameran lukisan, terdapat acara lainnya yang turut mendukung perjuangan petani dalam menjaga pertanian lestari. Salah satunya adalah kelas-kelas pengolahan praktek pertanian lestari itu sendiri. Menurut Aji, acara Kelas Sinau yang diselenggarakan dalam FPIS adalah cara untuk membumikan praktek-praktek pertanian lestari dan menyebarkan nilai-nilai yang dipegang oleh petani Karisma. “Nilai kami, yaitu menolak penjajahan pupuk kimia dan pertanian industrial yang merusak alam,” ujar Aji.
Penulis: Aghits Azka dan Nabeel Fayyaz
Penyunting: Adhika Nasihun Farkhan
Fotografer: Nabeel Fayyaz