Massa aksi yang dimotori oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta datang dan memenuhi titik nol kilometer Yogyakarta. “Hidup Korban, Jangan Diam; Jangan Diam, Lawan,” ulang massa aksi, Jumat (16-08). Aksi itu rutin diserukan setiap tahunnya guna memperingati tragedi kekerasan dua puluh delapan tahun silam yang menimpa seorang wartawan harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin. Wartawan yang kerap disapa Udin mengalami penganiayaan oleh orang tak dikenal dan berujung pada kematian. Penganiayaan yang terjadi disinyalir kuat berhubungan dengan pemberitaan yang Syafruddin tulis mengenai dugaan korupsi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul.
Aksi dimulai pada pukul 16.30 dengan ditandai berkumpulnya massa aksi yang berdiri dengan membawa spanduk dan poster. Namun, Jauh sebelum aksi dimulai, puluhan aparat polisi sudah berjaga dan memenuhi setiap sudut lokasi aksi. Kemudian, pukul 16.37 massa aksi mulai melakukan orasi. Januari Husin atau yang kerap disapa Juju selaku ketua AJI Yogyakarta dalam orasinya menyampaikan tuntutan yang dibawa oleh massa aksi. “Maka, pada hari ini kami menuntut polisi, menuntut Polda DIY untuk menuntaskan kasus pembunuhan Mas Udin, yang dibunuh karena menulis berita,” tegasnya.
Tak hanya kasus yang menimpa Udin, aksi yang berlangsung sore itu juga membahas peristiwa kekerasan terhadap jurnalis lain, terutama yang terjadi di Indonesia. Dalam keterangan Juju, setidaknya sejak 2006, AJI mencatat telah lebih dari 1.000 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi. “Ada sembilan kasus tewasnya jurnalis dan cuma satu yang kita anggap pengusutannya tuntas. [Itu-red] di Bali,” terangnya.
“Kawan-kawan sekalian selama kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap jurnalis di masa lalu tidak diungkap tuntas oleh polisi, selama itu pula jurnalis di Indonesia bekerja dalam bayang-bayang kematian,” tutur Juju. Selang beberapa waktu kemudian, pada pukul 16.47 massa aksi mengheningkan cipta. Hening cipta yang berlangsung selama satu menit menjadi bentuk penghormatan terhadap mendiang Udin.
Aksi kali ini juga tidak hanya dihadiri oleh jurnalis, aktivis, maupun mahasiswa. Massa aksi dihadiri berbagai kalangan umur. Anak kecil ikut membentangkan poster bersama dengan jurnalis lainnya. Ini menjadi bentuk bahwasannya, pelanggaran hak asasi akan menjadi kepedulian semua kalangan. “Mungkin dia [anak kecil-red] nggak paham kasusnya, tapi dia terbiasa dengan kritik,” ujar Bekti, jurnalis yang membawa putrinya untuk mengikuti aksi kali ini.
Pada pukul 16.56, rangkaian aksi ditutup dengan tindakan simbolis memukul kentungan. Kentungan dibagikan kepada massa aksi dan membunyikannya bersamaan. ”Membunyikan kentungan, menyalakan alarm tanda bahaya darurat kekerasan terhadap wartawan dan darurat impunitas terhadap pelaku kekerasan jurnalis,” ujar Juju.
Juju menegaskan, aksi ini sebagai penegasan atas pesan-pesan ketakutan masyarakat di dalam bayang-bayang tragedi kematian masyarakat sipil, terutama jurnalis. Ia kembali menambahkan bahwa aksi ini bukanlah aksi yang pertama karena pada kenyataannya sudah banyak jalur yang digunakan untuk menuntaskan kasus kematian Udin. “Kita sudah pada taraf kita mau ngapain lagi untuk jalur litigasinya. Kayaknya semua sudah dilakukan,” terang Juju.
Namun demikian, Juju tetap menegaskan bahwa segala usaha akan tetap diupayakan untuk menuntaskan kasus kematian Udin. Salah satunya adalah untuk meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menetapkan kasus kematian Udin sebagai kasus pelanggaran hak asasi berat. Juju juga percaya bahwa perjuangan AJI dalam menuntaskan kasus kematian Udin akan terus dilakukan. “Aksi simbolis untuk memperingati tewasnya Mas Udin akan kami lakukan, sepanjang kasus ini belum terungkap. Selama belum diungkap oleh polisi, selama itu juga kami akan terus melakukan aksi,” tegas Juju.
Penulis: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari dan Gladwin Panjaitan
Penyunting: Ester Veny
Fotografer: Natasya Mutia Dewi