Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

RUU Penyiaran Ancam Hak Bersuara dari Berbagai Aspek

Juni 18, 2024

©Nabillah/Bal

Pada Sabtu (15-06), komunitas Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES (LETSS Talk) menggelar forum publik ke-69 yang bertajuk “Kebebasan Berekspresi Jangan Diopresi: Mengapa Kita Harus Menolak RUU Penyiaran?”. Forum ini sebagai respons atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang mengancam kemerdekaan pers di Indonesia. Forum ini menghadirkan sejumlah pembicara dari Dewan Pers, Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi, akademisi, sutradara, dan lembaga lainnya.

Forum dibuka dengan pemaparan dari Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, perihal anomali yang ada pada sejumlah pasal-pasal RUU Penyiaran. “Setidaknya ada delapan pasal yang kami minta untuk tidak digunakan di dalam draf RUU ini karena ini betul-betul tabrakan dengan Undang-Undang [Nomor-red] 40 [Tahun 1999-red],” ungkapnya. Di antara kejanggalan yang ada di dalam RUU ini, salah satu yang disoroti adalah tumpang tindih wewenang antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Dewan Pers. 

Lebih lanjut, Ninik menjelaskan bahwa KPI pada akhirnya berwenang menerima pengaduan masyarakat dan melakukan mediasi sengketa. Padahal, kewenangan ini sebelumnya dipegang oleh Dewan Pers dan tercantum dengan jelas di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS. Ninik menilai bahwa perubahan ini juga mengaburkan fungsi Dewan Pers dan menurunkan independensi. “Kalau ini kemudian dipindah ke KPI, yang kita tahu dia adalah produk politik, anggota KPI itu dipilih oleh partai politik. Maka itu akan mengubah [pandangan-masyarakat kepada-red] orang-orang yang bekerja secara independen menjadi tidak independen,” tegasnya. 

Di sisi lain, Melani Budianta selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengkritisi RUU Penyiaran yang akan merepresi kemampuan publik dalam memperoleh pengetahuan dan berpikir kritis. Baginya, masyarakat tidak hanya menerima informasi, tetapi ikut serta untuk mempertanyakannya dan berpendapat atas informasi yang beredar. “Salah satu tugas kita semua sebagai intelektual publik adalah kemampuan untuk berpikir kritis,” tegas Melani. 

Sejalan dengan Melani, Anis Hidayah dari Komnas HAM, mengatakan bahwa pembatasan akan informasi ini juga akan menjadi bentuk pelanggaran atas HAM di Indonesia. Hak manusia untuk mendapatkan informasi yang kredibel tidak dapat terwujud. “Berita [seperti-red] kerangkeng manusia diangkat oleh pers melalui investigasi jurnalistik, kalau hal tersebut tidak diinvestigasi, hak masyarakat atas informasi kredibel tidak akan terpenuhi,” jelas Anis. 

Aan Anshori yang tergabung dalam lembaga Gusdurian juga menambahkan fakta pentingnya investigasi kasus yang dilakukan oleh jurnalis. Ia, yang turut mengawal kasus kekerasan seksual di salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, menyebutkan bahwa investigasi jurnalistik oleh pers yang membantu pengungkapan kasus kekerasan seksual ini. Pelarangan terhadap investigasi jurnalistik menurutnya akan melanggengkan pelaku kejahatan untuk melakukan kasus serupa. “Pelakunya kebal hukum, bayangkan kalau tidak dihajar teman-teman pers melalui investigasi jurnalistik,” jelas Aan. 

Melalui sudut pandang lain, Nia Dinata yang berprofesi sebagai sutradara dan produser, bercerita bahwa jauh sebelum munculnya rancangan RUU penyiaran, kebebasan berekspresi dalam industri perfilman sudah dibatasi. Filmnya yang kerap mengangkat isu gender dan kesetaraan sering dipersulit dalam proses birokrasi kepada Lembaga Sensor Indonesia dengan dalih “norma”. Pembatasan kebebasan yang sudah ia rasakan dari tahun 2001 membuatnya muak dengan kondisi perfilman di Indonesia. “Dengan demikian, saya nggak akan bikin film layar lebar lagi sampai kebebasan berekspresi itu saya dapatkan,” ujar Nia.

Kemudian, Aan juga menilai bahwa RUU Penyiaran merupakan representasi ketakutan dan sisi amoral penguasa serta para pelaku kejahatan terkait. Oleh karena itu, ia mempertegas agar RUU ini sebaiknya tidak buru-buru disahkan. Ia menyatakan bahwa akan terus menolak dan melawan pengesahan RUU yang tidak diikuti peninjauan ulang. “Kalau negara ini mau selaras dengan Pancasila, ya RUU ini harus diperbaiki lah,” pungkas Aan.

Penulis: Muhammad Riendy Tri Putra dan Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Penyunting: 
Rais Aulia
Fotografer: Nabillah Faisal

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM