Senin (25-09), Aliansi Mahasiswa UGM mengadakan aksi dan refleksi dengan tajuk “Aksi September Nestapa: Rekoleksi Kejahatan Negara”. Aksi simbolik ini merupakan kegiatan untuk memperingati “September Hitam” sekaligus mengenang seluruh tragedi-tragedi kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat sejak Indonesia merdeka. Adapun pelataran Boulevard dan Bundaran UGM dipilih untuk menjadi lokasi aksi dan refleksi kali ini.
Sebelumnya, massa aksi terlebih dahulu berkumpul di lapangan Grha Sabha Pramana. Lantunan lagu “Buruh Tani” turut mewarnai perjalanan massa aksi yang mulai bergerak menuju Bundaran UGM. Sesampainya di sana, aksi dimulai dengan pembacaan puisi dan orasi terbuka dari peserta aksi yang ingin menyuarakan pendapatnya.
“Kalau bulan September, kalian ingat apa!?”, tanya pemimpin aksi. Massa aksi serempak menjawab, “PENINDASAN!”. Jawaban ini diikuti sahutan jawaban lain yang menyebutkan beberapa nama korban dari banyaknya tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan September. Mulai dari Munir, korban penculikan ‘98, hingga korban gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan terdengar dari massa aksi.
Zidan Darmawan, Hubungan Masyarakat Aliansi Mahasiswa UGM, menyebutkan bahwa aksi kali ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Baginya, aksi simbolis ini dapat menjadi pengingat untuk semua orang tentang seluruh tragedi kemanusiaan di Indonesia, termasuk yang terjadi akhir-akhir ini. “Kemarin yang di Riau (kekerasan di Pulau Rempang), lalu yang dekat dengan kita ada di Wadas,” tambahnya.
Dalam orasi kali ini, Ahmad Ryan Faza, salah satu bagian dari divisi acara aksi, turut menyuarakan pendapatnya. “Mari kita mengenang kembali sejarah singkat janji-janji [kemanusiaan oleh Jokowi-red] yang ditawarkan di tahun 2014,” ucap Faza. Ia menekankan bahwa janji-janji kemanusiaan untuk menyelidiki kasus pelanggaran berat HAM serupa diucapkan lagi pada 2019, tetapi hingga akhir masa jabatannya tidak ditemukan hasil yang konkret.
Bagi Faza, agenda-agenda pembangunan yang juga ditawarkan pemerintah menjadi faktor baru dalam menambah daftar panjang pelanggaran berat HAM di Indonesia. “Wadas dan Kendeng. Berapa banyak warga yang kehilangan rumahnya akibat ideologi infrastruktur yang dijalankan?!” tuturnya.
Di sela-sela orasi Faza, sesosok “pocong” digotong ke depan massa aksi. Faza menjelaskan bahwa sosok ini menjadi representasi dari kemanusiaan dan keadilan yang ditikam dan dibunuh di Indonesia. Ia kemudian mengajak seluruh massa aksi untuk duduk di depan “pocong” dan mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Penaburan bunga di atas dan sekeliling “pocong” juga turut dilakukan.
Selain itu, massa aksi juga membagikan bunga mawar merah kepada aparat kepolisian yang mengamankan jalannya aksi sore itu. Saat diwawancarai lebih lanjut oleh BALAIRUNG, Faza menjelaskan bahwa pemberian bunga merupakan simbol dari kemanusiaan. “Pemberian bunga menjadi simbol untuk melihat bahwa kemanusiaan itu masih ada, yang kita anggap selama ini sudah hilang,” pungkasnya.
Pada akhir orasi di Bundaran UGM, Faza lalu membacakan lima poin tuntutan yang dilayangkan dari aksi ini. Pertama, menghentikan semua langkah-langkah represif yang dilakukan aparat kepada masyarakat. Kedua, menyelidiki aparat yang melakukan tindakan represif. Ketiga, mengadili pihak-pihak yang melakukan represif terhadap warga negara dengan hukum yang seadil-adilnya. Keempat, pemberhentian produksi dan penggunaan gas air mata sebagai senjata aparat dalam mengendalikan massa. Kelima, menuntut Universitas Gadjah Mada sebagai kampus kerakyatan untuk lebih vokal dan memiliki tanggung jawab intelektual terhadap kasus atau kejadian pelanggaran HAM yang menindas masyarakat Indonesia.
Selepas itu, massa aksi bergerak meninggalkan Bundaran UGM dan melakukan refleksi di pelataran Boulevard UGM. Refleksi dilaksanakan sekitar 40 menit dibarengi dengan penyalaan lilin serta menyanyikan lagu “Gugur Bunga”. “Mari menyanyikan lagu yang digunakan oleh Pemerintah Orde Baru untuk mengenang ‘pahlawan’ mereka, tetapi kali ini kita gunakan untuk mengenang pahlawan-pahlawan kemanusiaan,” ajak Faza.
Salman, salah satu peserta aksi, melihat bahwa aksi dan refleksi ini menunjukkan bahwa masih ada kepedulian mahasiswa atas permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia. Dia melihat bahwa penyalaan lilin ini juga menjadi representasi semangat setiap insan. “Harapanku untuk aksi ini, setiap tuntutan dapat didengarkan dan bisa terealisasikan,” tegasnya.
Penulis: Ester Veny
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara