“Yang membunuh dibebaskan, yang melawan ditahan,” lantun Tri, peserta diskusi, sembari membacakan puisi dalam Festival Keadilan yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada Sabtu (29-07). Berlokasi di Pan Java Garden Cafe, Malang, festival tersebut mengusung acara diskusi dengan tajuk “Menggugat Kedaulatan Rakyat”. Pembahasan dalam diskusi tersebut berkaitan dengan pengawalan kasus Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022 silam.
Diskusi ini dihadiri oleh beberapa pembicara, antara lain Dimas, Koordinator Aksi Kamisan Malang; Rizal, salah satu keluarga korban Tragedi Kanjuruhan; Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS 2020-2023; Made Supriatma, peneliti ISEAS Singapura; Eko Prasetyo, Pendiri SMI; dan Haris Azhar, aktivis HAM sekaligus kepala sekolah “Lawan Oligarki” SMI. Selain itu, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dan massa Aksi Kamisan Malang juga turut hadir dalam diskusi tersebut.
Diskusi dibuka oleh Dimas yang menjelaskan terpecahnya gerakan yang dilakukan masyarakat Malang Raya dalam mengawal penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan. Ia mengungkapkan bahwa konflik horizontal antara masyarakat Malang membuat isu tersebut menjadi redup di skala nasional. “Padahal, hal semacam itu dapat ditampik ketika gerakannya sudah kuat di grassroot sehingga dapat cepat ditindaklanjuti oleh instansi hukum terkait,” ujar Dimas. Ia juga menilai bahwa seharusnya masyarakat Malang saling bersatu menguatkan narasi untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan, salah satunya adalah penolakan renovasi Stadion Kanjuruhan.
Melanjutkan Dimas, Rizal pun turut menolak rencana renovasi Stadion Kanjuruhan. Rizal bersama keluarga korban Tragedi Kanjuruhan pun sempat mendatangi kantor DPRD Kepanjen untuk menyampaikan hal tersebut. Bukan tanpa alasan, ia menolak renovasi Stadion Kanjuruhan karena dianggap sebagai tempat kejadian perkara tragedi yang menewaskan 135 orang tersebut. “Seharusnya, jangan dibongkar dulu. Kalau rekonstruksi sudah dijalankan di sana dan keadilan Tragedi Kanjuruhan ini sudah didapatkan, gapapa dibongkar,” tegas Rizal.
Rizal mengakui telah melakukan berbagai usaha untuk mengawal penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan, salah satunya adalah pembuatan laporan model B di Polres Kepanjen. Akan tetapi, prosesnya masih sampai tahap penyelidikan, belum naik ke tahap penyidikan setelah sembilan bulan lamanya. Tak berhenti sampai di situ, upaya yang dilakukan Rizal dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan juga dilakukan ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pasar Bululawang. Akan tetapi, mereka justru mengalami represi dari aparat. “Ketika kami ingin menyampaikan uneg-uneg, justru dihalangi oleh tentara,” terang Rizal.
Selain itu, Rizal juga mengungkapkan bahwa dirinya kerap mendapat tawaran dari kepolisian guna meredam masalah, salah satunya berupa tawaran untuk menjadi polisi dari Polda Jawa Timur dan Polsek Tumpang, Malang. “Maaf pak, saya telah kehilangan ayah dan adik saya. Saya cuma butuh satu, keadilan ditegakkan seadil-adilnya,” tolak Rizal pada saat itu.
Kemudian, Made melanjutkan dengan mencoba mengingat kembali berbagai macam perjuangan pra-Reformasi dan semasa Reformasi. Ia menyebut bahwa yang dialami keluarga korban Tragedi Kanjuruhan juga dialami pada masa-masa tersebut. Made mengungkapkan bahwa ia juga memiliki banyak orang yang dikenalnya terbunuh dan hilang pada saat itu. Hal ini membuat Made merasa sakit hati dan mengharapkan supaya kejadian semacam itu tidak terjadi lagi. “Tetapi kejadian semacam itu kini saya dengar dan alami lagi, itu yang membuat semangat saya [dalam melakukan perjuangan-red] tidak pernah padam,” ujarnya.
Untuk mengenang Tragedi Kanjuruhan, Eko menyarankan mahasiswa dan masyarakat di Malang untuk memasang foto-foto korban di berbagai sudut kota sebagai bentuk perjuangan. Ia menyebut hal tersebut dilakukan agar masyarakat mengetahui banyaknya korban dari Tragedi Kanjuruhan. “Dengan cara berdoa dan membangun ingatan, kita akan memenangkan pertarungan yang tidak adil ini,” ucap Eko. Ia juga mengajak para peserta diskusi untuk menolak renovasi Stadion Kanjuruhan yang menjadi saksi terjadinya kejahatan kemanusiaan.
Fatia turut mengutarakan pendapatnya terhadap perjuangan yang dilakukan oleh keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang juga banyak terdiri atas ibu-ibu di dalamnya. Ia menyebut bahwa perempuan sering menjadi garda depan dalam berbagai pergerakan di Indonesia saat ini, seperti di Wadas, Kendeng, bahkan Papua. Oleh sebab itu, lanjut Fatia, diskusi kali ini harus menjadi momentum awal bagi masyarakat Malang dan berbagai daerah lain untuk bisa mengoneksikan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. “Risiko sudah pasti ada. Tapi kalau kita tidak melawan, maka kita berkontribusi memberikan ruang besar bagi negara agar mereka bisa terus menindas rakyat yang tidak punya ruang untuk bersuara,” jelasnya.
Pada akhir diskusi, Haris menuturkan bahwa Festival Keadilan ini diadakan untuk kembali merajut solidaritas penderitaan di berbagai daerah yang mengalami ketidakadilan. Ia juga berpesan kepada keluarga korban Tragedi Kanjuruhan untuk tidak perlu khawatir dengan kuantitas massa yang melakukan perjuangan menuntut keadilan. “Satu sudah cukup untuk membahasakan sebuah kebiadaban dan satu keluarga korban yang tersisa lebih luas cahayanya untuk terus membicarakan jika keadilan itu tidak hadir,” pungkasnya.
Penulis: Cahya Saputra
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Cahya Saputra