“Dari pagi sampai sore tidak mengenal jam, suaranya bikin sakit di dada,” keluh Subur, salah satu warga Pundak Wetan, dalam acara Hari Anti Tambang (HANTAM) pada Minggu (28-05). Ia mengungkapkan pernyataan tersebut karena bisingnya kegiatan pertambangan di sekitar Sungai Progo oleh PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) yang mengusik ketenangan masyarakat.
Mengangkat tajuk “Save Kali Progo, Pulihkan Jogja dengan Spirit HANTAM”, acara ini diselenggarakan Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta. Dilaksanakan di Padukuhan Jomboran, Sendangagung, Minggir, Sleman; acara ini digelar dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang Nasional. Selain itu, acara ini dijadikan momentum masyarakat Jomboran, Wiyuh, dan Pundak Wetan yang tergabung PMKP dalam perjuangan menuntut keadilan mengenai pertambangan yang terjadi di Kali Progo.
Acara dimulai dengan sambutan Iswanto selaku Ketua PMKP. Ia mengatakan bahwa penambangan yang dilakukan oleh PT CMK di Kali Progo memiliki kecacatan terkait perizinan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya sosialisasi antara pihak penambang dengan warga terdampak sekitar Kali Progo. “Izin tambang baru bisa terbit apabila ada persetujuan dari warga terdampak secara mufakat,” tegas Iswanto.
Selain bermasalah dalam hal perizinan, kegiatan penambangan ini juga memiliki dampak pada kerusakan alam. Tandi, salah satu warga Jomboran, mengakui bahwa kegiatan penambangan itu sangat merusak kondisi tanah. Ia menyebut bahwa masuknya eskavator disertai dengan air hujan memicu erosi terus terjadi. “Kondisi tanah yang dipakai pertambangan ini sudah kritis. Kita harus mengawasi tanah karena hal ini menyangkut pemukiman dan jiwa manusia,” tegas Tandi.
Sejalan dengan Tandi, Subur juga mengeluhkan dampak bagi aktivitas keseharian mereka. Baginya, dampak tersebut dapat dilihat dari tercemarnya air, hilangnya sumber mata air, dan terganggunya pekerjaan sehari-hari. “Pertambangan ini sangat menyakitkan telinga dan hati warga sekitar jika dikeruk terus menerus,” ucap Subur.
Selepas sambutan, acara dilanjutkan dengan pembagian gunungan hasil bumi dan penampilan kesenian Jathilan. Bagi Yuli, salah satu anggota PMKP, gunungan hasil bumi merupakan simbol tanah yang subur di sekitar Kali Progo. Sementara itu, kesenian Jathilan dipilih sebagai magnet agar menarik partisipasi warga. “Jathilan sebagai contoh perjuangan prajurit yang mencerminkan bentuk perlawanan warga,” ujarnya.
Terakhir, acara ditutup dengan pembacaan deklarasi dan rilis sikap oleh Tandi. Deklarasi dan rilis sikap tersebut berisi gambaran perjuangan warga Kulon Progo dalam penolakan kegiatan penambangan pasir di Kali Progo. Selain itu, terdapat 12 tuntutan lain yang dilontarkan; seperti penghentian praktik premanisme terhadap warga, penyetopan kriminalisasi kepada masyarakat pejuang lingkungan, dan lain sebagainya. “Perjuangan PMKP tidak hanya berhenti sampai di sini. Kami bersama WALHI Yogyakarta dan LBH Yogyakarta mengajak untuk memperkuat solidaritas untuk tegas menolak terhadap segala penambangan, perampasan ruang hidup, dan perusakan lingkungan,” jelas Tandi.
Seusai acara, BALAIRUNG mewawancarai Wandi Syahputra selaku advokator PMKP dari LBH Yogyakarta. Ia menyebut bahwa perizinan dan penambangan dari pihak PT Citra Mataram Konstruksi CMK memang cacat secara prosedural. Menurut Peraturan Gubernur No. 39 tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan Batuan; terdapat dua sosialisasi yang harus mereka capai sebelum penambangan, yaitu sosialisasi mengenai eksplorasi dan operasi produksi. Namun, PT CMK tidak menjalankan sosialisasi yang semestinya mereka lakukan. “Tidak ada sosialisasi dari mereka. Justru yang mereka lakukan adalah door to door ke rumah warga untuk meminta tanda tangan sebagai persetujuan,” ujar Wandi.
Penulis: Dias Nashrul Fatha dan Karina Dea Lathifa
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Alika Bettyno Sastro