Minggu (07-05), warga dan massa aksi yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) memperingati hari lahir PPLP-KP ke-17 sekaligus Syawalan. Agenda tersebut diikuti oleh arak-arakan dengan membawa gunungan hasil bumi, orasi dari lembaga masyarakat, pagelaran musik, dan rilis sikap dari paguyuban. Perayaan yang bertajuk “Terus Tumbuh dan Melawan, Jaga Silaturahmi Tolak Perampasan Lahan” tersebut dilaksanakan di Gupit, Padukuhan IV Karangsewu, Galur, Kulon Progo.Â
Acara dimulai dengan gunungan hasil bumi yang diarak oleh ratusan warga Karangsewu dan desa sekitarnya dari beragam usia di sepanjang Jalan Daendels sekitar Kulon Progo. Setelah arak-arakan selesai, terdapat orasi yang disampaikan oleh berbagai tokoh masyarakat serta aktivis dari berbagai perwakilan secara bergantian. Salah satunya datang dari seorang perwakilan masyarakat dari Banyuwangi yang turut menyampaikan dukungannya terhadap pergerakan PPLP-KP. Ia merasakan adanya perasaan senasib-sepenanggungan dengan kondisi di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, yang tengah memperjuangkan masalah serupa.Â
“Kalau saya dan kalian tidak serempak, guyub, dan bersatu; ya mungkin tidak akan menang. (Oleh karena itu) kemenangan kita di tangan rakyat!” ujar warga perwakilan dari Banyuwangi tersebut. Ia juga menekankan bahwa persatuan harus ada sebagai upaya memperjuangkan hak-hak rakyat dan melawan orang-orang yang “rakus”. Menurutnya, masyarakat tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah dalam hal memenuhi kebutuhannya karena sudah bisa mandiri dengan bertani.
Usai sambutan dan orasi, acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng secara simbolik oleh Supriyadi selaku Ketua PPLP-KP. Dengan adanya hal ini, ia berharap agar generasi muda tetap memelihara perlawanan dan kesadaran terhadap permasalahan yang ada. Kemudian, acara dilanjutkan dengan pembagian gunungan hasil bumi yang sebelumnya diarak oleh warga. Antusiasme warga dari berbagai kalangan usia terlihat ketika mengerumuni dan berusaha mendapatkan hasil bumi dari tanah mereka sendiri.
Setelah pembagian gunungan hasil bumi, Didi membacakan rilis sikap yang merupakan puncak dari acara tersebut. Dalam rilis sikap, masyarakat secara tegas menentang adanya tambang pasir besi PT. Jogja Magasa Iron (JMI) dan perusahaan lain yang serupa. Rilis sikap tersebut menegaskan enam poin. Pertama, menolak rencana tambang pasir di Kulon Progo. Kedua, menolak Sultan Ground (SG) atau Pakualaman Ground (PAG) dan segala rencana sertifikasi dan pendataan tanah.
Ketiga, menolak perampasan ruang hidup dalam bentuk apapun di Indonesia. Keempat, Hentikan kriminalisasi tindak kriminalitas warga yang berjuang mempertahankan ruang hidup. Kelima, bebaskan para petani yang dipenjarakan secara tidak adil. Keenam, menolak Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). “Kami akan terus tumbuh dan melawan. Kami nyatakan bahwa kehidupan petani ditentukan oleh petani, begitu pun masa depan kami ditentukan oleh kami sendiri,” tegas Didi.
Dalam rilis sikap Peringatan Ulang Tahun ke-17 PPLP-KP, para petani menyatakan penolakan keras terhadap rencana tambang pasir besi di Kulon Progo. Mereka juga mengecam sikap Kesultanan Yogyakarta yang dianggap semakin rakus. “Kami tegaskan kembali, kami akan terus menentang kehadiran PT. Jogja Magasa Iron milik keluarga Keraton Yogyakarta atau perusahaan apapun lainnya,” tegas Didi saat membacakan rilis sikap.Â
Tidak hanya itu, para petani juga mengecam kecurangan dan tipu muslihat hukum terhadap mereka. Mereka mempertegas bahwasanya undang-undang yang dibuat, terutama UU Minerba dan UU Ciptaker, tidak berpihak kepada rakyat. Lebih lanjut dalam rilis sikap tersebut, mereka menilai bahwa kriminalisasi terhadap petani di Desa Pakel dan Tumpang Pitu merupakan persekongkolan korporasi antara aparat hukum dan penguasa. “Upaya para penindas rakyat dalam mengeksploitasi alam dan mengabaikan hak warga negara untuk menentukan ruang hidupnya adalah pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Didi.Â
Didi melanjutkan, para petani berpendapat bahwa tambang hanyalah eksploitasi alam dan praktiknya perlu ditumbangkan. Mereka hanya menginginkan kehidupan yang tenang bersama tanah mereka di ruang hidup mereka sendiri. “Kami adalah petani pesisir yang berteman dengan pasir, berkawan dengan angin, hidup bersama musim, dan kebajikan kehidupan menjadi saudara dekat kami,” pungkas Didi.
Selepas acara, BALAIRUNG mewawancarai Julian Dwi Prasetia, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, tentang situasi hukum terkini terkait konflik yang dialami PPLP-KP. Ia mengatakan bahwa Wilayah Pesisir Kulon Progo masih termasuk dalam wilayah kontrak karya yang belum berakhir. Menyoroti masalah administrasi sosio-kemasyarakatan, ia menuturkan bahwa seharusnya kontrak karya perlu dievaluasi dan ditarik. “Kita tahu bahwa tanah disini diperuntukkan sebagai lahan pertanian sehingga lebih baik untuk pertanian. Apalagi sudah 17 tahun mangkrak, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan penarikan kontrak karya,” ujar Julian.
Reporter: Fauzi Ramadhan, Muhammad Fachriza Anugerah, Muhammad Fariz Ardan, Natasya Mutia Dewi, dan Zidane Damar Alfiansyah
Penulis: Imtiyaz Putri Hanifa, Muhammad Fariz Ardan, dan Shabirah Milanda Gusmadi
Penyunting: Tiefany Ruwaida Nasukha