Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar Konferensi Pers Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.89/PUU/2022 terkait pengujian Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) secara daring pada Jumat (15-04). Konferensi pers ini digelar sebagai respons cepat atas putusan MK yang dinilai tidak mempertimbangkan HAM secara universal, tetapi justru menempatkan kedaulatan dan politik negara sebagai pertimbangan utama. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Sasmito Madrim, Ketua Umum AJI Indonesia; Mulya Sarmono, Advokat dan Peneliti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers; Gufron, Kepala Litigasi LBH Pimpinan Pusat Muhammadiyah; dan Ibnu Syamsu, Advokat Firma Hukum Themis.
Membuka konferensi, Mulya menyebutkan permohonan Tim Universalitas Hak Asasi Manusia mengenai perubahan konteks warga negara Indonesia dalam Pasal 5 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang ditolak MK. Permohonan tersebut ditolak setelah mempertimbangkan lima hal. Pertama, pertimbangan mengenai kedaulatan tiap negara dalam mengadili pelanggaran HAM di negaranya masing-masing. Kedua, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dirancang untuk mengadili warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran.
Ketiga, hubungan diplomatik negara Indonesia akan terganggu ketika universal HAM diterapkan di Indonesia. Keempat, seharusnya terdapat perjanjian internasional untuk menerapkan nilai-nilai universal HAM. Kelima, Indonesia dapat melakukan diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan di Myanmar.
Dalam hal ini, Mulya menyampaikan bahwa dalam putusannya, MK menyatakan bahwa nilai-nilai universal HAM akan mengganggu kedaulatan negara lain. Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa pelaksanaan dan pemenuhan HAM seharusnya diletakkan dalam koridor perlindungan terhadap kepentingan tiap negara. Menanggapi pertimbangan MK tersebut, Mulya menyampaikan catatan LBH Pers bahwa nilai universal kemanusiaan di beberapa negara tidak menghalangi hubungan diplomasi antar negara. Untuk itu, ia menyatakan bahwa kedaulatan negara lain tidak akan terganggu jika Indonesia menerapkan universal HAM. “Kedaulatan suatu negara seharusnya tidak lebih tinggi dari kemanusiaan,” ucap Mulya.
Mulya kembali menambahkan bahwa pertimbangan MK terhadap bantuan diplomasi untuk menyelesaikan masalah internasional seperti pelanggaran HAM di Myanmar tidak komprehensif. Pasalnya, sampai saat ini Junta Militer Myanmar tetap melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Menurut Mulya, fakta tersebut seharusnya menjadi pertimbangan MK untuk menerima usulan sebagai langkah yang lebih komprehensif sebagai sesama negara anggota ASEAN. “Indonesia punya peran dalam menjaga perdamaian dan menindak para pelanggar HAM,” ungkap Mulya.
Menanggapi keterangan Mulya, Sasmito mengungkapkan bahwa putusan MK yang menolak permohonan perubahan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM membawa kekecewaan terhadap rasa kemanusiaan. Ia khawatir putusan MK tersebut dapat menimbulkan pelanggaran HAM yang berkelanjutan di masa depan. Meskipun demikian, Sasmito juga menyampaikan bahwa Majelis Hakim MK mengakui adanya nilai-nilai universal HAM, tetapi tidak mempertimbangkan hal tersebut dalam putusannya. “Putusan yang disampaikan MK kontraproduktif dengan pengakuan terhadap nilai-nilai universal HAM,” tambah Sasmito.
Senada dengan hal tersebut, Ibnu menyatakan bahwa dalam pembacaan putusan MK tidak terjadi elaborasi terkait ketidakadilan pada kasus pelanggaran HAM di Myanmar. Bahkan, kesaksian adanya korban yang terdiri dari anak-anak dan perempuan dalam pelanggaran HAM tidak membuat Hakim MK mempertimbangkan permasalahan tersebut. “MK masih memandang secara parsial permasalahan ini atas dasar diplomasi antarnegara saja,” ungkap Ibnu.
Mengakhiri konferensi pers, Gufron mengungkapkan keheranannya atas pertimbangan lain MK mengenai latar belakang pendirian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Gufron menyebut bahwa UU tersebut ternyata dibuat sebagai upaya pemerintah Indonesia agar pelanggaran HAM di Timor Timur tidak dibawa ke Mahkamah Internasional. Tidak berhenti di situ, menurut Gufron, pembuatan suatu undang-undang harus memenuhi tiga syarat, yaitu nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis. “Ketiga syarat tersebut tidak ada dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” pungkas Gufron.
Penulis: Cikal Pasee Uria Timur, Yasmin Nabiha Sahda, dan Aliensa Zanzibariyadi
Penyunting: Estha Gusmalia
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi