Minggu (06-11), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengadakan diskusi dan rilis catatan kasus represi pers mahasiswa yang terjadi pada tahun 2020-2021 berjudul “Pers Mahasiswa Masih dalam Jerat Represi”. Catatan kasus represi disampaikan oleh Adil Al Hasan, anggota Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional. Tiga orang hadir sebagai penanggap, yakni Ninik Rahayu, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Periode 2022-2025; Ade Wahyudin, Executive Director LBH Pers; dan Satria Unggul Wicaksana, perwakilan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Diskusi ini diadakan secara daring dan berfokus pada kerentanan pers mahasiswa di lingkungan kampus.
Diskusi dimulai dengan pemaparan riset kasus represi yang dilakukan kampus oleh Adil. Berdasarkan riset yang telah dilakukan PPMI, terdapat 185 kasus represi yang telah terjadi sepanjang tahun 2020-2021. “Birokrasi kampus menjadi pelaku represi yang paling dominan yaitu 48 kali, disusul oleh mahasiswa sebanyak 16 kali, dan BEM/DPM sebanyak 12 kali” ujar Adil.
Data yang diajukan oleh PPMI ternyata lebih banyak daripada data yang diperoleh KIKA. “Kalau di KIKA sendiri, dari 2017 sampai 2021 ada 65 kasus yang terekam,” ungkap Satria. Satria juga tidak menampik jika aktor yang melakukan tindakan represif kepada mahasiswa, dosen, dan peneliti adalah kampus.
Sebagai tanggapan, Ade Wahyudin dari LBH Pers mengutarakan adanya kerentanan terhadap mahasiswa mengenai posisi dan perannya sebagai anggota pers mahasiswa. Permainan relasi kuasa yang dilakukan dosen sangat mungkin terjadi ketika pers mahasiswa mengkritik suatu kebijakan dosen, jurusan, atau fakultas. Hal tersebut berimbas pada kualitas liputan yang menjadi kurang maksimal. “Tidak jarang teman-teman mahasiswa mundur untuk melakukan liputan atau bahkan mengurangi kadar kekritisannya karena kekhawatiran soal sanksi akademik,” tutur Ade.
Selain itu, adanya relasi kuasa finansial sangat dominan karena pers mahasiswa merupakan unit kegiatan mahasiswa yang dibiayai kampus. “Jadi ketika pemberitaannya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang-orang kampus, senjatanya adalah pemutusan dan pengurangan dana,” sambung Ade. Kondisi tersebut mengakibatkan aktivitas pengkaderan dan liputan akan terhambat.
Budaya antidemokrasi, antikritik, dan penanganan yang belum berspektif pers masih dilakukan kampus. Menurut Ade, kampus sering kali hanya memberikan sanksi tanpa adanya pemberian hak jawab kepada pers mahasiswa. Terakhir, Ade menambahkan bahwa ruang lingkup pemberitaan yang kecil menambah kerentanan terjadinya represi. “Ketika ada yang merasa keberatan dan dirugikan, pers mahasiswa sangat mudah untuk disasar,” ujar Ade.
Ninik Rahayu memulai tanggapannya dengan menyatakan bahwa hak untuk berpendapat adalah hak setiap warga negara tanpa terkecuali. Ketika seseorang ingin menyampaikan dan menyebarkan informasi, ia memiliki hak dan kewajiban untuk menjadi pekerja pers yang profesional. Dengan demikian, harus ada jaminan perlindungan dan pembebasan dari campur tangan atau paksaan dari manapun.
Menurut Ninik, skema perlindungan pers mahasiswa melekat pada status mahasiswa itu sendiri sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Menurut peraturan perundang-undangan tersebut, perguruan tinggi harus memberikan perlindungan kepada mahasiswa. Hal ini dipandang sebagai hal yang membuat relasi kuasa menjadi sempit, tetapi Ninik tidak setuju. “Relasi kuasanya tetap sama secara norma, tetapi secara sosiologis relasinya adalah koordinasi.”
Ninik menutup sesinya dengan menyatakan bahwa pemberdayaan pers mahasiswa merupakan tanggung jawab universitas. Dia juga menegaskan bahwa kerja pers mahasiswa bersifat independen meskipun secara keuangan tidak mandiri. “Menyediakan ruang pengaduan, melakukan pemberdayaan, bekerja sama dengan organisasi pers harus keluar uangnya dari mereka,” tegas Ninik.
Penulis: Achtar Khalif Firdausy, Adhika Nasihun Farkhan, Adiel Tristi Santoso (Magang)
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Ruly Andriansah (Magang)