Pasca-tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu, Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil melakukan investigasi berkaitan dengan tragedi yang menewaskan ratusan orang tersebut. Tim tersebut terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LBH Surabaya Pos Malang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru Foundation, Indonesia Memanggil 57+ Institute, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Selama tujuh hari, tim gabungan tersebut melakukan investigasi dengan menemui sejumlah saksi dan korban Tragedi Kanjuruhan yang masih selamat.Â
Kemudian, pada Minggu (09-10), YLBHI mengadakan konferensi pers secara daring untuk membeberkan beberapa temuan awal investigasi terkait Tragedi Kanjuruhan. Daywin dari Lokataru Foundation, Daniel Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang, Jauhar dari LBH Surabaya, dan Andi Rezaldy dari KontraS Jakarta menjadi empat pemapar hasil investigasi. Pegiat Hak Asasi Manusia, Haris Azhar, turut hadir dalam konferensi pers ini.Â
Dalam sesi pembukaan, Jauhar menjelaskan kronologi awal terjadinya Tragedi Kanjuruhan. Menurut Jauhar, awal mula gesekan dengan aparat keamanan terjadi ketika suporter Arema FC turun ke lapangan. Hal tersebut ditanggapi secara berlebihan oleh pihak aparat kepolisian yang mencoba untuk memukul mundur para suporter. “Padahal, suporter turun ke lapangan hanya untuk memberikan semangat dan berterima kasih kepada para pemain yang telah berusaha maksimal pada laga malam itu,” terang Jauhar.Â
Lebih lanjut, Jauhar menerangkan bahwa tindakan berlebihan aparat juga menyebabkan tambahan eskalasi massa dari suporter lain turun ke lapangan untuk menolong para suporter yang terkena tindakan represi oleh aparat. Suporter yang turun ke lapangan telah berhasil didorong mundur kembali ke tribun. Namun, berdasarkan keterangan Jauhar, ketika eskalasi massa di lapangan sudah mulai mereda, aparat keamanan justru melontarkan gas air mata ke arah penonton yang ada di tribun. Hal tersebut tentu memicu kepanikan luar biasa bagi suporter di tribun untuk melarikan diri ke pintu keluar stadion secara berdesakan. “Kondisi itu diduga kuat menyebabkan banyak suporter yang terhimpit dan sesak nafas, berakibat pada jatuhnya korban luka-luka hingga meninggal dunia,” lanjut Jauhar.Â
Melanjutkan Jauhar, Andi Rezaldy menjelaskan 12 temuan awal investigasi Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil. Andi menyebut bahwa terdapat pengerahan aparat keamanan yang membawa gas air mata di pertengahan babak kedua pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Padahal, pada waktu itu, tidak ada potensi kerusuhan yang akan terjadi. “Mobilisasi aparat tersebut merupakan hal yang ganjil karena tidak ada ancaman keamanan pada saat itu,” ungkap Andi.Â
Andi juga menyinggung tindakan aparat kepolisian yang langsung menggunakan gas air mata untuk menangani massa. Hal tersebut menyalahi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Andi menjelaskan bahwa seharusnya aparat mengambil tindakan sesuai prosedur dan bertahap terlebih dahulu berupa tindakan pencegahan berupa perintah lisan atau suara peringatan. “Aparat kepolisian tidak melakukan tahapan tersebut dan langsung menembakkan gas air mata,” lanjutnya. Andi juga mengungkap bahwa tindakan kekerasan bukan hanya dilakukan oleh aparat kepolisian, melainkan juga prajurit TNI.Â
Berangkat dari keterangan saksi, Andi mengatakan bahwa pada saat penembakan gas air mata terjadi, suporter yang mencoba keluar terhalang pintu stadion yang terkunci. Kondisi suporter yang berdesakan di dalam ruangan jalur evakuasi yang terbatas, diperparah dengan masifnya penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian. Senada dengan Jauhar, Andi menyebut bahwa situasi tersebut menyebabkan banyak suporter meregang nyawa karena mengalami gangguan pernapasan dampak dari gas air mata. “Temuan lain menyebutkan bahwa penembakan gas air mata tidak hanya terjadi di dalam stadion, tetapi juga di luar stadion,” tambahnya.Â
Penjelasan mengenai temuan awal investigasi dilanjutkan oleh Daywin. Ia membahas mengenai ketidakjelasan informasi terkait data jumlah korban Tragedi Kanjuruhan yang dimiliki oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang dibentuk oleh kepolisian. Daywin mengatakan bahwa temuan tersebut sekaligus menjadi kritik bagi tim pencari fakta bentukan kepolisian maupun pemerintah.Â
“Kalau memang benar tujuannya mengungkap fakta, cari tau ke korban Tragedi Kanjuruhan yang saat ini sudah mencapai 700 orang lebih yang luka-luka dan meninggal dunia,” ungkapnya. Daywin menambahkan bahwa pihak Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil saat ini telah berkomunikasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat membantu proses pengungkapan fakta mengenai Tragedi Kanjuruhan.Â
Adapun usaha untuk mendatangi korban ataupun keluarga korban telah dilakukan oleh Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil. Keterangan tersebut disampaikan oleh Daniel Siagian. Tujuan dilakukannya hal tersebut adalah untuk memastikan bahwa para korban maupun keluarganya telah mendapatkan hak-hak perlindungan dan akses keadilan yang harus dipenuhi. Daniel menyebut bahwa Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan haruslah berperspektif korban. “Temuan yang didapat dari korban, keluarga korban, dan saksi mata masih dalam kondisi trauma serius, gegar otak, hingga memar di kepala akibat peristiwa kekerasan tersebut,” jelasnya.Â
Mengomentari temuan awal tersebut, Haris Azhar menyebut bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada Tragedi Kanjuruhan adalah kejahatan sistematis. Menurutnya, ada mobilisasi pengerahan pasukan gas air mata yang pasti dilandasi adanya suatu perintah. Haris juga mengatakan bahwa Kabupaten Malang saat ini sudah menjadi seperti tempat kunjungan para pejabat yang tidak diketahui tugas dan tujuannya. Ia menyayangkan kepada para pejabat tersebut yang melakukan kunjungan tetapi tidak berfokus pada pemulihan korban. “Bahkan ada sejumlah pejabat yang mengumpulkan sejumlah pihak untuk meminta mereka tidak melakukan hal-hal yang memojokkan pemerintah,” sesal Haris.Â
Penulis: Cahya Saputra
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Ilustrator: Alifia Citarahma