“Negara, berhentilah merampas subsidi rakyat!” Seruan tersebut berkumandang di tengah keramaian massa aksi yang berkerumun di depan gerbang Gedung DPRD DIY pada Kamis (07-09). Aksi yang dihimpun oleh Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) ini merupakan buntut dari keputusan pemerintah untuk mengalihkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai upaya mengatasi gejolak harga minyak dunia. Selama aksi berlangsung, terjadi sejumlah kericuhan. Puncaknya terjadi ketika jarum jam menunjukkan pukul 05.15 WIB, gerombolan massa aksi berhasil merobohkan gerbang gedung DPRD DIY.
Ryan Sentula, salah satu humas ARB, menyampaikan bahwa negara mengkritisi 70% dari BBM bersubsidi malah dinikmati orang-orang mampu. “Negara seharusnya mengalihkan subsidi ke pembangunan infrastruktur transportasi publik,” ujar Ryan. Dengan transportasi publik yang berkembang, menurut Ryan, masyarakat bersedia mengurangi penggunaan kendaraan bermotor sendiri.
Ryan menyayangkan kondisi infrastruktur transportasi publik saat ini yang masih kurang aksesibel. Padahal, kebutuhan akan sektor tersebut cukup esensial bagi masyarakat. “Seharusnya negara punya transportasi publik dengan akses yang bagus sehingga masyarakat mau menggunakan transportasi publik,” ungkap Ryan.
Senada dengan Ryan, Aldi, humas ARB, memberikan sebuah tawaran, yaitu penggunaan transportasi publik dalam kegiatan sehari-hari yang sekaligus sebagai salah satu solusi dalam menanggapi naiknya harga BBM. “Itu salah satu tawaran bagaimana kita ikut andil dalam keseharian kita untuk memakai transportasi publik, misalnya Trans Jogja, KRL, dan sebagainya,” usul Aldi.
Tuntutan yang dibawa oleh ARB sehaluan dengan pernyataan Isti Hidayati, dosen UGM yang berfokus di bidang pembangunan transportasi. Ketika diwawancarai pada Rabu (14-07), ia menyayangkan pemangkasan jalur bus Trans Jogja oleh pemerintah. Menurutnya, kenaikan BBM bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk beralih ke transportasi publik. “Perlu ada konsistensi dan komitmen dari pemerintah bila memang ingin mengembangkannya dengan catatan harus melakukan evaluasi berkala untuk suatu rute,” paparnya.
Isti kemudian menjabarkan kendala-kendala yang menghambat masyarakat untuk mengendarai transportasi publik khususnya di Yogyakarta. Pertama, informasi jalur Trans Jogja yang tidak memadai menyulut keengganan masyarakat. Lantas, hal tersebut berakibat ke penelantaran fasilitas transportasi publik yang jarang digunakan. “Kita sering melihat sarana transportasi publik yang sepi dan berujung pada pembiaran,” pungkas Isti.
Kedua, transportasi publik, khususnya di Yogyakarta, hanya mengakomodasi jalur-jalur turis semata. Menurut Isti, hampir tidak ada jalur transportasi publik yang cukup untuk kegiatan sehari-hari, seperti bersekolah dan bekerja. “Oleh karena itu, masyarakat lebih senang menggunakan kendaraan pribadi untuk menjalani aktivitas biasa,” terangnya.
Lebih lanjut, Isti mempermasalahkan masifnya penggunaan kendaraan pribadi oleh masyarakat Indonesia. Dalam penuturannya, ia menjabarkan sejumlah faktor yang melatari kebiasaan tersebut. Salah satunya sistem zonasi yang diadopsi dari Amerika menjadi model tata kota Indonesia. Sistem zonasi adalah sebutan untuk tata kota yang mengelompokkan setiap kawasan menurut fungsinya. Dengan sistem tersebut, menurut Isti, masyarakat kesulitan untuk bepergian dengan transportasi umum. “Indonesia sudah terlanjur mengadopsi sistem zonasi. Masih banyak yang menganggap sistem tersebut sebagai lambang modernitas,” tuturnya.
Meskipun demikian, Isti melihat bahwa pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya untuk membenahi transportasi umum di Yogyakarta. Pertama, adanya program Teman Bus yang berniat mengintegrasi beberapa rute. Kedua, pengaturan rute. Ketiga, usaha peremajaan kendaraan bus. “Namun, perkara apakah program-program tersebut tetap sasaran, itu urusan lain,” tutur Isti.
Isti turut menyebutkan pemerintah juga sudah memberikan subsidi untuk urusan-urusan perbaikan fasilitas angkutan umum tersebut. Dalam anggapan Isti, setidaknya pemerintah telah mengupayakan sesuatu. Kerja-kerja pemerintah tersebut juga ia nilai sudah terlihat. “Walaupun subsidi tersebut entah sampai ke tempatnya atau tidak, itu kembali lagi ke urusan lain,” katanya.
Bagaimanapun juga, dari segala upaya pemerintah yang sudah disebutkan, Isti menyayangkan para pemegang kebijakan yang tidak secara langsung mengenali permasalahan yang terjadi di lapangan. Akibatnya, muncul kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran. “Mereka tidak pernah merasakan sendiri susahnya transportasi publik di Indonesia sehingga kebingungan untuk memperbaikinya,” papar Isti.
Sebagai penutup, Isti membandingkan pemerintah sekarang dengan Ignasius Jonan, mantan direktur umum PT Kereta Api Indonesia. Ia mengatakan bahwa semasa Jonan menjabat, terjadi perombakan pada fasilitas kereta api ekonomi seperti pemasangan pendingin ruangan dan perbaikan toilet. “Saya ingin mengajak pemerintah yang sekarang untuk berkeliling dengan kendaraan umum supaya mereka paham betapa buruknya kondisi transportasi publik di Indonesia,” pungkas Isti dengan tegas.
Bersamaan dengan berlangsungnya aksi, turut hadir beberapa pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Salah satu dari mereka mengaku ikut terkena imbas kenaikan harga BBM. Ia merasa terwakili oleh aksi yang dilakukan. “Sangat terwakili. Saya berharap semua elemen masyarakat berani bersuara,” tegasnya.
Penulis: Eleonora Astrid, Sidney Alvionita, dan Sumayya Nur Hanifah
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Fotografer: Aditya M. Bintang