“Ada universitas lain yang bahkan bukan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) berani menetapkan sumbangan sebesar 600 juta rupiah. Kita sudah sangat tertinggal,” keluh Ova Emilia, rektor UGM periode 2022-2027. Saat berbincang dengan BALAIRUNG pada Jumat (15-07), Ova menegaskan bahwa UGM membutuhkan sumbangan sukarela. Ia mengeluhkan sejumlah alat yang digunakan mahasiswa sudah sekian lama tidak diperbarui. Hal itu dicemaskan akan memengaruhi kompetensi lulusan UGM. Ova mengklaim bahwa UGM merupakan satu-satunya PTN-BH yang tidak menarik sumbangan dari mahasiswa.
Melalui unggahan akun instagram resmi UGM yang muncul pada Selasa (12-07), UGM menyatakan akan menarik uang dari orang tua mahasiswa dengan ekonomi tinggi yang diterima melalui jalur mandiri. Ova menjelaskan, sebutan sukarela tersemat di nama sumbangan tersebut karena ada pilihan nol rupiah. Jika orang tua dari mahasiswa tidak mampu, maka diizinkan tidak menyumbang. “Kebanyakan mahasiswa yang diterima melalui jalur mandiri adalah orang mampu. Mereka ingin memberikan sumbangan sehingga kami memfasilitasi lewat program sumbangan sukarela,” papar Ova.
Untuk memberikan kejelasan atas wacana sumbangan sukarela, rektorat mengadakan Sosialisasi SSPI di Ruangan Multimedia 1 Gedung Pusat UGM pada Senin (25-07). Acara ini menjabarkan urgensi dari diadakannya SSPI dan menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait hal tersebut. Sosialisasi tersebut dihadiri oleh tiga pembicara; yakni Supriyadi, Wakil Rektor UGM Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan; Suharyadi, Direktur Kemahasiswaan UGM; dan Syaiful Ali, Direktur Keuangan UGM. Sosialisasi SSPI ini bersifat terbatas sehingga hanya dihadiri satu perwakilan dari fakultas masing-masing.
Sebagai pembukaan, Supriyadi menjelaskan sejumlah alasan yang melatarbelakangi diresmikannya pengadaan SSPI. Ia menyebutkan, sumbangan itu akan dimanfaatkan untuk pengembangan institusi. Dalam pemaparannya, ia juga mengatakan bahwa sejumlah laboratorium di Fakultas Teknik sangat memerlukan pembaruan alat-alat praktikum. “Sudah ada aduan dari Fakultas Teknik, mereka mengatakan alat-alat praktikum sudah ketinggalan zaman,” tegas Supriyadi.
Selain akan digunakan sebagai dana perbaikan fasilitas, SSPI juga dicanangkan untuk membantu biaya kuliah mahasiswa yang kurang mampu. Supriyadi menunjukkan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalamnya, Perguruan Tinggi Negeri diperbolehkan untuk menarik biaya bagi orang tua siswa yang ingin membantu pengembangan institusi. “Kami juga menerima laporan bahwa sejumlah orang tua mahasiswa ingin memberikan sumbangan di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT),” papar Supriyadi.
Sebagai tanggapan, Sigit Bagas Prabowo selaku perwakilan dari Forum Advokasi UGM mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam penyelenggaraan SSPI. Menurut Sigit, UGM tidak siap mengadakan sumbangan tersebut karena tidak ada buku panduan yang dapat diakses dan dibaca oleh mahasiswa. Ia juga mempermasalahkan penarikan dana yang disebut sebagai sumbangan sukarela itu. “Sukarela berarti donasi, tetapi dalam praktiknya, sudah ada nominal-nominal yang dimulai dari lima juta rupiah,” kata Sigit.
Sigit menganggap rencana UGM untuk menggunakan SSPI sebagai subsidi silang bagi mahasiswa kurang mampu hanyalah alibi belaka. Seharusnya, menurut Sigit, mahasiswa dengan golongan UKT 0, 1, dan 2 diarahkan untuk mendaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun, pada pelaksanaannya, kuota KIP tidak terserap secara maksimal. Sigit membeberkan kuota KIP pada tahun 2022 menurun. Semula disediakan sebanyak 2.400 slot, lalu turun menjadi 1.800 slot. “Banyak dana KIP yang harus dikembalikan ke pemerintah sehingga kuota tahun ini terpangkas,” ucapnya.
Menanggapi pernyataan Ova dan Supriyadi terkait SSPI, Joko Susilo selaku peneliti NALAR Institute merasa tak sepaham. Pasalnya, menurut pria yang akrab disapa Josu itu, mekanisme UKT seharusnya telah mencakup biaya-biaya pengembangan institusi. SSPI, menurut Josu, menyalahi awal diterapkannya sistem UKT. Berdasarkan keterangan Josu, UGM pernah mewacanakan hal serupa. Saat itu, UGM bermaksud memberlakukan Sumbangan Pendidikan Mutu Akademik (SPMA) pada tahun 2018. Ia menegaskan, SPMA seharusnya sudah tercantum dalam UKT. “SSPI merupakan kanibalisasi dari SPMA,” pungkas Josu.
Josu turut menentang alasan subsidi silang yang menjadi latar belakang dari urgensi pengadaan SSPI. Adapun, subsidi silang tersebut adalah bantuan dari mahasiswa dengan kemampuan ekonomi tinggi yang diberikan untuk mahasiswa yang tidak mampu secara finansial. “Jumlah pemberi subsidi dan orang yang diberi subsidi sewajarnya berimbang. Akan tetapi, faktanya mahasiswa yang mampu secara ekonomi lebih banyak daripada mahasiswa yang membutuhkan bantuan dana,” tegas Josu.
Bagi Josu, fenomena penarikan sumbangan dan biaya pendidikan yang semakin mahal merupakan imbas dari diberlakukannya PTN-BH. Melalui mekanisme PTN-BH, negara memotong biaya yang dianggap tidak mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya yakni pendidikan. Maka dari itu, Josu memandang bahwa kampus terpaksa mencari uang sendiri dan mahasiswa lah tumbalnya. “Setelah beralih status menjadi PTN-BH, subsidi negara menurun hingga angka 35%. Sisanya, sebanyak 65%, diperoleh kampus dengan merogoh kantong mahasiswa,” jelas Josu.
Selain menarik sumbangan dari mahasiswa, menurut Josu, UGM juga mendapatkan suntikan dana melalui berbagai sumber. Pertama, UGM mendapat dana dari penerapan sistem potongan pajak penghasilan bagi peneliti. Kedua, masifnya link and match riset dengan korporasi. Ia juga menyebut adanya proyek kemitraan yang terjalin antara korporasi besar dengan UGM. “Contohnya yaitu kerja sama Fakultas Biologi UGM dengan perusahaan Sinarmas. Polemiknya yakni pemasangan logo Sinarmas di gedung baru fakultas malah lebih besar ketimbang logo Fakultas Biologi itu sendiri,” ujarnya.
Bukan hanya itu, Josu juga menyebut terdapat jual-beli gelar honoris causa, gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap berkontribusi di bidangnya. Menurutnya, orang-orang penerima gelar kehormatan dari UGM selama lima tahun terakhir bisa jadi ada yang memberikan donasi berupa uang ataupun pembangunan gedung. “Selain relasi politik, ada relasi bisnis dalam proses hibah gelar kehormatan,” pungkas Josu.
Penulis: Sidney Alvionita Saputra dan Salsabila Faiha’
Penyunting: Viola Nada Hafilda
Fotografer: Alika Bettyno Sastro