Senin (11-04), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyelenggarakan diskusi dan konsolidasi bertajuk “Korban Tambang UU Minerba”. Penyalahgunaan UU Minerba yang dipakai untuk mengancam warga yang menolak penambangan melatarbelakangi diselenggarakannya diskusi ini. Sejumlah warga dari Trisik, Turgo, Jomboran, dan Srandakan yang terdampak kegiatan penambangan tampak menghadiri diskusi. Selain itu, Grita, Direktur Indonesian Center for Environmental Law turut menghadiri rangkaian acara. Di muka ruang rapat Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, mereka mengisahkan sikap pemerintah mempersenjatai diri dengan pasal-pasal dari UU Minerba ketika menghadapi tuntutan dari masyarakat. “Kami diancam dengan pasal yang menuduh kami menginterupsi jalannya pertambangan yang sedang berlangsung,” kata Agung Prastawa, perwakilan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo yang juga mewakili Desa Trisik.
Grita mengamini permasalahan itu. Ia mengungkapkan UU Minerba yang diperbarui malah menghapuskan wewenang masyarakat. Semenjak UU Minerba disahkan, semua keputusan ditentukan oleh pemerintah pusat. Selain itu, undang-undang tersebut tidak menjanjikan pemulihan lingkungan bagi wilayah yang terdampak. “Pada pasal 162, kesempatan untuk mengkriminalisasi malah semakin diperkuat. Pasal 162 dapat dipakai polisi untuk menjerat aktivis lingkungan yang sedang memperjuangkan advokasi,” tutur Grita.Â
Padahal, dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan banyak menimpa warga. Agung, merasakan dampak tersebut. Menurut Agung, ekosistem di Sungai Progo sudah seperti ekosistem air payau. Air asin sudah masuk ke aliran air milik warga. “Banyak pemancing yang memancing di Kulon Progo, tetapi yang didapat adalah ikan laut,” lanjut Agung.
Permasalahan lingkungan juga dikhawatirkan di Desa Turgo. Triyanto, Forkom Lestari Sumber Air Hulu yang juga mewakili Desa Turgo, mengkhawatirkan Perseroan Terbatas (PT) yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di hulu Sungai Boyong pada 2020 lalu. Setelah melalui audiensi, PT setuju untuk menghentikan aktivitas pertambangan untuk sementara waktu. Namun, menurut Triyanto, hal ini masih belum memuaskan. Aktivitas tambang di hulu sungai dapat mengganggu tangkapan air untuk 1300 kepala keluarga. Padahal, wilayah dataran tinggi tidak bisa mengandalkan sumur untuk mencukupi kebutuhan air. “Kemarin ada gagasan untuk membuat sumur, tetapi yang didapat bukan air melainkan amonia,” tambah Triyanto.
Ketakutan akan terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar area tambang membuat warga mencoba membawa kasus perusakan lingkungan ke pihak yang bertanggung jawab. Namun, usaha tersebut sia-sia, seperti yang dirasakan warga di Dukuh Nengahan, Desa Trumurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Paijan, salah satu warga Dukuh Nengahan, menyampaikan bahwa ada salah satu PT yang ingin menambang pasir di Dukuh Nengahan pada tahun 2017. Beberapa warga sempat datang menemui pihak PT dalam suatu pertemuan. “Hasilnya, banyak warga yang menolak adanya aktivitas pertambangan tersebut,” tambah Paijan.
Paijan melanjutkan bahwa warga yang menolak berhasil mengumpulkan 560 tanda tangan serta salinan KTP untuk mengajukan penolakan. Namun, IUP untuk PT tersebut malah muncul. Lalu, warga mencoba membawa itu ke dua puluh satu instansi, tetapi tidak dihiraukan. Mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi tetap gagal. “Hingga saat ini masih dalam kasasi yang didampingi tiga lembaga: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum UGM. Aktivitas pertambangan berhenti sementara selama proses kasasi,” lanjut Paijan.
Pada akhir diskusi terhimpun tiga rekomendasi terkait penyelesaian isu. Pertama, LBH akan memperluas jejaring. Kedua, PP Muhammadiyah bersedia menggelar kajian UU Minerba secara konseptual dan sistematis. Ketiga, isu besar atas diskusi ini perlu diperluas, bukan hanya sekadar perkara pidana. “Persoalan tambang di Yogyakarta sudah berlangsung lama. Bisa tidak kita bersama-sama menunjukkan kekuatan kita?” tantang Sapoy, perwakilan Paguyuban Masyarakat Kulon Progo, di puncak acara diskusi.Â
Sapoy merasa sangsi dengan hasil dari diskusi ini. Ia mengaku telah berkali-kali diundang untuk turut menghadiri acara serupa. “Segala jalur sudah ditempuh, tetapi masalah juga tak kunjung selesai. Selama audiensi, warga tetap diancam dengan pasal-pasal,” pungkas Sapoy.Â
Penulis : Ryzal Catur Ananda Sandhy Surya dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting : Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer : Istimewa