Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM) UGM mengadakan musyawarah mengenai penetapan mekanisme pemilihan rektor di tingkat mahasiswa pada Rabu (24-2). Musyawarah ini diselenggarakan secara bauran di Balai Senat UGM dan disiarkan melalui kanal YouTube MWA UM UGM. Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM, ketua lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas dan sekolah, serta Ketua Forum Komunikasi UKM UGM hadir dalam musyawarah ini.
Selaku MWA UM UGM, Ade Agoes Kevin Dwi Kesuma Parta menjelaskan peran MWA UGM dalam Pemilihan Rektor UGM. Menurutnya, berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Gadjah Mada, MWA adalah satu dari tiga organ UGM bersama Rektor dan Senat Akademik. Sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 26 Ayat (1) C untuk mengangkat dan memberhentikan rektor, MWA UGM menjadi bagian dari Panitia Kerja (Panja) Seleksi Calon Rektor dan Pemilihan Rektor UGM Periode 2022–2027. “Mahasiswa dapat berpartisipasi dengan memberi masukan terhadap proses pemilihan rektor melalui platform yang telah disediakan oleh Panja,” ujar Kevin.
Dalam menuntut keterlibatan mahasiswa pada pemilihan rektor, Gaby selaku anggota Tim Kajian MWA UM UGM mengusulkan empat opsi kebijakan. Pertama, pemilihan rektor diadakan secara serentak khusus dengan mengadaptasi sistem Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa). Kedua, dengan skema electoral college yakni tiap-tiap fakultas dan sekolah di UGM melakukan diskusi yang menghasilkan nama calon rektor, kemudian calon rektor tersebutlah yang diusung dalam pemilihan rektor. Ketiga, mengadopsi Pemilu Paripurna yang melibatkan seluruh sivitas akademika ditambah Tenaga Pendidik dan Tenaga Administrasi. Adapun, terakhir adalah melalui sistem musyawarah-mufakat. “Setelah melakukan analisis biaya dan manfaat, kami merekomendasikan untuk mengadopsi forum kelembagaan electoral college guna menjamin suara mahasiswa dapat terakomodasi dengan baik,” ujarnya.Â
Lebih lanjut, Gaby menjelaskan bahwa forum kelembagaan electoral college berlangsung dalam dua tahapan, yakni tahapan fakultas dan tahapan universitas. Pada tahap pertama, masing-masing fakultas melakukan musyawarahnya sendiri yang menghasilkan calon yang diusulkan. Kemudian dilanjut pada tingkat universitas yakni para ketua lembaga melakukan voting dengan membawa suara konstituennya masing-masing. “Yang akan memegang hak suara dalam electoral college ada 18 fakultas, 1 sekolah vokasi, 1 sekolah pascasarjana, dan 1 dari Forkom UGM,” sambungnya.
Setelah mendengar pemaparan oleh Tim Kajian MWA UM UGM, Rendy Manggala Putra selaku perwakilan BEM KM UGM menyatakan setuju atas mekanisme pemilihan rektor dengan sistem electoral college. Sebab, menurutnya ini merupakan mekanisme yang paling mungkin dilakukan saat ini. “Hal ini berkaitan dengan perjalanan lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sistem pemilihan ini penting untuk diadopsi,” ungkapnya. Lebih lanjut, Rendy berpendapat bahwa sistem electoral college memiliki kemudahan birokrasi, alur, dan transparansi.
Sementara itu, Renova Zidane selaku Pimpinan Dema Fisipol berpendapat bahwa sistem electoral college ini dapat menimbulkan ketimpangan antar-setiap fakultas dan sekolah karena tidak adanya parameter pada proses pemilihan, mekanisme, dan substansi lainnya. “Misal, di Fisipol musyawarah dilakukan dengan melibatkan mahasiswa, belum tentu fakultas lain juga demikian,” ujarnya. Menurut Reno, ketimpangan itu menyebabkan kualitas luaran yang didapat dari tiap fakultas dan sekolah menjadi berbeda.
Penulis: Anastasya Egidia Amanda
Penyunting: Han Revanda Putra
Fotografer: Istimewa